Awal tahun 1998, Bos IMF Michaels Camdessus bersedekap di belakang Presiden Soeharto sambil tersenyum. Banyak yang tersinggung menyaksikan adegan tersebut karena dianggap sangat menghina harga diri bangsa ini.
"Itulah puncak keberhasilan kudeta kaum neoliberalis terhadap Republik Indonesia," ujar Direktur eksekutif Institut Ekonomi Politik Soekarno Hatta (IEPSH) M. Hatta Taliwang (Jumat, 22/3).
Pada saat itu Soeharto terpaksa menandatangani Letter of Intent (LoI) yang merupakan induk dari segala nafas amandemen UUD 1945 dan ratusan UU, yang mengantarkan Republik Indonesia tercengkeram sampai saat ini dibawah kendali para kapitalis global.
Sejak saat itu mereka mengatur dan mengendalikan Republik Indonesia. Sejak saat itu pula, urusan migas dan minerba, perbankan, investasi, retail, pangan dan lain-lain berada di bawah kendali para kapitalis.
Makanya, masih kata Hatta, lahir pemimpin/presiden boneka di Indonesia. Yang berusaha melawan mereka pasti tergusur, karena mereka mempunyai barisan antek setia, baik di eksekutif, legislatif, yudikatif, akademisi, LSM, media massa, Ormas, TNI/Polri, tokoh dan lain-lain.
Kalau tahun 1965/1968 sering disebut kudeta merangkak dalam rangka penguasaan Indonesia oleh para kapitalis global dan mengucurkan darah jutaan
rakyat Indonesia, kudeta 1998 adalah kudeta tanpa darah yang oleh peneliti dari UI DR Syamsul Hadi dan peneliti IGJ Salamuddin Daeng disebut kudeta putih.
"Karena perebutan kekuasaan atas Republik Indonesia dilakukan dengan menguasai software Indonesia yaitu melalui lewat Amandemen atas UUD 1945 dan paket UU yang keblinger," kata Hatta, yang pernah menjadi anggota DPR dari PAN ini.
Soeharto terperosok ke jurang dalam sehingga terpaksa menandatangani LoI tersebut bermula dari ulah pialang saham asal Amerika Serikat, George Soros. Dia dianggap biang kerok krisis moneter di Asia Tenggara/ Indonesia tahun 1997.
"Krisis ini berkembang jadi krisis ekonomi yang menyebabkan Soeharto harus menerima 'pertolongan' IMF. Sebuah sumber menyebut bahwa sebenarnya Soeharto sangat menyesal menandatangani LoI tersebut. Tapi sejarah mencatat bahwa krisis tersebut berkembang jadi krisis politik yang menjatuhkan Soeharto," demikian Hatta.
[zul]