Selama hampir sembilan tahun berkuasa, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah sukses menurunkan produksi minyak dari 1,2 juta barel per hari menjadi 884.000 barel per hari.
Dan pada saat yang sama, SBY justru berhasil menaikkan impor minyak mentah dan minyak jadi, sekaligus sangat menguntungkan para mafia migas.
Demikian ditegaskan pakar perminyakan Kurtubi ketika berbicara pada diskusi bertema Grand Design Tata Kelola Energi Nasional yang diselenggarakan Fakultas Teknik Universitas Indonesia di komplek UI, Depok, Selasa (23/4). Diskusi juga menghadirkan mantan Menko Perekonomian Rizal Ramli dan Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara.
Menurut Kurtubi, yang menjabat Direktur Center for Petroleum and Energy Economic Studies (CPEES), penyebab terus anjloknya lifting migas karena sistem pengelolaan migas nasional saat ini didasarkan pada UU Migas 22/2001. Lewat UU tersebut, pemerintah telah menjadikan aset milik negara sebagai agunan pada perusahaan asing.
UU Migas nomor 22 telah melanggar konstitusi. Sejak 2004 hingga November 2012, Mahkamah Konstitusi telah membatalkan 17 pasal yang melanggar UUD 1945. Tapi pemerintah tidak kunjung memperbaiki, bahkan terus menerapkan pasal-pasal yang telah dibatalkan tersebut.
"Ini artinya SBY telah melanggar konstitusi sehingga harus segera diturunkan," kata Kurtubi.
UU Migas juga telah membuat investasi perminyakan di Indonesia nyaris tidak ada. Hal ini disebabkan UU Migas menyebabkan panjangnya proses investasi hingga memerlukan waktu lima tahun sebelum bisa mengebor. Selain itu, UU juga mengharuskan investor membayar berbagai pajak di depan sebelum melakukan aktivitasnya. Padahal, untuk tiap sumur yang dibor, dibutuhkan antara US$ 20 juta-US$ 100 juta, dan belum tentu menghasilkan minyak.
Di negara-negara lain tidak ada aturan seperti di atas. Itulah sebabnya, lanjut dia, pengelolaan iklim investasi migas di Indonesia merupakan yang terburuk di Asia Tenggara dan Oceania.
Dengan berbagai kerugian yang amat besar di sektor perminyakan ini, lanjutnya, sudah seharusnya SBY dihentikan secepatnya. Menunda-nunda upaya menghentikan SBY-Boediono, hanya akan menimbulkan kerugian lebih besar bagi bangsa Indonesia, khususnya dari sisi penerimaan Migas.
"Untuk itu, solusi yang harus ditempuh adalah menggelar Pemilu yang dipercepat," ujar Kurtubi.
[ald]