Kasus korupsi yang marak melibatkan pejabat di daerah, khususnya Kabupaten Bogor, Jawa Barat, adalah dampak dari otonomi daerah.
"Iklim otonomi ini memberikan kesempatan orang lain untuk melanggar dan mencari sumber ekonomi baru," kata Wakil Bupati Bogor, Karyawan Faturachman, saat ditemui di ruang kerjanya, di Cibinong, Jumat.
Wabup menjelaskan, korupsi yang melibatkan pegawai hingga pejabat di daerah sebagai dampak dari otonomi daerah yang diserahkan begitu saja. Setiap daerah dituntut untuk bisa mengelola wilayahnya sendiri dengan kemampuan masing-masing.
"Otonomi ini sebetulnya semu, pura-pura. Jadi, bagaimana mungkin kami bisa otonom. PAD kami tahun lalu Rp 450 miliar, kebutuhan masyarakat saat itu sudah 20 triliun," kata politikus PDI Perjuangan tersebut.
Wabup kembali menyatakan bahwa otonomi mengajarkan orang untuk melanggar aturan. Saat ini kemajuan yang sudah dilakukan Kabupaten Bogor adalah meningkatkan PAD menjadi Rp 1 triliun dan APBD Rp 4 triliun, tapi tetap belum mencukupi kebutuhan masyarakat yang sudah mencapai Rp 40 triliun.
Wabup menyebutkan, perlu dilakukan pembicaraan dan motivasi kepada seluruh pegawai agar hal-hal seperti itu tidak mengurangi niat untuk melayani masyarakat.
Kemarin (Kamis, 25/4) Wakil Bupati Bogor dipanggil KPK untuk diminta keterangan terkait kasus perizinan lahan makam di wilayah Tanjung Sari, Kabupaten Bogor, Jawa Barat yang melibatkan Ketua DPRD Kabupaten Bogor, Iyus Djuher, dan satu pegawai Pemerintah Kabupaten Usep Jumenio dan pegawai honorer Pemkab Bogor, Listo Wely Sabu.
Iyus, Usep dan Wely disangkakan melanggar pasal 12 huruf a atau b atau pasal 5 ayat 2 atau Pasal 11 UU No. 31/1999 sebagaimana telah diubah menjadi UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji terkait kewajibannya dengan ancaman pidana penjara pelanggar pasal tersebut adalah 4-20 tahun dan pidana denda Rp200 juta - Rp1 miliar.
[ant/ald]