.Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melanjutkan pemeriksaan saksi kasus korupsi pengelolaan dana sidang internasional Departemen Luar Negeri.
Kali ini giliran tiga bos hotel yang dipanggil sebagai saksi, yaÂitu General Manager (GM) Grand Hyatt Jakarta, GM Hotel Atlet Century Park dan GM InterÂconÂtinental Jakarta Midplaza Hotel. Tiga saksi itu dipanggil sebagai saksi bagi tersangka Sudjadnan ParÂnohadiningrat (SP), bekas Sekretaris Jenderal Deplu.
“Ketiganya diperiksa sebagai saksi untuk tersangka SP,†kata Juru Bicara KPK Johan Budi Sapto Prabowo di Gedung KPK, JaÂlan Rasuna Said, Kuningan, JaÂkarta Selatan, Jumat (15/3).
Dia tak menjelaskan alasan, keÂnaÂpa tiga bos hotel itu tidak diÂseÂbutkan namanya ke publik. “HaÂnya disebut jabatannya. PeÂnyidik yang lebih tahu untuk itu,†ujarnya.
Dalam pemeriksaan tersebut, bos Hotel Grand Hyatt Jakarta tiÂdak bisa memenuhi panggilan. Sedangkan dua saksi lain datang ke Gedung KPK. Johan pun tidak memberikan keterangan alasan ketidakhadiran bos hotel yang berlokasi di dekat Bundaran HoÂtel Indonesia itu.
Menurut Johan, penyidik maÂsih melengkapi berkas peÂmeÂrikÂsaan kasus yang merugikan neÂgaÂra Rp 18 miliar itu. KPK juga beÂlum menetapkan pihak lain yang diindikasikan terlibat daÂlam kasus tersebut. “Belum ada gelar perÂkara lagi. Penyidik maÂsih foÂkus untuk menyelesaiÂkan berkas perÂkara untuk terÂsangka SP,†ucapnya.
Dalam kasus ini, KPK telah memeriksa beberapa saksi dari piÂhak duta besar, pegawai negeri sipil (PNS) di lingkungan DeÂpartemen Luar Negeri (kini KeÂmenterian Luar Negeri) maupun anggota DPR.
Awal Januari lalu, KPK meÂmeÂÂriksa Duta Besar Indonesia untuk Rusia Djauhari OratÂmaÂngun. SeÂbelumnya, KPK meÂmeÂriksa Duta Besar Indonesia unÂtuk Kanada, Dienne Hardianti Moehari. DjauÂhari dan Dienne diperiksa karena dianggap tahu seputar penÂyeÂlenggaraan sidang internasional sepanjang 2004 hingga 2005 itu.
KPK juga pernah memeriksa bekas Menteri Luar Negeri HasÂsan Wirajuda dan musisi Erwin GuÂtawa sebagai saksi. Hassan diÂperiksa selama 8 jam di Gedung KPK.
Seusai pemeriksaan, HasÂsan mengaku ditanya alasan keÂnapa Kemenlu sering meÂngaÂdaÂkan konferensi internasional seÂpanjang 2004-2005. Dalam kurun waktu dua tahun tersebut, KeÂmenlu melaksanakan 15 hingga 17 konferensi internasional.
Hassan menjelaskan, kondisi InÂdonesia saat itu terpuruk, seÂhingga membutuhkan dukungan internasional. Hasan mengaku tak tahu menahu mengenai adaÂnya praktik korupsi.
“Saya saÂmÂpai dengan ditemuÂkanÂnya proses intern, jadi dua taÂhun kemudian baru saya meÂngeÂtahui ada peÂlanggaran,†katanya.
Hassan mengaku penggunaan anggaran konferensi interÂnaÂsioÂnal itu sudah diaudit badan peÂngaÂwasan internal maupun lemÂbaga pengawasan pemerintah. “Pengawasan intern yang dilaÂkuÂkan Inspektorat Jenderal, tapi ada juga pengawasan pemerintah yaÂitu audit BPKP. Kita tidak boleh berprasangka ada korupsi, tapi sampai ditemukan kita baru tahu,†katanya.
Kasus ini naik dari tahap peÂnyeÂlidikan ke penyidikan pada NoÂvember 2011.
Sudjadnan kemÂbali menjadi tersangka, setelah seÂbelumnya terjerat kasus koÂrupÂsi yang lain. Dalam penyidikan kasus ini, KPK menetapkan Sudjadnan selaku bekas Sekjen Deplu sekaligus Pejabat Pembuat Komitmen sebagai tersangka. KPK menyangka Sudjadnan meÂnyalahgunakan wewenang ketika menjabat sebagai Sekjen Deplu.
Penyalahgunaan wewenang itu terkait dengan sejumlah keÂgiatan di Deplu, antara lain seÂminar dari kurun waktu 2004-2005. KPK menyangka ada seÂlisih pengÂguÂnaÂan anggaran, seÂhingga merugikan negara hingga Rp 18 miliar.
KPK menjerat Sudjadnan deÂngan Pasal 2 ayat 1 dan atau Pasal 3 Undang Undang Nomor 31 taÂhun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Reka UlangDari Proyek KBRI Hingga Seminar Internasional Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih mendalami kasus korupsi pengelolaan dana kegiaÂtan sidang internasional di DeÂpartemen Luar Negeri (kini KeÂmenterian Luar NeÂgeri). Pada 16 Januari 2013, KPK kembali meÂmanggil bekas SekÂretaris JenÂderal Deplu SudÂjadnan ParnohaÂdiningrat yang telah ditetapkan sebagai tersÂangÂka kasus tersebut.
“SP diperiksa sebagai terÂsangÂka,†kata Kepala Bagian PemÂbeÂritaan dan Informasi KPK, PriÂharsa Nugraha, Rabu (16/1) lalu.
Sudjadnan telah beberapa kali diperiksa KPK terkait kasus ini. Selain Sudjadnan, KPK juga teÂlah memanggil sejumlah nama daÂlam kapasitas sebagai saksi. BeÂberapa saksi yang telah diÂpangÂgil untuk diperiksa antara lain beÂkas Menteri Luar Negeri HasÂsan Wirajuda, Duta Besar untuk KaÂnada Dienne Hardianti MoeÂhari, Duta Besar untuk Rusia DjoÂhauri Oratmangun serta muÂsisi Erwin Gutawa.
Sudjadnan yang merupakan bekas Duta Besar untuk Amerika Serikat ini, disangka KPK meÂnyaÂlahgunakan wewenangnya seÂbagai Pejabat Pembuat KoÂmitÂmen (PPK) yang mengakibatkan negara mengalami kerugian Rp 18 miliar. Penyalahgunaan weÂweÂnang itu berkaitan dengan seÂjumÂlah keÂgiatan di Departemen Luar NeÂgeri, antara lain seminar yang diÂlakÂsaÂnakan pada 2004 hingga 2005.
Sudjadnan bukan hanya diÂsangka korupsi pengadaan seÂminar. Sebelumnya, Sudjadnan telah dibawa KPK ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta karena kasus korupsi lain.
Menurut majelis hakim, SudÂjadÂnan terbukti melakukan koÂrupÂsi proyek perbaikan gedung kantor Kedutaan Besar ReÂpubÂlik Indonesia (KBRI), Wisma Duta Besar, Wisma DCM dan ruÂmah-rumah dinas KBRI di SiÂngapura pada tahun 2003.
Majelis hakim menjatuhkan hukuman 1 tahun 8 bulan penjara kepada Sudjadnan dalam kasus korupsi yang terjadi pada kurun 2003 hingga 2004 ini.
“Terdakwa dihukum penjara satu tahun delapan bulan dan denda Rp 100 juta subsider dua buÂlan kurungan,†kata Ketua MaÂjelis Hakim Jupriyadi saat memÂbaÂcakan vonis di PengaÂdilan TiÂpiÂkor Jakarta, Selasa (18/1/2011).
Vonis ini lebih rendah dari tunÂtutan jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi, yakni hukuman tiga tahun penÂjara. JPU juga menuntut terdakwa untuk membayar denda Rp 200 juta subsider enam bulan kurungan.
Menurut majelis hakim, SudÂjadÂnan terbukti menyetujui peÂngeÂluaran anggaran untuk renoÂvasi gedung dan rumah dinas di lingkungan Kedutaan Besar RI di Singapura sebelum ada persetÂuÂjuan dari Menteri Keuangan.
SeÂlain itu, dia terbukti telah meÂneÂriÂma uang sebesar 200 ribu dolar AS atau setara Rp 1,8 miliar dari bekas Duta Besar Indonesia untuk Singapura Mochamad Slamet Hidayat.
Penyuapan itu terjadi dalam kuÂrun waktu Agustus 2003 samÂpai September 2004, ketika SlaÂmet Hidayat masih menjadi Duta Besar Indonesia untuk Singapura, dan Sudjadnan Sekjen Deplu. BerÂkaitan dengan pemberian terÂsebutlah, Sudjadnan mencairkan dana renovasi di lingkungan KeÂduÂbes RI untuk Singapura seÂbelum mendapat persetujuan Menteri Keuangan.
Sejumlah proyek perbaikan geÂÂdung di wilayah KBRI SiÂngapura itu tanpa melalui proses peÂleÂlangan, tanpa proses negoÂsiasi harga dan tidak membuat gambar rencana dan rincian item pekerÂjaan. Akibat perÂbuaÂtan ini, negara dirugikan sebesar Rp 8,4 miliar.
Majelis memutus, terdakwa teÂlah melanggar Pasal 3, junto Pasal 18 Undang Undang Tipikor Nomor 20 tahun 2001, junto PaÂsal 56 ke-2 KUHP.
Publik Pasti Heran, KPK Kok Seperti Berjalan Di TempatBoyamin Saiman, Ketua MAKIKetua LSM Masyarakat AnÂtikorupsi Indonesia (MAKI) BoÂÂyamin Saiman heran, kenapa Komisi Pemberantasan KÂoÂrupsi (KPK) belum juga meÂnyeÂleÂsaiÂkan kasus korupsi peÂngelolaan dana sidang interÂnaÂsional di DeÂpartemen Luar NeÂgeri (kini KeÂmenterian Luar NeÂgeri). PaÂdahal, kasus terÂseÂbut sudah haÂmpir dua tahun beÂrada di meja peÂnyidik KPK.
“Publik jadi bertanya, untuk kasus ini, KPK sebenarnya beÂkerja atau tidak,†ujar Boyamin.
Dia menilai, KPK tidak seÂrius dalam mengungkap kasus yang merugikan negara Rp 18 miliar itu. Menurut Boyamin, sebaiknya KPK jangan hanya melihat besar kecil kerugian negara dalam mengusut seÂbuah kasus.
Jika kasusnya besar dan meÂnyita perhatian publik seperti kasus suap pengurusan kuota impor daging sapi di KÂemeÂnÂtan, lanjut Boyamin, KPK terÂlihat giat dan cepat dalam meÂnyelesaikannya. Sedangkan daÂlam menyelesaikan kasus yang tidak menjadi perhatian publik, KPK berjalan lambat. “Malah KPK seperti terlihat jalan di temÂpat,†sindirnya.
Boyamin juga heran kenapa KPK belum menetapkan terÂsangka lain dalam kasus terÂseÂbut. Padahal, lanjut Boyamin, tindak pidana korupsi biasanya dilakukan bersama-sama. SeÂlain pihak internal Departemen Luar Negeri, diduga ada pihak eksternal yang memuluskan terÂjadinya tindak pidana koÂrupsi. “Kewajiban KPK untuk menelusuri siapa pihak-pihak lain itu untuk segera ditetapkan jadi tersangka,†ucapnya.
Dalam mengusut perkara koÂrupsi seperti ini, ingatnya, diÂperÂlukan komitmen dan keÂproÂfesionalan KPK untuk segera menjerat tersangka lainnya. “Dengan bukti-bukti yang teÂlah mereka kumpulkan, bisa seÂgera menetapkan tersangka lain,†ucapnya.
Kecil Kemungkinan Tersangka Dari Deplu Beraksi SendirianDesmond J Mahesa, Anggota Komisi III DPRAnggota Komisi III DPR DesÂmond J Mahesa meminta KPK bersikap profesional meÂngusut kasus korupsi di DeÂparÂtemen Luar Negeri. Ia berharap KPK segera mendapatkan alat bukti baru agar bisa meÂneÂtapÂkan tersangka baru kasus tersebut.
Menurutnya, kecil keÂmungÂkinan bekas Sekjen Deplu SudÂjadnan Parnohadiningrat meÂlaÂkukan korupsi sendirian. “BaÂgaimana mungkin mengurus dan mengatur seminar seorang diri,†ucap politisi Partai GeÂrindra ini.
Pengumpulan berkas perkara yang berlarut-larut, lanjut DesÂmon, bisa menyebabkan keÂpercayaan publik kepada KPK menurun. “Menjadi pertanyaan publik, ada apa ini, kok peÂngusutannya berjalan lama,†tandasnya.
Desmond menyampaikan, KPK harus mengusut kasus ini secara tuntas dan utuh. DiÂanÂtaranya memeriksa saksi-saksi yang mengetahui kasus ini. Baik dari pihak Kementerian Luar Negeri maupun pihak eksternal guna menelusuri duÂgaan adanya pihak-pihak lain yang terlibat kasus ini.
Menurut Desmond, publik akan menilai bahwa Sudjadnan adalah pihak yang dikorbankan karena hanya satu-satunya terÂsangka kasus ini. “Karena tak mungkin mengurus seminar dan menggelapkan dana itu senÂdirian,†tandasnya.
Ia juga meminta KPK agar pro aktif menelusuri dugaan koÂrupsi di Kemenlu.
Pasalnya, seÂlain ditetapkan sebagai teÂrÂsangka kasus pengelolaan dana sidang dan seminar, Sudjadnan telah divonis dalam kasus koÂrupsi lain di Kementerian Luar Negeri.
“Jika sudah meÂneÂmuÂkan inÂdikasi adanya korupsi dalam kaÂsus lain, KPK wajib meneÂluÂsuÂrinya,†kata Desmon. [Harian Rakyat Merdeka]