Setelah tiga tahun menyandang status tersangka kasus korupsi pengadaan alat kesehatan, bekas Sekretaris Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik Departemen Kesehatan Ratna Dewi Umar (RDU) akhirnya dilimpahkan ke penuntutan.
Kemarin, Komisi PemberanÂtasan Korupsi (KPK) melimÂpahÂkan berÂkas pemeriksaan (penyiÂdikan) RDU ke tahap dua (peÂnunÂtutan). Jaksa penuntut umum KPK puÂnya waktu 14 hari kerja unÂtuk meÂlimpahkan berkas terÂsebut ke Pengadilan Tipikor.
“Mudah-muÂdahan pekan deÂpan RDU sudah bisa disidang,†kaÂta Kepala BÂaÂgian Pemberitaan KPK Priharsa Nugraha di kantornya.
Kemarin, pukul 1.49 siang, RDU menandatangani peÂnyeÂraÂhan berkas pemeriksaannya. MesÂki ditahan di
basement GeÂdung KPK, RDU datang meÂnumÂpang mobil tahanan jenis Toyota Kijang warna silver.
Ratna yang mengenakan blaÂzer dibalut jaket tahanan KPK, tidak berkomentar sepatah kata pun saat disapa wartawan. WaÂjahnya terlihat lelah. Dia berÂgeÂgas meÂlangkah sembari membaÂwa tas jinjingnya.
Satu setengah jam kemudian, mobil tahanan yang mengantar RDU sudah terparkir kembali di halaman Gedung KPK. Tak lama kemudian, RDU keluar.
Ditanya kesiapannya menghaÂdapi sidang, RDU kembali meÂngunci muÂlutnya rapat-rapat samÂbil menuju mobil tahanan.
Perkara yang menyeret RDU seÂbagai tersangka ini, adalah kaÂsus yang paling lama di meja peÂnyidik KPK. Pada 14 Mei nanti, kasus ini tepat berusia tiga tahun di penyidikan. RDU ditetapkan seÂbagai tersangka pada 14 Mei 2010. Dalam rentang waktu itu, RDU sudah beberapa kali meÂnÂjalani pemeriksaan hingga akÂhirÂnya ditahan pada 7 Januari 2013 di rutan basement KPK.
Nama lengkap kasus ini adalah perkara pengadaan reagen dan consumable penanganan virus flu burung dari Daftar Isian PÂeÂlakÂsaÂnaan Anggaran (DIPA) Anggaran Pendapatan Belanja Negara PeÂrubahan (APBN-P) pada DiÂrekÂtoÂrat Jenderal Bina Pelayanan MeÂdik Departemen Kesehatan Tahun Anggaran 2007.
RDU ketika itu menjabat SekÂretaris Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik Departemen KeÂsehatan. RDU disangka meÂnyaÂlahgunakan wewenangnya seÂbagai Kuasa Pengguna AnggaÂran dan Pejabat Pembuat KoÂmitÂmen Proyek Flu Burung 2007. RDU disangka bertanggung jaÂwab atas penggelembungan harga yang diduga merugikan negara seÂbesar Rp 36 miliar.
KPK sudah memeriksa seÂjumlah saksi kasus ini, termasuk Menteri Kesehatan Endang RaÂhayu Sedyaningsih (almarhum) dan bekas Menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari.
Pada 7 Januari lalu, ketika akan ditahan usai menjalani pemerikÂsaan, RDU menyatakan bahwa dirinya dijadikan kamÂbing hiÂtam.
“Saya siap ditahan seÂkarang, supaya cepat selesai. Kalau meÂrasa dikorbankan, iya. Yang lainÂnya nanti di perÂsiÂdaÂngan, nanti teman-teman bisa deÂngar,†kaÂtanya.
RDU bakal mengungkapkan piÂhak-pihak yang juga terlibat daÂlam perkara dugaan korupsi peÂngadaan alat kesehatan virus flu burung ini. Namun, dia belum mau menyebut secara tegas siaÂpa pihak yang seharusnya diÂmintai pertanggungjawaban.
“Bisa diÂtebak sendiri dong oleh siapa (saya dikorbankan). Oleh atasan saya lah, masak oleh baÂwaÂhan saya,†ujarnya.
RDU telah beberapa kali dipeÂriksa dalam kasus ini. KPK juga mengembangkan kasus ini dan meÂnetapkan bekas Kepala Pusat Penanggulangan Krisis DeÂparÂteÂmen Kesehatan Rustam Pakaya (RP) sebagai tersangka pada SepÂtember 2011. Meski ditetapkan sebagai tersangka belakangan, RusÂtam sudah disidang dan dijaÂtuhi hukuman 4 tahun penjara.
Rustam terjerat perkara korupsi pengadaan alat kesehatan tahun 2007. Proyek itu dimeÂnangÂkan PT Bersaudara. Kemudian, disubÂkontrakkan kepada beÂbeÂrapa peÂrusahaan, di antaranya PT GraÂha Ismaya, PT Mensa Bina SukÂses dan PT Esa Medika.
Reka UlangMasih Ada Beberapa Kasus Yang MandekBerdasarkan data di BaÂgiÂan Informasi dan Pemberitaan KPK, masih ada dua kasus yang suÂdah setahun lebih di peÂnyiÂdiÂkan, tapi belum bergulir ke peÂnuntutan.
Pertama, perkara korupsi peÂngelolaan anggaran di InÂsÂpeÂkÂtoÂrat Jenderal Kementerian PenÂÂdiÂdiÂkan Nasional tahun anggaÂran 2009. Tersangka kaÂsus ini adalah bekas Inspektur Jenderal KeÂmenÂdiknas MuhaÂmÂmad SofÂyan (MS).
Sofyan ditetapkan sebagai terÂsangka pada 11 Juli 2011, tapi baru ditahan pada 21 Januari 2013. Sampai masa penahanan MS akan berakhir, kasus tersebut beÂlum diÂlimpahkan ke penuntutan.
KPK menyangka Sofyan meÂnyaÂlahgunakan jabatannya sebaÂgai Irjen Kemendiknas untuk meÂlawan hukum, sehingga meÂngaÂkiÂbatkan kerugian keuangan neÂgaÂra sekitar Rp 13 miliar. MoÂduÂsnya, melakukan pengeluaran unÂtuk tujuan lain dari yang telah diÂtetapkan dalam anggaran beÂlanÂja negara. Salah satunya adaÂlah angÂgaran perjalanan dinas.
Kedua, perkara tindak pidana pencucian uang (TPPU) melalui pembelian saham PT Garuda InÂdonesia. Tersangka kasus ini adaÂlah bekas Bendahara Umum Partai Demokrat M Nazaruddin. Nazar yang juga terpidana kasus suap Wisma Atlet, ditetapkan seÂbagai tersangka TPPU ini pada 13 Februari 2012.
Dalam kasus ini, KPK telah melakukan penelusuran aset dan pemblokiran terhadap rekening milik Nazar. Nazar saat ini diÂpenÂjara di Lembaga PemasyaÂrakatan Cipinang, Jakarta Timur karena kasus suap Wisma Atlet.
Nazar disangka melakukan penÂcucian uang melalui pemÂbeÂlian saham PT Garuda Indonesia dengan menggunakan uang hasil korupsi. Antara lain pemenangan PT Duta Graha Indah (PT DGI) sebagai pelaksana proyek Wisma Atlet SEA Games 2011. Nazar sebelumnya didakwa menerima suap terkait pemenangan PT DGI berupa cek senilai Rp 4,6 miliar. Dalam kasus suap tersebut Nazar divonis penjara 4 tahun 10 bulan.
Sedangkan kasus yang hamÂpir setahun di penyidikan, tapi beÂlum ke penuntutan adalah perÂÂkara duÂgaan penerimaan hadiah atau janji, terkait proyek pemÂbaÂnguÂnan PemÂbangkit Listrik TeÂnaga Uap di TaÂrahan, LamÂpung pada 2004.
Tersangka kasus ini adalah KeÂtua Komisi XI DPR Izederik Emir Moeis. Emir ditetapkan seÂbagai tersangka pada 20 Juli 2012 dan telah dicegah ke luar negeri. Meski demikian, Emir belum sekalipun diperiksa. KPK pun tak banyak melakukan pemerikÂsaan saksi kasus tersebut.
Juru Bicara KPK Johan Budi Sapto Prabowo menyatakan, tiÂdak adanya pemeriksaan saksi dalam satu kasus bukan indikasi kasus tersebut tidak berjalan. BeÂgitu juga belum diperiksanya seÂorang tersangka.
Kata Johan, daÂlam penyidikÂan, tersangka bisa diÂperiksa lebih dahulu atau beÂlakangan. “TerÂganÂtung kebÂuÂtuÂhan penyidikan,†katanya.
Johan mengakui, KPK belum bisa sepenuhnya memenuhi haraÂpan masyarakat yang tinggi terÂhaÂdap pemberantasan korupsi. Dia mengakui ada beberapa kaÂsus yang mandek di peÂnyiÂdikan.
“Kami akui ada beberapa kaÂsus yang mandek. Tapi perlu juga memahami kondisi di KPK, kaÂpasitas sumber daya manusia kami sangat terbatas. Biarpun beÂgitu, kami akan bergerak terus,†kata Johan di kantornya, Jumat (12/4).
Johan menambahkan, penyeÂbab mandeknya kasus-kasus terÂseÂbut bukan karena penyidik KPK kesulitan mengumpulkan alat bukti. Bukan juga karena keÂsulitan membuat konstruksi huÂkum atau karena skala prioritas. Katanya, kasus-kasus yang manÂÂdek itu masih berjalan guna meÂlengkapi berkas penyidikan.
“Semua kasus tetap menjadi prioritas. Ketika sudah meneÂtapÂkan tersangka, itu artinya KPK sudah mempunyai alat bukti yang cukup dan tak ada alasan untuk membatalkan,†tandasnya.
Bisa Timbulkan Kecurigaan PublikBoyamin Saiman, Koordinator MAKIKoordinator LSM MasÂyaÂrakat Antikorupsi (MAKI) Boyamin Saiman meminta KPK menambah kecepatan dan meÂngoptimalkan kinerjanya daÂlam menuntaskan kasus-kaÂsus mangkrak di penyidikan.
Menurut dia, mandeknya seÂjumlah kasus di penyidikan akan berdampak pada citra KPK sebagai lembaga indeÂpenÂden dan profesional. Selain itu, kata Boyamin, membiarkan kaÂsus berlama-lama di peÂnyiÂdiÂkan, bisa membuat publik cuÂriga apakah KPK sedang meÂloÂkalisir kasus-kasus tertentu.
“Bukan hanya KPK yang dinilai tebang pilih dalam meÂnangani kasus, tapi mungkin ada damÂpak yang lebih besar, yakni pubÂlik akan curiga apaÂkah ada oknum yang mentranÂsaksikan kaÂsus tersebut. KeÂkhaÂwatiran itu mungkin munÂcul karena maÂsyarakat menÂcinÂÂtai KPK,†kata Boyamin, keÂmarin.
Dia pun mengingatkan KPK agar tidak tertutup dari kritik. Jika ada kasus yang mandek, lanjut Boyamin, KPK harus terÂbuka dan bisa menjelaskan alaÂsannya kepada publik.
Menurut Boyamin, jika KPK tetap melakukan pemeriksaan saksi, maka publik keliru jika meÂnyebut sejumlah kasus manÂÂdek atau mangkrak. NaÂmun, jika tidak ada pemÂeÂriÂkÂsaÂan seÂlama sekian bulan, wajar jika publik menilai kasus-kaÂsus terÂsebut mandek.
“Ini ada kasus yang berÂbulan-bulan tidak ada pemeriksaan saksi, tapi KPK tidak mau jika disebut mandek,†ujarnya.
Padahal, katanya, KPK waÂjib menuntaskan setiap kasus yang sudah pada tahap penyiÂdiÂkan. Soalnya, KPK tidak meÂmiliki kewenangan untuk mengÂhenÂtiÂkan penyidikan (SP3).
Lambatnya KPK dalam meÂnangani kasus-kasus tertentu, kata dia, juga menjadi salah satu penyebab lemahnya pemÂberantasan korupsi.
“Langkah terbaik adalah ceÂpat menyelesaikan kasus yang sudah ada di meja penyidik. Agar ketika ada kasus lain daÂtang, penyidik sudah siap meÂnangani kasus baru tersebut,†sarannya.
Segera Selesaikan Kasus MangkrakDesmond J Mahesa, Anggota Komisi III DPRAnggota Komisi III DPR Desmond J Mahesa berharap, KPK segera menyelesaikan kaÂsus-kasus yang mangkrak.
Desmond memahami, KPK tengah menghadapi masalah keterbatasan jumlah penyidik. Namun, dia berharap masalah terÂsebut tidak menjadi pengÂhambat utama dalam mempÂroÂses penyidikan.
Menurut dia, mandeknya beÂbeÂrapa kasus di penyidikan buÂkan hanya karena keterbatasan penyidik. Soalnya, ada kasus yang kurang dari setengah taÂhun, berkas pemeriksaan seÂjumlah tersangkanya sudah bisa dilimpahkan ke peÂnunÂtutan. Seperti berkas pemeÂrikÂsaan dua tersangka kasus suap pengurusan kuota impor daÂging sapi, Arya Abdi Efendi dan Juard Efendi.
“Tapi mengapa ada beÂbeÂrapa kasus yang sudah setahun lebih masih berkutat di peÂnyidikan. Khawatirnya, KPK dalam meÂneÂtapkan terÂsangÂka belum cuÂkup bukti seÂhingga di tengah jalan keÂbiÂnguÂngan. Itu yang sangat diÂkhaÂwaÂtirÂkan,†kata Desmond, kemarin.
Dia juga khawatir, jika suatu kasus terlalu lama di peÂnyiÂdiÂkan, akan berdampak kepada menurunnya kepercayaan pubÂlik terhadap KPK.
“Akhirnya muncul dugaan, KPK hanya meÂngusut kasus piÂhak-pihak tertentu saja, seÂmenÂtara kasus lain tidak,†ucapnya.
Desmond menambahkan, daÂlam setiap rapat kerja dengan KPK, Komisi III DPR selalu mengevaluasi kinerja KPK. NaÂmun, DPR tidak bisa mengÂintervensi terlalu jauh. “Alasan yang disampaikan KPK hanya keÂterbatasan peÂnyidik,†ucap politisi Partai Gerindra itu.
Guna mengatasi kekurangan peÂnyidik, Desmond meminta KPK mengoptimalkan koorÂdinasi dengan pihak KepolisiÂan. Menurutnya, Kepolisian sudah menyatakan siap memeÂnuhi kebutuhan KPK itu.
Berapa pun penyidik yang dibutuhkan KPK, menurut Desmond, Polri siap membanÂtu. Namun, kaÂrena masalah koordinasi yang kurang baik, seringkali peÂnyidik yang dikiÂrim ke KPK, dikemÂbalikan ke Kepolisian. [Harian Rakyat Merdeka]