Gagalnya upaya penyitaan terhadap lima unit mobil yang diduga milik tersangka kasus Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Luthfi Hasan Ishaaq menunjukkan penegak hukum sudah tidak punya wibawa lagi.
"Itu memperlihatkan kemerosotan kewibawaan penegak hukum," ujar pakar hukum soal TPPU, Yenti Garnasih, kepada Rakyat Merdeka Online pagi ini (Rabu, 8/5).
Kedua, pihak yang disita juga tidak memiliki kepatuhan hukum. Karena itu sangat dia sayangkan. "Ini partai besar loh. Ditonton masyarakat kan nggak bagus. Kan waktu penangkapan (Luthfi Hasan) sudah kooperatif, kok sekarang nggak," keluhnya.
Kemerosotan wibawa ini tidak hanya pada KPK, tetapi semua penegak hukum termasuk Kejaksaan Agung. Dia mencontohkan, kasus eksekusi Susno Duadji yang gagal hingga akhirnya mantan Kabareskrim itu ditetapkan sebagai buron.
"Dalam bayangan saya, Susno ditangkap, karena buron, itu sambil menunduk, diborgol. Ini kok malah ketawa-tawa, sambi makan dan dia malah milih Lapas sendiri lagi. Ini kan nggak masuk logika," ketusnya.
Menurutnya, ada logika terbalik yang dijalankan oleh penegak hukum. Apabila gagal dalam mengeksekusi, baru dilakukan upaya persuasi. "Sudah nggak bisa, kok malah persuasif. Mestinya langsung upaya paksa setelah persuasi nggak bisa. KPK kemarin kan malam gagal, siang gagal lagi," jelasnya.
Menurutnya, tidak ada alasan untuk mengulur-ulur waktu dalam penyitaan. Kalau memang sudah kuat bukti hal itu terkait dengan TPPU maka harus disita. "Harus dilakukan penyegeraan. Kalau nggak, keburu hilang. Apapun alasannnya upaya paksa kok nggak bisa. Memang selain orangnya, penegak hukum juga mencari harta-harta orangnya," tandasnya.
[zul]