.Ada empat kasus yang masih berkutat di meja penyidikan KPK, kendati telah ditangani hampir setahun. Bahkan, ada yang hampir tiga tahun tak kunjung bergulir ke penuntutan. Mandek.
Berdasarkan data di BaÂgian Informasi dan PemÂbeÂriÂtaan KPK, yang paling lama di meja penyidikan adalah kasus peÂngaÂdaan reagen dan consumable peÂnaÂnganan virus flu burung dari Daftar Isian Pelaksanaan AngÂgaÂran (DIPA) Anggaran Pendapatan BeÂlanja Negara Perubahan (APBN-P) pada Direktorat JenÂderal Bina Pelayanan Medik DeÂpartemen Kesehatan tahun angÂgaran 2007.
Tersangka kasus ini adalah bekas Sekretaris Direktorat JenÂdeÂral Bina Pelayanan Medik RatÂna Dewi Umar (RDU). Ratna diÂteÂtapkan sebagai tersangka pada 14 Mei 2010. Namun, hingÂga hampir tiga tahun, Ratna beÂlum juga dilimpahkan ke peÂnunÂtutan. Dia telah menjalani beÂbeÂrapa kali pemeriksaan, hingga akhirnya ditahan pada 7 Januari 2013 di Rumah Tahanan, baÂseÂment Gedung KPK.
Kasus lain yang sudah berumur lebih dari setahun di penyidikan adalah perkara tindak pidana penÂcucian uang (TPPU) melalui pemÂbelian saham PT Garuda InÂdonesia. Tersangka kasus ini adalah bekas Bendahara Umum Partai Demokrat M Nazaruddin. Nazar yang juga terpidana kasus suap Wisma Atlet, ditetapkan seÂbagai tersangka TPPU itu pada 13 Februari 2012.
Dalam kasus ini, KPK telah meÂlakukan penelusuran aset dan pemblokiran terhadap rekening milik Nazar. Nazar saat ini dipenÂjara di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta Timur karena kaÂsus suap Wisma Atlet. Sejak FebÂruari lalu, belum ada lagi peÂmeriksaan saksi atau penyitaan aset milik Nazar terkait kasus TPPU ini.
Kasus selanjutnya yang masih berada di meja penyidikan adalah perkara dugaan korupsi pengeÂloÂlaan anggaran di Inspektorat Jenderal Kementerian PenÂdiÂdiÂkan Nasional tahun anggaran 2009. Tersangka kasus ini adalah bekas Inspektur Jenderal KeÂmendiknas Muhammad Sofyan (MS).
Sofyan ditetapkan sebagai terÂsangka pada 11 Juli 2011, tapi baru ditahan pada 21 Januari 2013. Sampai masa penahanan MS akan berakhir, kasus tersebut beÂlum juga dilimpahkan ke peÂnunÂtutan. Masa penahanan Sofyan pada tahap penyidikan berÂakhir pada 20 April nanti.
KeÂpala Biro Humas KPK Johan Budi Sapto Prabowo berÂharap, Sofyan akan diÂlimpahkan ke peÂnunÂtutan sebeÂlum masa penahÂaÂnanÂnya di tingÂkat penyiÂdiÂkan berakhir.
Kasus lain yang masih di meja penyidikan adalah perkara duÂgaÂan penerimaan hadiah atau janji, terkait proyek pembangunan PemÂbangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Tarahan, Lampung pada 2004. Tersangka kasus ini adalah Ketua Komisi XI DPR Izederik Emir Moeis. Emir ditetapkan sebagai tersangka pada 20 Juli 2012 dan telah dicegah ke luar negeri. MesÂki demikian, Emir belum sekÂaliÂpun diperiksa. KPK pun tak baÂnyak melakukan pemeriksaan sakÂsi kasus tersebut. Dalam dua bulan ke belakang, tidak ada peÂmeriksaan saksi kasus tersebut.
Johan Budi menyatakan, tidak adanya pemeriksaan saksi dalam satu kasus bukan indikasi kasus tersebut tidak berjalan. Begitu juga belum diperiksanya seorang tersangka. Kata Johan, dalam peÂnyiÂdikan, tersangka bisa diÂpeÂrikÂsa lebih dahulu atau belakangan. “Tergantung kebutuhan penyiÂdiÂkan,†katanya.
Johan mengakui, KPK belum bisa sepenuhnya memenuhi haÂraÂpan masyarakat yang tinggi terÂhadap pemberantasan korupsi. Dia pun mengakui ada beberapa kasus yang mandek di meja peÂnyiÂdikan. “Kami akui ada beÂbeÂrapa kasus yang mandek. Tapi perÂlu juga memahami kondisi di KPK, kapasitas sumber daya maÂnusia kami sangat terbatas. Biar pun begitu, kami akan bergerak terus,†kata Johan di kantornya, Jumat (12/4).
Johan menambahkan, peÂnyeÂbab mandeknya kasus-kasus terÂsebut bukan karena penyidik KPK kesulitan mengumpulkan alat bukti. Dan bukan karena keÂsulitan membuat konstruksi huÂkum. Tapi, pihak KPK masihperlu melengkapi berkas penyidiÂkan.
“Semua kasus tetap menjadi prioritas. Ketika sudah meneÂtapÂkan tersangka, itu artinya KPK sudah punya alat bukti yang cukup dan tak ada alasan untuk membatalkan,†tandasnya.
Menurutnya, untuk menambah kecepatan kinerja, dalam waktu dekat KPK akan membuka rekÂruitÂmen. Rencananya komisi ini akan meÂnamÂbah 300 sumber daya manuÂsia (SDM) untuk ditempatkan di berbagai posisi.
“Dalam waktu deÂkat ada perekÂrutan untuk huÂmas, setjen, bebÂeÂrapa posisi lain, termasuk peÂnamÂbahan penyidik,†ucapnya.
Reka UlangSemua Kasus Sudah Ada Tersangkanya
Setidaknya ada empat kasus yang mandek di meja penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kasus pertama adalah perkara dugaan korupsi pengadaan alat kesehatan di Depertemen KeseÂhaÂtan tahun 2007, dengan terÂsangÂka bekas Sekretaris Ditjen Bina Pelayanan Medik Depkes RatÂna Dewi Umar (RDU).
KPK menetapkan RDU sebaÂgai tersangka karena diduga meÂlaÂkukan penyalahgunaan weÂweÂnang selaku kuasa pengguna angÂgaran dan pejabat pembuat koÂmitÂmen pengadaan alat kesehatan flu burung 2007. Ratna disangka berÂtanggung jawab atas penÂgÂgeÂlemÂbungan harga alat kesehatan yang diduga merugikan negara seÂbesar Rp 36 miliar.
RDU telah beberapa kali dipeÂriksa dalam kasus ini. KPK juga mengembangkan kasus tersebut dan menetapkan lagi satu terÂsangÂka, yaitu Rustam Pakaya (RP) pada September 2011. Meski diÂteÂtapkan sebagai tersangka beÂlaÂkangan, berkas untuk Rustam teÂlah masuk pengadilan. Dia diÂvonis bersalah dengan hukuman 4 tahun penjara.
Rustam terjerat proyek pengaÂdaan alat kesehatan yang dilÂakÂsaÂnakan PT Graha Ismaya. Pada 2006, proyek dimenangkan PT BerÂsaudara. Kemudian proyek disebut disubkontrakkan kepada beberapa perusahaan, di antaraÂnya PT Graha Ismaya, PT Mensa Bina Sukses, dan PT Esa Medika.
Kasus lain adalah perkara tinÂdak pidana pencucian uang (TPPU) yang dilakukan tersÂangÂka M NaÂzarudin. Kasus ini terkait pemÂbeÂlian saham perdana PT Garuda InÂdonesia. Nazar diduga melakukan penÂcucian uang kaÂrena membeli saÂham PT Garuda Indonesia deÂngan menggunakan uang hasil tinÂdak pidana korupsi, antara lain peÂmenangan PT Duta Graha Indah (PT DGI) sebagai pelaksana proÂyek Wisma Atlet SEA Games 2011.
Nazaruddin sebelumnya didakÂwa menerima suap terkait peÂmeÂnangan PT DGI berupa cek seÂniÂlai Rp 4,6 miliar. Dalam kasus suap tersebut Nazar divonis penÂjara 4 tahun 10 bulan.
Adanya indikasi tindak pidana pencucian uang oleh Nazaruddin ini terungkap dalam persidangan kasus dugaan suap Wisma Atlet. Bekas Wakil Direktur Keuangan Permai Grup, Yulianis saat berÂsakÂsi dalam persidangan NazaÂruddin mengungkapkan bahwa Permai Grup (perusahaan milik Nazaruddin) memborong saham PT Garuda Indonesia senilai total Rp 300,8 miliar pada 2010. PemÂbelian saham perdana PT Garuda Indonesia itu dilakukan lima peÂruÂsahaan yang merupakan anak perusahaan Permai Grup.
Kasus lain adalah dugaan peneÂriÂÂmaan hadiah atau janji, terkait deÂngan proyek pembangunan PemÂÂbangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Tarahan, Lampung, tahun 2004. TerÂsangka kasus ini adalah Ketua KoÂmisi XI DPR Izederik Emir Moeis.
Emir disangka menerima suap terkait tender boiler PLTU TaraÂhan yang dimenangi perusahaan asal Amerika Serikat. Suap terÂsebut sebesar 300 ribu dolar ameÂrika yang berasal dari PT Alstom Indonesia.
Kasus selanjutnya adalah kasus koÂrupsi pada pengelolaan anggaÂran di Inspektorat Jenderal KeÂmenÂÂterian Pendidikan Nasional tahun anggaran 2009, dengan terÂsangka bekas Irjen Kemendiknas MÂuhammad Sofyan (MS). KPK meÂnÂduga Sofyan telah menyaÂlahÂgunakan jabatannya sebaga Irjen Kemendiknas untuk melawan huÂkum, sehingga mengakibatkan keÂrugian keuangan negara senilai Rp 13 miliar.
KPK Pandang Bulu Dalam Pengusutan
Boyamin Saiman, Koordinator MAKIKoordinator LSM MaÂsyaÂrakat Antikorupsi (MAKI) Boyamin Saiman heran melihat mangkraknya sejumlah kasus di meja penyidikan Komisi PemÂberantasan Korupsi. PadaÂhal, kata dia, ada sejumlah kasus yang begitu cepat di meja penyidik untuk bisa sampai ke tahap penuntutan.
Boyamin khawatir, mangÂkrakÂnya sejumlah kasus di KPK, menimbulkan kecuriÂgaÂan masyarakat bahwa KPK meÂlaÂkukan tebang pilih.
“Jika kaÂsus tertentu begitu ceÂpat seÂmenÂtara yang lain beÂgitu lama, ada kesan bahwa KPK pandang bulu dalam meÂlakukan pengÂuÂsuÂtan,†tandasnya.
Padahal, dia mengingatkan, KPK wajib menuntaskan setiap kasus yang sudah pada tahap penyidikan sampai ke pengÂaÂdiÂlan tindak pidana korupsi (tipiÂkor). Soalnya, KPK tidak meÂmiÂliki kewenangan untuk mengÂhentikan penyidikan (SP3).
Untuk memastikan benar atau tidaknya sejumlah kasus mandek karena keterbatasan jumlah penyidik, Boyamin meÂnyarankan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan audit kinerja terhadap KPK.
“BPK nanti yang menilai dan memutuskan, apakah memang masalahnya ada pada keterÂbaÂtaÂsan penyidik atau ada masalah lain,†katanya.
Namun, selama ini langkah BPK melakukan audit kinerja selalu terhambat karena KPK seÂpÂertinya tertutup dan tidak kooÂperatif. “Padahal dalam sisÂtem kelembagaan negara, saling mengawasi itu kunci efektifitas kinerja. DPR mengawasi KPK, BPK mengawasi KPK juga seÂbaliknya,†tandasnya.
Selain itu, Boyamin khawaÂtir, sejumlah kasus yang manÂdek tanpa diinformasikan keÂpaÂda masyarakat luas, akan diÂmanÂfaatkan oknum KPK untuk ditransaksikan. “Ini yang paling mengkhawatirkan dan berÂpoÂtensi pada penghancuran KPK,†tandasnya.
Ada Kasus Yang Sengaja DilokalisirSyarifuddin Sudding, Anggota Komisi III DPRAnggota Komisi III DPR SyaÂrifuddin Sudding memaÂhaÂmi, Komisi Pemberantasan KoÂrupsi (KPK) masih menghadapi masalah keÂterbatasan jumlah penyidik.
Namun, saran dia, jangan samÂpai keterbatasan itu berpeÂngaÂruh pada kinerja KPK meÂnguÂsut kasus. Suding khawatir, jika suatu kasus terlalu lama di meja penyidikan, akan berÂdamÂpak kepada menurunnya keÂperÂcayaan publik terhadap KPK.
“Terkesan di publik, kasus-kaÂsus tertentu dilokalisir. AkÂhirÂnya muncul dugaan, KPK haÂnya mengusut kasus pihak-pihak tertentu saja, sementara kasus lain tidak,†ucap Sudding, kemarin.
Tapi, Suding berprasangka baik, mangkraknya sejumlah kasus di KPK hanya karena masalah keterbatasan penyidik. Menurutnya, dalam setiap rapat kerja antara Komisi III DPR dengan KPK, pimpinan KPK selalu beralasan yang sama dan sedikit tertutup.
“Ketika kita kritisi ke maÂsaÂlah penyidikan, KPK juga tak mau mengungkap dengan alaÂsan sudah masuk masalah teÂkÂnis penyidikan. Jadi, kita perÂcayakan kepada KPK seÂpeÂnuhÂnya,†ujar dia.
Sudding juga meminta publik untuk memberikan waktu agar KPK bisa menyelesaikan kaÂsus-kasus yang mandek tanpa teÂkanan atau desakan. “Kita perÂcayakan kepada KPK,†kata politisi Partai Hanura ini.
Guna mengatasi kekurangan penyidik, Suding meminta KPK mengoptimalkan koorÂdinasi deÂngan pihak kepolisian. MeÂnuÂrutÂnya, kepolisian sudah mÂeÂnyaÂtakan siap memenuhi keÂbutuhan KPK itu.
Berapa pun penyidik yang dibutuhkan KPK, menurutnya, Polri siap memÂbantu. Namun, karena maÂsalah koordinasi yang kurang baik, seringkali peÂnyidik yang dikirim ke KPK, diÂkembalikan ke kepolisian.
Menurut Sudding, dua lemÂbaga ini harus mampu beÂrÂsiÂnergi karena merupakan pilar penegakan hukum. “Jangan sampai ada satu lembaga yang merasa dianaktirikan, padahal dua lembaga ini merupakan pilar dalam penegakan hukum,†ucapnya. [Harian Rakyat Merdeka]