Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melaporkan dugaan korupsi 26 perusahaan tambang ke Bareskrim Polri. Tapi, Bareskrim belum selesai melakukan penyelidikan mengenai hasil audit BPK tahun 2011 yang dilaporkan sebulan lalu itu.
Menurut Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigjen Boy Rafli Amar, Bareskrim tengah menelaah laporan BPK tersebut.
“Kami masih meneliti laporan BPK. Sampai saat ini, masih dalam tahap penyelidikan sebagai tindaklanjut dari data yang disampaikan BPK,†kata Boy kemarin.
Sekalipun sudah menerima laporan satu bulan lalu, Boy belum bisa menyampaikan kemajuan penyelidikan. Dia pun belum mau menyampaikan klasifikasi laporan tersebut. Soalnya, masih sangat banyak yang perlu dikros cek.
“Ada 26 perusahaan yang dilaporkan ke Bareskrim. Dugaan pelanggarannya perlu diteliti satu- per satu,†bekas Kapoltabes Padang, Sumatera Barat ini.
Prinsipnya, laporan BPK ini terkait dugaan penyelewengan anggaran. Selain itu, berisi dugaan penyimpangan izin prinsip pengelolaan lingkungan. Jadi, tindak lanjut atas laporan tersebut harus disinkronisasi antar direktorat di Bareskrim.
Jika ada temuan mengenai dugaan korupsi, hal itu akan ditangani Direktorat III Tindak Pidana Korupsi (Dit III Tipikor). Bila terdapat temuan tentang pencucian uang, bisa ditangani Direktorat II Ekonomi Khusus (Dit II Eksus).
Untuk urusan lingkungan, akan dikoordinasikan dengan Direktorat V Tindak Pidana Tertentu (Dit V Tipiter).
“Kami masih klasifikasi laporan untuk menentukan jenis pelanggarannya,†lanjut Boy.
Menurut Kabareskrim Komjen Sutarman, selain berangkat dari laporan BPK, Mabes Polri tengah menyelidiki pelanggaran sejumlah perusahaan perkebunan dan pertambangan di berbagai daerah. Untuk keperluan ini, Kepolisian memeriksa rencana tata ruang wilayah (RTRW) daerah, penetapan kawasan hutan kementerian, izin usaha perkebunan (IUP), izin usaha eksplorasi dan ekploitasi. “Prosesnya panjang,†ucapnya.
Sutarman juga belum merinci identitas perusahaan yang diduga menyalahi ketentuan. “Penyelidikan masih berjalan,†ujarnya. Pernyataan tersebut berkaitan dengan laporan BPK ke Bareskrim pada 26 Februari lalu.
Anggota BPK Ali Masykur Musa menegaskan, laporan ke Bareskrim dilatari alasan, banyak pelaku usaha pertambangan dan kehutanan yang diduga merusak lingkungan dan memanipulasi pajak. “Mereka diduga mengemplang royalti atau melaporkan pembayaran yang tidak semestinya kepada negara,†tuturnya.
Ia mengklasifikasi, tindak pidana perusahaan-perusahaan tersebut, yaitu menyerobot kawasan hutan, merambah hutan tanpa izin, tidak menyetorkan jaminan reklamasi, dan tidak merehabilitasi lahan pasca tambang. Dampak yang ditimbulkan akibat tindakan tersebut adalah bencana alam berkepanjangan.
Ali Masykur menegaskan, audit lingkungan tahun 2011 mengindikasikan adanya kebocoran uang negara Rp 90, 6 miliar. Oleh sebab itu, BPK mendorong Kepolisian melakukan penegakan hukum secara profesional dan proporsional. “Kita menginginkan agar ada upaya hukum dalam menyelesaikan hal ini,†tandasnya.
Tapi, dia menolak menyebutkan daftar perusahaan yang dilaporkan ke Kepolisian. Menurut dia, identitas perusahaan menjadi kompetensi Bareskrim yang menyelidiki laporan hasil pemeriksaan (LHP) BPK. “Yang jelas, perusahaan yang dilaporkan terdiri dari BUMN dan perusahaan swasta,†ujar Ali Masykur.
Deputi Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) Sudariyono mengaku belum tahu, perusahaan-perusahaan apa saja yang dilaporkan ke Bareskrim. Saat dikonfirmasi, dia mengatakan, pihaknya belum mendapat jawaban dari Bareskrim dan BPK terkait identitas 26 perusahaan tersebut.
“Nama-nama perusahaannya kami belum tahu. Begitu pula jenis pelanggaran hukum yang diduga dilakukan perusahaan-perusahaan tersebut,†tutur Sudariyono.
REKA ULANG
Perusahaan Yang Terbukti Rusak Lingkungan Wajib Bayar DendaAnggota IV Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Ali Masykur mengkategorikan tiga modus kejahatan atau pelanggaran 26 perusahaan yang dilaporkan ke Bareskrim Polri.
Penyalahgunaan pertama, terkait pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP). Kata Ali, ada 22 perusahaan yang tidak mengantongi IUP. “Itu dari aspek perusahaan swasta dan BUMN. Besar dan kecil,†katanya pada 26 Februari lalu.
Penyimpangan izin, jelas Ali, menyalahi mekanisme peraturan perundang-undangan, yaitu Undang Undang (UU) Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Dalam Pasal 38 UU itu disebutkan, penggunaan kawasan hutan untuk pertambangan harus berdasarkan izin pinjam pakai kawasan hutan, yang diminta dari Kementerian Kehutanan.
Izin ini, sebutnya, tidak dipenuhi 22 perusahaan itu. Padahal, dalam Pasal 50 disebutkan, setiap orang dilarang melakukan kegiatan eksplorasi atau eksploitasi tambang di kawasan hutan tanpa izin Menteri Kehutanan.
Dalam Pasal 78 ayat 5 disebutkan, pelanggar Pasal 50 di ancam hukuman 10 tahun penjara dan denda Rp 5 miliar.
Penyalahgunaan model kedua, lanjut Ali, terkait pemberian izin pemanfaatan kayu dan land clearing kawasan hutan produksi untuk perkebunan sawit.
Dalam kasus ini, ditemukan ada empat perusahaan tambang yang tidak memiliki izin pelepasan kawasan.
Dalam modus ini, pemberian Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) tanpa izin pengawasan hutan itu melanggar Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan.
Bentuk penyalahgunaan ketiga, menurut Ali, ada pada kesalahan penerbitan SK dan Surat Keterangan Sah Kayu Bulat (SKSKB). “Ada penerbitan SK dan SKSKB atas 119 ribu kubik kayu senilai Rp 58,1 miliar yang tidak sah. Maka memiliki potensi kerugian negara,†imbuhnya.
Menteri Lingkungan Hidup Balthasar Kambuaya mengatakan, perusahaan yang terbukti melakukan perusakan lingkungan harus bertanggung jawab dan membayar denda untuk mengembalikan kelestarian lingkungan.
“Produsen dan perusahaan harus bertanggung jawab terhadap kondisi lingkungan di sekitarnya. Kalau memang merusak lingkungan, mereka harus bayar,†katanya.
Baltashar mengatakan, hasil audit BPK mengenai 26 perusahaan tambang dan perkebunan masih berkaitan dengan potensi kerugian negara yang mencapai Rp 90,6 milliar dan 38 ribu dolar AS.
â€Hasil audit BPK itu masih terkait dengan kerugian negara. Mengenai lingkungannya, kami akan berkoordinasi dengan mereka,†kata Baltashar.
LSM Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan kecolongan dengan adanya laporan BPK tersebut.
â€Kedua kementerian itu kecolongan dengan laporan BPK dan itu menjadi tamparan berat bagi KLH dan Kemenhut, mengapa sampai saat ini nyaris tidak ada penanganannya,†kata Manager Kampanye Tambang dan Energi Walhi Pius Ginting.
Jangan Ada Kesan Tebang Pilih Ya...Neta S Pane, Ketua Presidium IPWKetua Presidium LSM Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane mengingatkan agar Kepolisian segera menuntaskan laporan BPK. Hal itu penting, mengingat pengusutan perkara korupsi dan tindak pidana lingkungan hidup masih minim.
“Kasus ini jika ditangani sampai tuntas, bakal menunjukkan komitmen Kepolisian mengatasi persoalan lingkungan hidup,†katanya.
Selain itu, laporan BPK tersebut menjadi semacam ujian buat Kepolisian dalam mengungkap skandal ini. Soalnya, Neta mahfum, tidak sedikit “orang kuat†yang memiliki saham atau duduk sebagai komisaris di perusahaan tambang dan sawit.
Kendati begitu, dia meminta Kepolisian berani mengusut laporan BPK tersebut secara obyektif.
“Jangan ada kesan tebang pilih. Atau memberi perlakuan istimewa pada mereka yang diduga menyeleweng,†ujarnya.
Menurut Neta, pelanggaran oleh perusahaan tambang dan perkebunan di sini sangat pelik. Karenanya, dia berpesan, pengusutan perkara ini harus dilakukan secara multidimensi. Semua aspek yang diduga terkait dengan persoalan ini, hendaknya dilibatkan. Atau paling tidak, Kepolisian mau melakukan koordinasi secara terpadu dengan lembaga kompeten lainnya.
Laporan BPK ini, lanjut Neta, tidak melulu berorientasi pada penegakan hukum. Tapi harus dipandang juga dari sudut yang lebih luas, yakni upaya menyelamatkan lingkungan. Terlebih saat ini, kerusakan lingkungan akibat penambangan dan perambahan hutan sudah semakin parah. “Kita tentu tidak ingin bencana alam terus terjadi akibat penambangan dan perambahan hutan secara ilegal,†tandasnya.
Sudah Dapat Amunisi Yang Tak DiragukanM Taslim Chaniago, Anggota Komisi III DPRAnggota Komisi III DPR M Taslim Chaniago mendukung langkah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan audit lingkungan. Pasalnya, selama ini audit di sektor tersebut belum lazim dilakukan.
“Potensi kerugian negara di sektor lingkungan ini sangat besar,†katanya.
Dia memandang, kerugiannya tidak sebatas pada dugaan tindak pidana, seperti korupsi, pelanggaran izin dan sebagainya. Namun juga berefek signifikan terhadap kerusakan alam secara permanen.
Kerusakan alam permanen ini, lanjutnya, tidak bisa tergantikan apapun. Oleh sebab itu, Kepolisian harus eksta serius menindaklanjuti laporan BPK tersebut. “Segera tindak pelaku-pelaku yang diidentifikasi melanggar hukum,†ucapnya.
Menurut Taslim, audit BPK tahun 2011, bisa menjadi dasar bagi penegak hukum untuk mengambil langkah hukum. Jadi pada hematnya, Kepolisian sudah mendapatkan amunisi berupa data yang validitasnya tidak diragukan. Kepolisian tinggal meneruskan penyelidikan saja.
Jika pada tahapan ini, Kepolisian belum mampu menindaklanjuti laporan BPK, otomatis nasib penegakan hukum pada umumnya bisa terancam.
Dia menilai, audit lingkungan adalah hal yang relatif baru. Hal ini perlu didukung lantaran memiliki fungsi yang multi dimensional. Bila diterapkan secara proporsional dan profesional, dia yakin, hasil dari penelusuran audit lingkungan akan membuat jera para pengusaha tambang dan hasil hutan ilegal.
“Sedikit banyak, pelaku kejahatan di sektor ini akan berpikir panjang untuk menjarah kekayaan alam kita,†tandasnya.
Taslim berharap, Kepolisian mampu menjawab tantangan BPK dengan melakukan penyelidikan dan penyidikan secara profesional. [Harian Rakyat Merdeka]