.Kejaksaan Agung mengapresiasi vonis empat tahun penjara terhadap M Amin Saleh, terdakwa yang membantu tiga staf Kejagung memeras pengusaha. Kejaksaan pun masih melacak oknum jaksa lain yang diduga ikut membantu Amin.
Kepala Pusat Penerangan dan HuÂkum Kejaksaan Agung Setia Untung Arimuladi menyatakan, jaÂÂjarannya menyambut positif voÂnis hakim. Hal itu, meÂnuÂrutÂnya, menÂjadi pembelajaran bagi para jakÂsa agar tidak melakukan peÂnyeÂleÂwengan. “Kami sangat mengÂÂhargai vonis itu,†katanya, kemarin.
Diharapkan, vonis empat tahun pada terdakwa M Amin, dua jakÂsa fungsional dan staf tata usaha Kejagung tersebut mampu memÂberi efek jera pada pelaku, mauÂpun jaksa aktif. “Penindakan terÂhadap oknum jaksa nakal terus dilakukan,†ujarnya.
Dia menggarisbawahi, keÂmungÂÂkinan masih ada oknum jakÂsa yang terlibat perkara pemeÂraÂsan ini, terbuka. Namun, dia beÂlum bisa memastikan siapa jaksa lain yang diduga terlibat. Ia pun beÂlum mengetahui, bagaimana proÂses yang dilakukan jajaran JakÂsa Agung Muda Bidang PeÂngawasan (Jamwas) dalam meÂnelusuri hal tersebut.
Dia menambahkan, penindÂaÂkan terhadap tiga staf Kejagung sudah dilakukan jajaran Jamwas secara proporsional. Ke depanÂnya, siapa pun yang diduga berÂsalah, tentu akan ditindak sesuai prosedur yang berlaku.
“Untuk okÂnum jaksa lainnya, saya perlu cari informasinya lebih dulu,†ucap bekas Kepala KejakÂsaan Negeri Jakarta Selatan ini.
Ia mengaku, kejaksaan tidak akan kompromi dalam menindak penyelewengan jaksa. SeÂbaÂgaiÂmana diketahui, mencuatnya duÂgaÂan keterlibatan oknum jaksa lain, terungkap dalam perÂsiÂdaÂngan terdakwa M Amin Saleh dan kawan-kawan. Terlebih, Amin dan tiga koleganya yang divonis emÂpat tahun penjara itu meÂnyaÂtaÂkan keberatan. Mereka tidak puas dengan putusan hakim. MaÂsalahnya, masih ada oknum jaksa yang diduga terlibat, namun beÂlum ditindak (baca reka ulang). Sehingga, mereka menganggap kasus ini belum tuntas.
Dalam putusannya, Ketua MaÂjelis Hakim Afiantoro meÂnyaÂtaÂkan, terdakwa Amin sengaja meÂngajak tiga pegawai Kejagung unÂtuk memeras Direktur PT Budi Indah Mulia Mandiri (BIMM) Budi Ashari. Perbuatan itu dinilai telah merusak reputasi Kejagung.
“Menyatakan, terdakwa telah terÂbukti secara sah dan meÂnyaÂkinÂkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama,†teÂgasnya. Majelis hakim meÂmuÂtus, Amin terbukti melanggaar PaÂsal 12 huruf e UU PembeÂranÂtasan Korupsi.
Selain vonis empat tahun penÂjara, Amin juga diharuskan memÂbayar denda Rp 200 juta subsider dua bulan kurungan. DiÂkonÂfirÂmasi, apakah terdakwa menerima vonis hakim, Amin menjawab, “pikir-pikir.†Dia menyesalkan, kenapa penindakan kasus ini hanya sampai di sini.
Padahal, lanjutnya, dalam perÂsiÂdangan sudah terungkap nama-nama lain. Dalam kasus peÂmeÂraÂsan pengusaha tersebut, Amin didakwa bersama-sama dua staf jaksa fungsional Kejagung Andri Fernando Pasaribu dan Arief Budi Haryanto, serta pegawai tata usaha Kejagung Sutarna meÂrancang dan menerima uang hasil pemerasan.
Semua terdakwa divonis empat tahun penjara. Vonis empat tahun ini lebih ringan dibanding tuntuÂtan jaksa berupa lima tahun penÂjara dan denda Rp 300 juta.
Hakim menilai, peran Amin saÂngat krusial. Selaku pemilik data soal dugaan penyimpangan tenÂder proyek pembangunan peÂlaÂbuÂhan di Angata, Tanjung Redep dan TaÂnah Tidung, Kalimantan TiÂmur, Amin menghubungi reÂkanÂnya Dede Prihantono untuk melÂaÂporÂkan penyelewengan itu. Tapi beÂlaÂkangan, upaya meÂlaÂporÂkan peÂnyimpangan, berbalik arah. Amin meminta jaksa dan staf tata usaha Kejagung untuk membantunya meÂmeras Budi Ashari.
Reka UlangMajelis Hakim Mengurai Pemerasan Itu...Sebelum vonis dijatuhkan pada M Amin Saleh pada Kamis (14/3) lalu, hakim lebih dulu meÂmutus perkara tiga pegawai Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Kejaksaan Agung.
Dalam putusannya, Pengadilan Tipikor menghukum dua jaksa fungsional Andri Fernando PaÂsaÂribu dan Arief Budi Haryanto, serÂta pegawai tata usaha Sutarna, empat tahun penjara. Mereka disebut terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi.
Majelis hakim menguraikan, peristiwa ini berawal pada Selasa, 25 September 2012. Ketiga terÂdakwa bersama Dede Prihantono dan Amin Saleh melakukan perÂteÂmuan untuk merencanakan peÂmeÂrasan terhadap Direktur PT BuÂdi Indah Mulia Mandiri (BIMM) Budi Ashari.
Sebagai pemilik data, Amin meÂÂnyerahkan data tersebut unÂtuk diolah Dede dan ketiga terÂdaÂkwa. Tujuannya, agar Budi mau memÂberikan uang Rp 2 miÂliar sampai Rp 3 miliar untuk diÂbagi rata. KeÂesokan harinya, 26 September 2012, mereka kemÂbali melÂaÂkuÂkan pertemuan di resÂto cepat saji kaÂwasan BuÂluÂngan, Jakarta Selatan.
Pada pertemuan ini, mereka berbagi peranan. Hasil pertemuan menyepakati, Amin yang menÂjaÂbat manajer HRD PT BIMM berÂperan memonitor pergerakan peÂruÂsahaan. Sementara, Dede berÂtugas menerima pencairan dana, dan ketiga terdakwa bertugas meÂngolah data dengan membuat suÂrat panggilan, Berita Acara PeÂmeÂriksaan (BAP), serta semua yang berkaitan dengan berkas.
Lebih lanjut, terdakwa Arief muÂlai membuat surat panggilan palsu yang ditandatangani Andri dan distempel Sutarna. Surat pangÂgilan itu atas nama Budi Ashari. Pemeriksaan dijadwalkan pada Jumat, 28 September 2012 pukul 17.00 WIB di Kejagung.
Sore hari dipilih dengan perÂtimÂbaÂngan karyawan lain sudah pulang. Surat panggilan diantar ke kantor dan diterima Sekretaris Lusi Sulistyowati. Ketika hari peÂmerikÂsaan, Budi tidak memenuhi pangÂgilan, sehingga ketiga terÂdakwa, Dede, dan Amin kembali melaÂkuÂkan pertemuan di Burger King, Blok M Plaza pada 2 OkÂtober 2012.
Para terdakwa sepakat pergi ke kantor Budi untuk menaÂnyaÂkan langsung, mengapa Direktur PT BIMM ini tidak datang sesuai panggilan. Kepada Budi, Andri meÂngungkapkan niat untuk memÂÂbuat surat panggilan kedua. Budi menanggapinya dengan mengaÂtaÂkan bersedia datang ke kantor Andri pada hari Jumat.
Pada Jumat, 5 Oktober 2012 staf Budi yang bernama Eddy CahÂyono menelepon Andri untuk bertemu. Andri lalu menelepon Dede dan meminta Sutarna meÂngantar Dede bertemu Eddy di Hanamasa. Dari tawar menawar yang dilakukan Eddy, Dede meÂminta uang sebesar Rp 2,5 miliar.
Keesokan harinya, Dede menÂdaÂtangi rumah Mudjiono, staf pada JakÂsa Agung Muda Intelijen untuk meminta arahan. Dede meÂnanyaÂkan, langkah apa yang akan dilakuÂkan. Mudjiono, menurut majelis haÂkim, lantas menyaÂraÂnÂkan, “SuÂdah jalankan saja seÂmuanya, aman, nanti saya telepon ketua timnya.â€
Eddy kemudian menemui Budi untuk membicarakan maÂsalah perÂmintaan uang Rp 2,5 miÂliar, pada 8 Oktober 2012. Budi meÂnyeÂÂrahkan uang Rp 50 juta kepaÂda Eddy untuk diseÂrahÂkan kepada para terdakwa. SeÂteÂlah itu, Eddy mÂenelepon Dede dan meÂnyeÂpaÂkati penyerahan uang di Cilandak Town Square, Jakarta Selatan.
Pada hari yang sama, Eddy berÂtemu Dede di parkiran mobil Citos. Dede meminta Eddy meÂmaÂsukkan uang yang ditaruh dalam tas ransel tersebut ke mobil kijang sewaan Dede. Saat Dede akan memasuki mobil, tiba-tiba datang sejumlah jaksa dari BaÂgian Pengawasan Kejagung unÂtuk menangkap Dede dan Eddy. Keduanya lalu dibawa ke KeÂjagung untuk diperiksa.
“Dengan demikian, para terÂdakwa terbukti memaksa secara psikis saksi Budi Ashari, dengan cara membuat surat panggilan palsu seolah-olah benar diproses di Kejaksaan Agung, dengan tujuan agar saksi menjadi takut dan pada saatnya menyerahkan uang agar perkaranya tidak diÂlanjutkan,†kata Ketua Majelis Hakim Afiantara.
Meski belum menyatakan banÂding, terdakwa Andri mengaku keberatan dengan putusan majelis hakim. Ia juga heran, kenapa MudÂjianto yang punya andil daÂlam kasus ini, tidak turut ditetapÂkan sebagai tersangka.
Jangan Dibiarkan Hingga Orang LupaAnhar Nasution, Ketua Umum LBH FaktaKetua Umum Lembaga BanÂtuan Hukum (LBH) Fakta AnÂhar Nasution menilai, peÂnaÂngaÂnan kasus pemerasan ini masih lemah. Dia pun mendesak keÂjakÂsaan lebih transparan dalam menindak oknum internalnya. “Tidak salah kalau ada peniÂlaiÂan, kejaksaan cenderung masih melindungi oknum interÂnalÂnya,†katanya.
Masalahnya, pengusutan dan penindakan internal kerap terÂtuÂtup. Tidak ada keterangan mauÂpun kejelasan dalam meÂnyeÂlesaikan perkara meÂnyangÂkut keterlibatan oknum jaksa. KaÂlaupun selama ini ada peÂninÂdakan, hal itu baru sebagian kecil.
Jadi, menurut Anhar, komitÂmen mengubah paradigma keÂjakÂsaan harus dimulai dengan cara membuka semua keran inÂformasi. Mulai dari pengusutan perkara sampai penindakan okÂnum internal, semestinya diÂsoÂsialisasikan secara baik. Dari situ, dia berharap, perÂtangÂgungÂjawaban kejaksaan menjadi lebih jelas.
Dia menambahkan, kasus-kasus dugaan pemerasan oleh jaksa sudah terdengar lama. Hal ini hendaknya dijadikan seÂbaÂgai pembelajaran agar fungsi kontrol dan pengawasan lebih efektif. “Jadi bukan baru kali ini saja. Ada banyak kasus peÂnyeÂlewengan oleh oknum jaksa. Itu menjadi catataan kita untuk membenahinya bersama-sama,†tandasnya.
Dia mengemukakan, bila pada perkara pemerasan kali ini masih ada dugaan keterÂlibatan oknum jaksa lain, hal itu henÂdaknya menjadi masuÂkan bagi kejaksaan. Bukan maÂlah diÂdiamkan atau dibiarkan hingga orang lupa. Melainkan, justru diselesaikan secara transparan.
“Panggil jaksanya, periksa dan tentukan penindakan yang sesuai. Tahapan atau langkah ini idealnya dilakukan secara terbuka,†tuturnya.
Dengan begitu, kesan bahwa korps melindungi oknum yang bersalah, bisa dikesampingkan. Dia sangat berharap, peÂnguÂsuÂtan kasus dugaan pemerasan yang melibatkan oknum keÂjakÂsaan, bisa selesai secara utuh dan proporsional.
Kejaksaan Tak Boleh Lakukan PembiaranDaday Hudaya, Anggota Komisi III DPRAnggota Komisi III DPR Daday Hudaya menilai, KejakÂsaan Agung sudah meÂnunÂjukÂkan komitmen menertibkan inÂternalnya. Beragam peninÂdaÂkan yang sudah ada, idealnya mendapat dukungan maÂsyaÂrakat. “Penindakan terhadap oknum jaksa nakal selama ini sudah dilakukan kejaksaan,†katanya.
Hal itu hendaknya tidak diÂtanggapi dengan sikap negatif. Justru, kekurangan dalam meÂnindak jajaran internal kÂeÂjakÂsaÂan, semestinya dijadikan camÂbuk untuk lebih intens dalam mengawasi dan menindak jaksa yang melakukan penyelewengan.
Dia menyampaikan, keÂkuÂrangÂtegasan sikap kejaksaan, henÂdaknya menjadi pemÂbeÂlaÂjaÂran. Bukan justru dijadikan alat pembenaran dalam menyikapi suatu persoalan.
Dengan kata lain, sebut dia, intensitas peÂninÂdakan ke luar hendaknya diÂbaÂrengi dengan penindakan ke dalam. “Jadi ada semacam keÂseÂimbangan,†ujarnya.
Ia berpesan, sebagai penegak hukum, kejaksaan tidak boleh melakukan pembiaran. Apalagi pembiaran yang menyangkut kinerja negatif jaksa.
“Tindak jaksa yang meÂnyeÂleweng deÂngan hukuman yang sepadan,†tandas politisi Partai Demokrat ini.
Jika hal itu mampu diteÂrapÂkan kejaksaan secara benar, otoÂmatis keterpurukan institusi kejaksaan bisa ditanggulangi. Setidaknya, mampu diminiÂmaÂlisir. Hasil dari kerja keras terÂsebut, tentunya akan meÂmÂbeÂriÂkan keyakinan masyarakat bahÂwa kejaksaan masih memiliki komitmen menegakkan hukum.
“Kepercayaan masyarakat ini penting. Dari sini, mereka tidak akan menganggap upaya kejaksaan sekadar lips service,†ucapnya.
Dia pun berharap, kejaksaan masih memiliki visi meneÂgakÂkan hukum tanpa pandang bulu. “Jadi kalau ada oknum jaksa yang bersalah, akan ditindak. Bukan dilindungi,†ujarnya. [Harian Rakyat Merdeka]