Kembali, ekonom senior Indonesia, Rizal Ramli, mengkritik keras rencana pemerintah mengurangi subsidi bahan bakar minyak (BBM) dengan cara menaikkan harga.
Menurut mantan Menko Perekonomian ini, sebagian besar dari apa yang disebut sebagai "subdidi" adalah subsidi untuk praktik KKN, mafia migas, serta inefisiensi di PLN dan Pertamina. Namun dengan mudah pemerintah membebankan ekonomi biaya tinggi dan kesalahan manajemen tersebut kepada rakyat Indonesia untuk menanggungnya.
"Sikat dulu mafia migas yang selama ini membuat biaya BBM tinggi. Para mafia migas ini meraup untung sekitar Rp 10 triliun per tahun. Menaikkan harga BBM cuma menghasilkan pemasukan Rp 21 triliun dengan dampak yang pasti membuat beban rakyat semakin berat," ungkapnya ketika berbicara pada diskusi bertema Grand Design Tata Kelola Energi Nasional yang diselenggarakan Fakultas Teknik Universitas Indonesia di komplek UI, Depok, Selasa (23/4).
Dia ingatkan, 63 juta pengguna sepeda motor yang jelas-jelas rakyat menengah ke bawah juga memakai BBM.
"Ini alasan kuat untuk menyikat mafia migas yang suka menyetor ke Istana Hitam,†ujar Ketua Aliansi Rakyat Untuk Perubahan (ARUP) ini.
Sejak delapan tahun lalu, Rizal Ramli sudah berulang-ulang menyarankan agar segera membangun kilang (refinery) BBM. Langkah ini akan menurunkan biaya produksi BBM. Dengan kilang baru, Indonesia bisa menghemat biaya transportasi dan asuransi mengangkut minyak mentah ke Singapura dan impor BBM jadi. Artinya, tidak perlu memberi keuntungan kepada kilang dan pajak di luar negeri. Kalau pun harus mengimpor migas, seharusnya Pertamina bisa mengimpor langsung tanpa melalui mafia.
"Sayangnya langkah ini tidak dilakukan, karena akan merugikan para mafia migas. Pertanyaannya, apakah pemerintah tidak berani menyikat mafia migas karena Istana Hitam terus menerima setoran dari mereka. Sungguh tidak bermoral, menaikkan harga BBM tapi diam-diam menerima setoran dari mafia migas," tandas calon presiden alternatif versi The President Center ini.
[ald]