Ada pemandangan menarik sekaligus membuat miris dalam aksi demontrasi di Jakarta, kemarin. Aksi demonstrasi yang dilakukan ayah dan anak ini terbilang unik, sehingga mengundang perhatian dari para pengguna jalan di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta.
Seorang warga Ibukota asal Kamal, Kalideres, Jakarta Barat, Sugiyanto mengaku rela menjual ginjal hanya untuk menebus biaya ijazah SMP dan SMA anaknya yang ditahan di Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman Parung, Bogor, Jawa Barat.
Sugiyanto melakukan aksi tersebut sejak pukul 10.30 WIB. Pria berusia 45 tahun ini mulai menjajakan ginjalnya dengan pengeras suara. Mengenakan kemeja jeans biru dan topi, Sugianto ditemani anaknya Sarah Meilanda Ayu membawa satu poster bertuliskan ‘Kepada Saudara yg Butuh Ginjal Kami Siap Jual. Tubuh Kami Siap Dibelah Demi Menebus Ijazah’.
Selain itu, Sugiyanto juga berorasi sambil menawarkan diri masuk ke mobil-mobil yang berhenti karena lampu merah. Dia juga menyanyikan sebuah lagu sambil memainkan gitar dan harmonika ciptaannya sendiri , yakni lagu ‘Mencari Keadilan’ serta ‘Parung Menggantung’.
Sugiyanto mengungkapkan, biaya dua ijazah sang anak yang harus ditebusnya itu sebesar Rp 17 juta. Juga ada biaya lain untuk administrasi sebesar Rp 20 ribu per hari sejak 2005. Sehingga total biaya yang harus dia tebus sebanyak Rp 70 juta.
“Bagaimana saya bisa menebus, saya nggak punya uang karena saya hanya tukang jahit. Karena itu, saya mau jual ginjal saya,†kata Sugiyanto saat ditemui di Bundaran HI.
Anaknya, Ayu, menempuh pendidikan SMP dan SMA di Pondok Pesantren Al Ashriyyah Nurul Iman di kawasan Parung, Bogor, Jawa Barat.
Menurut Sugiyanto, awalnya semua biaya pendidikan tersebut gratis. Namun, setelah pemilik pondok pesantren meninggal dunia, biaya pendidikan anaknya tak lagi gratis.
“Sejak itu diambil alih istrinya, semua harus bayar. Ini bukan cuma anak saya saja yang tidak bisa tebus ijazah, tapi santri-santri lainnya juga,†ungkap Sugiyanto.
Dalam aksinya di Bundaran HI, tidak terlihat penjagaan dari petugas kepolisian. Namun, aksi tersebut menarik perhatian para pengguna jalan.
Sugiyanto mengaku, Ayu sejak SMP hingga melanjutkan ke perguruan tinggi dititipkan di sekolah Islam Al Ashryyah Nurul Iman. Di sekolah itu juga ada kampus STAI milik yayasan yang sama. Di kampus ini Ayu kemudian melanjutkan pendidikannya selepas tamat SMA.
“Tapi, karena ada prahara di kampus itu dan banyak anak-anak yang mondok dipukulin sama orang dekat pemilik kampus, maka akhirnya banyak santri dan siswa yang kabur, termasuk anak saya,†tuturnya.
Sejak Januari lalu, Sugiyanto sudah berusaha untuk meminta agar ijazah SMP dan SMA anaknya bisa didapat agar Ayu dapat melanjutkan kuliah di kampus lain. Namun, pihak STAI Nurul Iman tak bersedia, kecuali Sugiyanto membayar uang tebusan.
“Saya sudah bawa surat keterangan miskin, tapi tidak diterima, tetap harus bayar Rp 17 juta. Padahal di awal tidak ada perjanjian harus menebus ijazah seperti itu. Karena itu saya nekat mau jual ginjal,†jelasnya.
Atas kasus yang dialaminya, Sugiyanto sebenarnya sudah melapor ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta Kementerian Agama. Namun, ketiga lembaga itu tidak menggubrisnya alias cuek.
“Saya sudah tiga bulan lalu ke Komnas HAM, ke Kemendikbud dan ke Kemenag.
Tapi jawabnya semuanya nggak tahu. Saya dicuekin, makanya saya rela menjual ginjal saya. Komnas HAM katanya mau mediasi saya dengan pihak sekolah dalam seminggu ini, tapi belum ada jawaban,†katanya.
Namun sayang, hingga aksinya berakhir, belum ada satu pun yang tertarik untuk membeli ginjal Sugiyanto.
Subkomisi Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM Sandrayati Moniaga mengatakan, harus melihat dulu kasusnya dan mengkaji kembali. Dia menilai, kalau memang nantinya ditemukan pelanggaran bahwa ada penahanan terhadap ijazah, Komnas HAM tentu akan mengeluarkan rekomendasi.
“Tentunya harus diteliti lebih jauh apakah korban ini benar tidak mampu dan kepala sekolah juga menahan ijazah anaknya. Kalau benar, pejabat daerah setempat harus segera berunding. Ini juga harus jadi perhatian Kementerian Pendidikan,†ujar Sandra saat dihubungi
Rakyat Merdeka, kemarin.
Terkait aksi jual ginjal, Sandra melihat aksi ini dilakukan atas rasa frustrasi karena tuntutan korban tidak dipenuhi. Untuk itu, korban menarik perhatian dengan melakukan aksi ini.
“Hak atas pendidikan milik setiap orang dan tidak boleh dirampas atas bentuk apapun,†tegasnya.
Humas Yayasan Al-Ashriyyah Nurul Iman, Saefudin membantah ada biaya menebus Ijazah. “Sebenernya nggak ada, saya belum dapat informasi kalau yayasan meminta uang untuk menebus ijazah. Nah yang saya tahu kalau dia belum lulus S1 dan belum pengabdian itu memang ijazahnya ditahan, nggak akan dikasih ijazahnya,†kata Saefudin seperti dikutip media online.
117 Perusahaan Diduga Terlibat Kebakaran Hutan
Presiden & KLH Diminta Bertindak Cepat
Koalisi Masyarakat Sipil menemukan sebanyak 117 perusahaan yang diduga terlibat dalam kebakaran hutan dan asap di wilayah Sumatera. Penegak hukum minta bertindak tegas atas kasus pencemaran lingkungan udara tersebut.
Koalisi Masyarakat Sipil itu terdiri dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Eksekutif Nasional, Walhi Daerah Riau, Walhi Daerah Jambi, Walhi Daerah Sum-Sel, Sawit Watch, Elsam, Yayasan LBH Indonesia, dan ICEL. Mereka mengadukan 117 perusahaan perkebunan dan hutan tanaman industri (HTI) kepada Kementerian Lingkungan Hidup.
Manager Advokasi Hukum dan Kebijakan Walhi Muhnur Satyahaprabu mengatakan, pihaknya melaporkan seluruh perusahaan itu ke Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) karena telah melanggar ketentuan pidana lingkungan hidup.
“Mereka jelas harus bertanggung jawab atas pencemaran dan kerusakaan lingkungan udara akibat asap yang melebihi ambang batas kesehatan,†katanya.
Menurutnya, perusahaan tersebut terdiri dari 33 perusahaan perkebunan, dan 84 perusahaan HTI. Lokasi perusahaan tersebut 99 persen berada di provinsi Riau. Namun, Walhi enggan merinci nama perusahaan-perusahaan tersebut.
“Bukti-bukti sudah kami serahkan. Jika penyidik kurang bukti, kami siap menghadirkan bukti yang dibutuhkan,†ujar Munhur.
Kebakaran hutan, lanjutnya, satu modus kejahatan lama yang terus akan terulang jika aparat penegak hukum gagal menangkap pelaku sebenarnya. Namun, jika proses hukum terhadap perusahaan-perusahaan yang memperoleh benefit (keuntungan) atas kejahatan itu dilakukan, maka niscaya kebakaran akan bisa dihentikan.
Walhi dan sejumlah LSM kemudian memberi waktu tujuh hari kepada Presiden SBY dan kementerian terkait untuk melakukan upaya hukum terhadap 117 perusahaan yang diduga terlibat kebakaran hutan.
Sejumlah laporan menyebutkan, Polda Riau sejauh ini telah menangkap sembilan orang yang disebut sebagai tersangka pembakar lahan dan hutan.
DPR Didesak Lakukan Pembaruan KUHAP
Antisipasi Praktik Penyiksaan
Untuk memperingati Hari Internasional Mendukung Korban Penyiksaan, Komite untuk Pembaruan Hukum Acara Pidana mendesak pemerintah dan DPR untuk segera melakukan pembaruan terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
KUHAP yang berdasarkan pada UU Nomor 8 tahun 1981, dianggap tidak mampu mencegah dan masih memberikan peluang praktik-praktik penyiksaan seperti perlakuan yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia.
Komite yang terdiri dari aktivis-aktivis organisasi seperti Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Indonesia Legal Resource Center (ILRC), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Arus Pelangi, dan lainnya memandang, upaya pembaruan KUHAP yang saat ini sedang dibahas oleh DPR merupakan momentum untuk menutup celah-celah praktik penyiksaan.
Pengacara publik dari LBH Jakarta Maruli T. Rajagukguk mengatakan, penyiksaan merupakan bentuk kejahatan yang sengaja dipelihara negara. Sayangnya, banyak korban yang tidak mau mengungkap praktik penyiksaan yang dialaminya.
“Dari hasil penelitian LBH Jakarta, aparat kepolisian paling sering menjadi pelaku penyiksaan. Sementara pihak yang rentan mengalami penyiksaan antara lain anak-anak, kalangan kurang mampu, orang miskin, kaum termajinalkan, dan mahasiswa,†ujarnya.
Selain itu, dia juga mencatat adanya praktik penyiksaan dalam bentuk kekerasan seksual seperti ditelanjangi hingga dipaksa berciuman. Namun, meningkatnya kasus penyiksaan malah tidak menjadi perhatian dari para advokat. [Harian Rakyat Merdeka]