Skenario pengambilalihan kendali penuh Partai Demokrat oleh Susilo Bambang Yudhoyono Cs berjalan mulus. Melalui "permainan" Kongres Luar Biasa di Pulau Dewata pada akhir pekan di penghujung Maret lalu, SBY memegang tampuk kepemimpinan.
Aklamasi unik dengan cukup mendengarkan pandangan empat perwakilan dari daerah, lalu dilanjutkan dengan percakapan tim kecil dengan SBY untuk menanyakan kesediaan sang presiden untuk menjabat ketua umum, dan kemudian dengan pengajuan syarat-syarat dari SBY, bak sandiwara yang mudah ditebak ujungnya.
Praktis, SBY memegang seluruh jabatan strategis partai yang mengatur ke dalam maupun hubungan ke luar partai. Di sisi lain, Anas Urbaningrum seperti kehilangan jalan. Dia, yang tadinya diharapkan para pelaku politik untuk bermanuver dan membuka amunisi politik, malah terkesan sibuk dengan aksi-aksi perlawanan simbolik yang mulai menjemukan. Halaman baru Anas tak kunjung diisi dengan trik dan akrobat politik yang dinanti-nanti media dan kalangan melek poilitik.
Sementara, Ketua Harian DPP Partai Demokrat, Syarief Hasan, dipakai SBY sebagai "panca indera" untuk mengurus partai di tengah banyak persoalan besar lain yang mesti ditangani SBY sebagai presiden.
Dengan optimis, Syarief menegaskan, target pemulihan elektabilitas tahun ini menembus sampai 15 persen. Politisi gaek yang juga menteri kabinet SBY itu menegaskan, elektabilitas partainya yang diprediksi jatuh dari 20 persen ke 8 persen, akan meningkat dua kali lipat ketika pemilu legislatif digelar.
KLB di Bali dibanggakan SBY dan barisannya sebagai momen untuk kebangkitan Partai. Ketika orang lain mengatakan 15 persen adalah angka yang terlalu muluk, Demokrat di bawah kepemimpinan SBY malah menegaskan sebaliknya, bahwa15 persen adalah angka yang moderat.
Pastinya, akan banyak perbedaan antara Partai Demokrat di bawah kepemimpinan politisi muda yang tidak ikut banting tulang dalam pendirian partai (Anas) dengan "New Democrat" di bawah kendali sang pendiri utama partai (SBY). Barisan loyalis Anas, yang mayoritas anak muda, sampai kini masih yakin bahwa Demokrat akan menuju kehancuran total dengan gaya kepemimpinan cenderung "anti demokrasi" yang diterapkan para politisi tua.
Sedangkan, Anas dianggap telah menjalankan gerilya politik khas aktivis setelah menjabat ketua umum lewat proses demokratis dua putaran di Kongres 2010. Anas sempat menjadi harapan agar Demokrat tidak menjadi wadah politik Dinasti Cikeas semata. Namun, bintang politik yang melejit itu seketika pudar dan kelihatan ling-lung tanpa arah setelah rentetan musibah politik menderanya, terutama status tersangka korupsi Hambalang yang dijatuhkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Bahkan, dalam pidatonya sesaat setelah menjabat ketua umum, SBY sendiri mengaku sadar bahwa partai yang modern adalah partai yang tidak bergantung pada salah satu figur. SBY mengklaim, ingin Demokrat tak hanya bergantung padanya. Untuk menjadi partai yang modern, Demokrat harus berangkat dari platform, idealisme, dan mesin partai yang efektif, serta tidak bergantung pada figur perorangan.
Sejauh mana SBY telah mengimplementasikan ucapannya itu, belum terbukti. Meski baru saja berhembus kabar bahwa SBY akan melepas dua jabatan strategis yang digenggamnya yaitu Ketua Dewan Pembina dan Ketua Dewan Kehormatan, tetap saja semua orang masih percaya bahwa SBY gantungan utama hidup matinya partai.
Akankah Demokrat berhasil dalam perjuangan keras mengubah citranya dari partai korup atau sekadar fans club SBY yang diisi para koruptor? Jika jawabannya "ya", bukan tak mungkin Demokrat bakal menembus target pencapaian elektabilitas minimal 15 persen.
Apakah dengan take over SBY itu citra Demokrat akan semakin baik? Citra SBY sebagai presiden memang masih cukup baik (meski menurun) di mata publik. Tapi apakah itu akan membantu pemulihan Demokrat yang tiga tahun terakhir dihajar kasus-kasus korupsi yang menyeret para petingginya?
Sejak Februari lalu (sebelum KLB digelar),
Rakyat Merdeka Online menggulirkan poling untuk menjaring pendapat para pembaca setia untuk menjawab pertanyaan "Menurut Anda, apakah langkah SBY mengambil alih penuh Partai Demokrat akan efektif menyelamatkan partai itu dari kejatuhan perolehan suara di Pemilu 2014?"
Ada tiga pilihan jawaban. efektif, tidak efektif atau tidak tahu? Mereka yang menjawab Efektif adalah 22,6 persen. Yang memilih jawaban Tidak Efektif menyentuh 75,0 persen. Sedangkan yang Tidak Tahu 2,4 persen.
Dua pekan setelah KLB digelar, kita masih menunggu lembaga riset politik terpercaya yang merilis hasil survei untuk mengukur tingkat elektabilitas Demokrat setelah SBY menggeser Anas dan turun gunung jadi ketua umum.
Apapun jawaban pembaca yang budiman atas poling dengan metode 1 IP 1 Vote ini, tentu saja hasilnya tak mencerminkan pandangan seluruh masyarakat. Survei ini kiranya dapat memberi masukan positif bagi dunia perpolitikan, bagi para pelakunya dan masyarakat luas.
[ald]