Apa yang sudah disepakati secara politik, jangan pernah diperdebatkan secara estetis. Nasihat bijak dari zaman republik masih muda, yang didengungkan Presiden Soekarno ini sudah hilang khasiatnya. Pecah kongsi dan intrik politik beratus-ratus episode jadi tontonan memuakkan di depan rakyat. Semuanya tampak jelas di dalam koalisi pemerintahan yang berkuasa.
Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera, dua seteru yang saling benci tapi juga diam-diam saling membutuhkan. Diikat oleh kepentingan pragmatis kekuasaan. Terlepas dari apa kesepakatan yang dibangun kedua pihak di awal terbangunnya koalisi, saling serang di antara para elite partai tersebut tidak sehat untuk pembelajaran demokrasi rakyat.
Partai Demokrat merasa digunting dalam lipatan. PKS terang-terangan melawan kebijakan pemerintah yang harusnya didukung. Berbagai sebutan negatif keluar dari mulut elite Demokrat. Disebutkan, PKS bermuka dua, PKS main di dua kaki, sampai PKS munafik. Di parlemen, saling tampar antara PKS dan mitra-mitra koalisinya, terutama Demokrat, dilakukan tanpa malu-malu. Tengok saja perdebatan mereka dalam isu skandal Bank Century dan kenaikan harga BBM bersubsidi.
Sial bagi Demokrat, PKS konsisten mewakili logika publik yang sederhana. Dilahirkan oleh tradisi inteletualitas yang kental, PKS cerdas menyisipkan semua argumentasi ilmiah yang dapat dipertimbangkan ketika berbeda sikap dengan koalisi. Tahun 2012 lalu PKS bahkan lancang mengirimkan surat langsung ke Presiden SBY untuk menyatakan penolakan pada isu yang sama. Yang menarik, dalam surat tersebut, PKS memberikan beberapa alternatif solusi yang dapat diperdebatkan namun masuk akal.
Kalau disurvei, sangat mungkin sebagian besar rakyat akan menganggap apa yang dilakukan PKS belakangan ini hanya untuk menutupi malu besar yang mereka dapatkan setelah kasus korupsi menghujam langsung ke Presiden PKS. Rakyat memandang semua kritik dan perlawanan ilmiah dari PKS adalah omong kosong kalau partai itu tetap berada di dalam koalisi pemerintahan.
Pengamat politik Hanta Yuda merinci apa sebab PKS bisa begitu nakal. Dalam sebuah diskusi pekan lalu, sikap PKS yang menolak mentah-mentah rencana kenaikan harga BBM adalah bagian dari strategi politik dan bisa dibaca dalam tiga hal. Pertama, penolakan ini bagian dari pencitraan mendongkrak elektabilitas, salah satu upaya meraih simpati publik. Kedua, PKS ingin memperkuat posisi tawar di koalisi. Ketiga, ini bagian dari akumulasi kekecewaan PKS. Dia ingatkan, PKS dari awal paling tak nyaman ketika Golkar bergabung ke koalisi padahal partai Aburizal Bakrie itu tidak berkoalisi sejak kampanye pilpres SBY-Boediono. Dengan kedatangan Golkar di tengah koalisi, PKS yang tadinya sangat kuat di barisan pemerintah menjadi lemah.
Masalah lainnya, PKS yang tadinya ingin Hidayat Nur Wahid jadi Ketua MPR sangat dikecewakan setelah SBY malah mendukung Taufiq Kiemas. Kemudian, kekecewaan PKS yang lain ketika SBY memilih Aburizal Bakrie sebagai ketua harian koalisi, padahal Bakrie dengan Golkar-nya datang belakangan. Lalu, PKS sering tidak dilibatkan dalam rapat setgab. Ada pula insiden pencopotan Menristek Suharna Suraprananta.
Ada juga asumsi lain. PKS sebenarnya merasa sedang "dikerjain" melalui kasus impor sapi. Di luar fakta hukum soal korupsinya, PKS merasa ada permainan politik yang mulai dijalankan oleh partai tertentu untuk mendegradasi elektabilitasnya.
Masing-masing pihak, baik PKS dan Demokrat, mengklaim bahwa telah terjadi pelanggaran terhadap kesepakatan politik sekaligus tindakan yang bertentangan dengan etika politik. Runyam sudah koalisi PKS-Demokrat. Benarlah kalau pakar politik, Arbi Sanit, menyebut hubungan antara Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat sejak awal adalah hubungan yang tidak normal, hubungan tidak sehat antara orang-orang yang "sakit".
Nah, kalau yang bicara yang sebaiknya, PKS dan Demokrat seharusnya sudah menormalisasi hubungan. Normalisasi adalah, kalau PKS mau menjadi oposisi maka jelas posisi oposisinya. Dan Demokrat juga, kalau sudah merasa sangat terganggu dengan PKS, sebaiknya tegas mengusirnya dari koalisi.
Menurut Arbi, kepentingan PKS di dalam koalisi hanya satu yaitu jalur kekuasaan untuk memperkuat logistik Pemilu. Sementara, Demokrat memerlukan dukungan PKS karena partainya bukan berbasis massa Islam, maka perlu dukungan Partai Islam. Tapi Demokrat tidak senang dengan langkah PKS yang kerap ekstrim, menyalahgunakan kekuasaan dan terlibat korupsi.
Hubungan tidak normal ini harusnya segera diakhiri. Politik kita makin kotor karena sikap para elitenya yang penuh pengkhianatan. Sedangkan di koalisi saja mereka bisa saling tikam dari belakang, bagaimana bisa mereka kita harapkan untuk menjalankan amanah dari rakyat? Yang mereka perdebatkan cuma untung rugi kelompok masing-masing, tidak menyentuh substansi upaya menyejahterahkan rakyat.
Kabar dari sumber terpercaya menyebutkan, putusan PKS untuk keluar dari Setgab sebenarnya sudah dibahas di Majelis Syura dan sudah final. Namun bola untuk keluar dari koalisi saat ini masih dipegang oleh Dewan Pimpinan Tingkat Pusat (DPTP) PKS.
Rakyat Merdeka Online telah membuka poling meminta pendapat pembaca terkait wacana PKS keluar dari koalisi parpol-parpol pendukung pemerintah. Poling baru saja ditutup dan diganti dengan tema lain. Hasil akhir poling adalah , pembaca yang Setuju PKS keluar dari koalisi sebanyak 76,8 persen. Sementara, yang Tidak Setuju 20,2 persen. Sisanya, 3,0 persen menjawab Ragu-ragu.
Poling ini tidak mengikuti kaidah akademis. Poling ini menggunakan metode one IP one vote, artinya tidak mencerminkan sikap seluruh rakyat Indonesia. Poling hanya gambaran sikap pembaca RMOL, yang bersedia memberikan suara dalam poling. Meski demikian, poling ini kami yakini dapat bermanfaat bila dijadikan tambahan referensi para pelaku politik.
[ald]