Fritz E. Simandjuntak/IST
ALEXANDER the Great, raja Makedonia di Yunani, hanya dalam kurun waktu13 tahun dan di usianya yang masih 30 tahunan telah mampu membangun imperium kerajaan yang 50 kali lebih besar dari yang diwariskan ayahnya.
Sehingga Alexander the Great telah menjadi legenda klasik yang dikenal sebagai ahli siasat perang dan mampu memotivisir pasukannya dalam menghadapi lawan yang lebih kuat sekalipun.
Kepemimpinan Alexander the Great sebenarnya tidak lepas dari peran gurunya seorang filsuf Yunani bernama Aristoteles. Selain mengajarkan pengetahuan dan ketrampilan bertempur, Aristoteles juga mengajarkan Alexander the Great berbicara di depan publik sekaligus melakukan persuasi yang kuat.
Ada tiga metode persuasi berbicara di depan publik yang diajarkan filsuf Yunani Aristoteteles, yaitu ethos (etika), pathos (emosional) dan logos (logika). Secara sederhana ketiga metode persuasi Aristoteles tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
Ethos merupakan karakter moral dari seorang pemimpin sehingga dia dipercaya dan dianggap mampu untuk memimpin. Pathos adalah kemampuan untuk menyentuh emosi orang lain dengan semangat yang berapi-api sehingga mampu mengajak publik untuk mengikutinya. Sementara logos adalah kemampuan untuk membuka pikiran orang lain secara logis dan masuk akal sehingga layak untuk dituruti.
Dengan metode persuasi ethos, pathos dan logos tersebut Alexander the Great selalu mampu membangun semangat bertempur dari pasukannya. Bahkan di saat ada sebagian pasukannya yang memberontak saat ingin invasi ke India.
Menjelang pemilihan umum dan presiden/wakil presiden 2014 selain memberikan informasi, maka setiap partai politik maupun kandidat calon presiden/wakil presiden harus mampu melakukan debat publik sekaligus untuk meyakinkan pemilih.
Barack Obama misalnya, menjadi kandidat favorit presiden AS saat di berpidato pada konvensi Partai Demokrat 2004. Sebagai politisi yang lahir dari dua ras, ibu dari Kansas dan bapak dari Kenya, tema "perubahan" yang diungkapkan berhasil menarik hati hadirin di sana.
Pada saat berkampanye tahun 2008, ketrampilan Obama dalam menyesuaikan isi pidatonya terhadap audiens yang hadir telah mengangkat popularitas dan elektabilitas dirinya. Menurut David Reminick (2010), Obama adalah seorang "shape shifter", karena dia mampu membuka logika dan menyentuh audiens yang berbeda, seperti eksekutif perusahaan, gereja, mahasiswa, dan professional meskipun topikl yang dibawa sangat sensitif yaitu tentang ras di Amerika. Untuk itu dia berhasil meyakinkan audiens bahwa dialah kandidat terbaik untuk memimpin bangsa Amerika.
Kalau kita amati daftar calon legislatif 2014 di mana 90.5 persen anggota DPR sekarang ikut mencalonkan lagi, atau kalaupun kandidat baru berasal dari kalangan selebritis dan keluarga pengurus partai politik. Maka dapat dikatakan bahwa partai politik tidak akan mampu melakukan persuasi dengan prinsip ethos, pathos dan logos tadi.
Beberapa partai bahkan masih mengusung kandidat yang sama sekali tidak memiliki karakteristik moral sebagai wakil rakyat. Selain mantan narapidana ada juga kandidat yang telah gagal mengemban tugas sebagai wakil rakyat periode sekarang dan mengundurkan diri.
Dengan karakteristik calon legislatif semacam itu, bisa saja masyarakat akan pasif sebagai pemilih karena sudah menduga tidak akan terjadi perubahan fungsi dan peran DPR di periode 2014-2019. Akibatnya partisipasi pemilih bisa saja rendah.
Yang paling mungkin dilakukan oleh para kandidat calon legislatif adalah melakukan transaksi pembelian suara. Kalau hal ini yang akan mewarnai pemilihan umum 2014, maka di masa mendatang kita tidak akan pernah berharap bahwa pemilihan umum akan membawa perbaikan bagi bangsa dan negara Indonesia.
Bagaimana dengan kandidat calon presiden, seperti Prabowo, Aburizal Bakrie, Megawati, Djokowi, Hatta Radjasa, Machfud MD, Wiranto, Dahlan Iskan, Gita Wiryawan dan Rizal Ramli ?
Calon presiden yang juga pemimpin di partainya, dari segi etos, mereka mencoba membangun karakteristik pemimpin yang tegas dan cepat bertindak (ethos). Agar paradoks dengan karakter kepemimpinan SBY.
Tetapi setelah melihat daftar calon legislatif 2014 yang mendapat begitu banyak kritik dari masyarakat, mereka relatif gagal menemukan karakteristik moral tersebut. Mereka adalah pemimpin yang sangat transaksional dan pragmatis. Bukan pemimpin visioner seperti diharapkan masyakarta.
Itu sebabnya para calon presiden tersebut masih mencari topik yang bisa menyentuh emosi rakyat dan mudah dicerna oleh nalar masyarakat banyak (logos) dan melalui media televisi disampaikan dengan berapi-api dan penuh semangat (pathos).
Karena keterbatasan menerapkan prinsip persuasi dan retorika yang diajarkan Aristoteles itulah maka masyarakat melihat kandidat alternatif seperti Djokowi, Dahlan Iskan, Gita Wiryawan, Machfud MD dan Rizal Ramli sebagai alternatif.
Terutama Djokowi, sejak menjadi walikota Solo dan sekarang Gubernur DKI Jakarta, dia sangat menguasai dan memanfaatkan pendekatan ethos, pathos dan logos dari Aristoteles dalam berkomunikasi. Apabila Djokowi diijinkan maju sebagai calon independen, bisa saja dia terpilih jadi Presiden 2014-2019. Dan dia bukan kandidat untuk Wakil Presiden yang akan digunakan mendongkrak kandidat Presiden mendatang. Kita tunggu saja 2014. [***]
Fritz E. Simandjuntak, sosiolog, tinggal di Jakarta.