Peraturan KPU (PKPU) nomor 1 Tahun 2013 tentang Pedoman Pelaksanaan Kampanye Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dikecam.
Komite Independen Pemantau Pemilu Indonesia (KIPP) Indonesia mendesak KPU menghormati dan melaksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Peraturan KPU tersebut dianggap menghidupkan lagi pasal-pasal "pembredelan pers" dalam UU 42/2008 tentang Pilpres (Juli 2009) dan UU 10/2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD (Februari 2009) yang sudah dibatalkan MK.
Dalam keterangan resmi, Koordinator Kajian KIPP, Girindra Sandino, menyebutkan lagi beberapa pasal yang mengusik. Pertama, pada pasal 44, disebutkan bahwa KPI dan Dewan Pers melakukan pengawasan atas pemberitaan, penyiaran dan iklan kampanye pemilu yang dilakukan lembaga penyiaran, media cetak, on line dan elektroknik.
"MK sudah membatalkan pasal tersebut dalam UU Pilpres dan UU Pemilu yang lama karena menimbulkan ketidakpastian hukum. Lagipula Dewan Pers tidak berhak menjatuhkan sanksi," terangnya.
Contoh lain, pasal 36, diatur bahwa selama masa tenang media dilarang menyiarkan berita, iklan dan rekam jejak peserta pemilu yang mengarah pada kepentingan kampanye. MK juga sudah membatalkan hal ini.
Menurut KIPP, seharusnya KPU benar-benar ketat mengacu tidak saja pada ketentuan perundang-undangan, tetapi juga pada putusan-putusan MK.
Lagipula, tegas Girindra, secara yuridis KPU sama sekali tidak punya kewenangan mengembangkan interpretasi yang melampaui kebiasaan (eksesif) atas UU Pemilu, dan kemudian menuangkannya dalam Peraturan KPU.
[ald]