Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan dua tersangka dugaan tindak pidana korupsi biaya perjalanan dinas di Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Keduanya dituduh menyelewengkan anggaran tahun 2006 senilai Rp 1,185 miliar.
Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Setia Untung Arimuladi menjelaskan, modus korupsi dilakukan secara konstruktif. Kedua tersangka diduga memangkas anggaran program pendidikan dan pelatihan (diklat) teknis pengadaan barang dan jasa 2006.
Semestinya, diklat dilaksanakan sembilan hari. Tapi praktiknya, hanya digelar lima hari. Selisih anggaran diklat ini, menurutnya, dialihkan untuk kepentingan lain. “Hal itu menyalahi ketentuan dan prosedur yang ada. Atas hal ini, keduanya ditetapkan sebagai tersangka,†ujarnya.
Untung merinci, kedua tersangka adalah Hendro Harry Tjahjono, Sekretaris Inspektorat Jenderal (Ses-Itjen) Kemenkes 2006 dan Hasyin, Bendahara Pengeluaran Perjalanan Dinas. Hasyin dan Harry diduga menandatangani surat persetujuan bayar untuk perjalanan dinas ke luar kota tahun anggaran 2006.
Perjalanan dinas diperuntukan bagi auditor dan staf di Itjen Kemenkes.
“Akibat persetujuan tersebut, penyidik menduga terjadi pengeluaran perjalanan dinas ganda,†kata Untung.
Pasalnya, rincian anggaran nomor 0673.0/024-02.0/-/2006 tanggal 31 Desember 2005 untuk tahun anggaran 2006 menyebutkan, kegiatan diklat teknis dengan sub kegiatan belanja perjalanan, dianggarkan Rp 1.289.960.000. Surat juga menyebutkan, kegiatan pelatihan sertifikasi barang dan jasa dilaksanakan untuk lima angkatan. Masing-masing angkatan diikuti 100 peserta.
Dalam penghitungan, panitia lalu merevisi anggaran kegiatan menjadi Rp 2.562.750.000. Perubahan anggaran, konon disesuaikan dengan rencana kegiatan, seperti sub kegiatan belanja perjalanan dinas biasa tanggal 27 Juni 2006.
Revisi anggaran ditetapkan setelah melakukan pengurangan kegiatan pemeriksaan dan pengawasan yang semula Rp 18.900.550.000 menjadi Rp 14.218.050.000.
“Agenda diklat semula sembilan hari tapi dikurangi menjadi lima hari,†katanya seraya menye-butkan, uang hasil pengurangan kegiatan pelatihan, ternyata digunakan untuk kegiatan di luar kedinasan.
Akibat perbuatan Hendro cs, negara diprediksi mengalami kerugian Rp 1.185.485.800. Kedua tersangka pun diancam melanggar pasal primer, yakni pasal 2 ayat 1 juncto pasal 18 Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2001 juncto pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Keduanya juga dikenai ancaman pasal subsider, yakni pasal 3 juncto pasal 18 UU No.31 Tahun 1999 yang telah diubah dan ditambah dengan UU No.20 Tahun 2001 juncto pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
“Penyidikan berkas perkara sudah lengkap atau P21 berdasarkan Surat Nomor B 24/F.3/Ft.1/03/2013 tanggal 4 Maret 2013,†tegasnya.
Untuk selanjutnya, penyidik akan melimpahkan tersangka dan barang bukti, ke Kejaksaan Negeri Jakarta Timur. Sejauh ini, lanjut dia, penyidik sudah memeriksa 19 saksi dari internal Kemenkes maupun pihak luar.
Dikonfirmasi mengenai hal ini, Kepala Pusat Komunikasi Publik Kemenkes Murni Utami, hingga kemarin petang tidak memberikan jawaban.
Sebagaimana diketahui, tersangka Hendro merupakan bekas Sekretaris Itjen Kemenkes. Dia diangkat dalam jabatannya berdasarkan SK Menkes No. KP. 04.043.1.0160 tanggal 19 Januari 2004. Ia pun telah diangkat sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) pada Itjen Kemenkes berdasarkan SK Menkes Nomor OIT.PS.20.01.214.06.18 tanggal 11 Januari 2006.
Dalam kapasitasnya itu, dia memiliki wewenang untuk melakukan pengujian dan perintah pembayaran kepada Bendahara Pengeluaran dan Bendahara Penerimaan di Kantor Itjen Kemenkes.
REKA ULANG
Penyelewengan Biaya Perjalanan Dinas Diduga Terus Berulang
Kejaksaan Agung (Kejagung) beberapa kali menerima laporan kasus dugaan korupsi anggaran perjalanan dinas di Kementerian Kesehatan (Kemenkes).
Salah satu laporan terkait hal ini tercantum dalam surat laporan nomor 007/LAP-INPAS/PST/II/2012.
Dalam surat tersebut, Indonesia Pemantau Aset (Inpas) melaporkan dugaan korupsi pelaksanaan kegiatan perjalanan dinas di Kemenkes tahun anggaran 2010. Diduga, akibat penyelewengan di sektor tersebut, negara berpotensi rugi Rp 13,3 miliar.
Direktur Eksekutif Inpas Boris Korius, Rabu, 29 Februari 2012 mengatakan, bentuk penyimpangan dalam kegiatan tersebut antara lain, perjalanan dinas fiktif, tiket fiktif, penggelembungan harga tiket, perjalanan dinas rangkap, bukti pertanggungjawaban palsu, dan beberapa kegiatan lain yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.
“Berdasarkan rincian data yang kami sampaikan, sebesar Rp 13,3 miliar diindikasikan telah merugikan keuangan negara,†katanya.
Dia merinci, total angka perjalanan dinas fiktif mencapai Rp 213, 570 miliar, pemahalan harga tiket serta tiket fiktif sebesar Rp 13, 090 miliar.
Selain itu, ia juga melaporkan dugaan penyimpangan dana Rp 35 miliar.
Dugaan penyelewengan ini juga berpotensi merugikan keuangan negara.
Masalahnya, hal ini terkait temuan belanja perjalanan dinas tanpa bukti pertanggungjawaban sebesar Rp 1,6 miliar, perjalanan dinas tidak memiliki dokumen pertanggungjawaban yang sah dan lengkap sebesar Rp 6,7miliar.
Juga perjalanan dinas rangkap sebesar Rp 725 juta, kelebihan pembayaran sebesar Rp 47 juta dan belanja perjalanan dinas tanpa bukti yang valid mencapai Rp 26 miliar.
Namun anehnya, bentuk penyimpangan yang sama secara konsisten terus berulang seperti tahun-tahun sebelumnya. Termasuk dugaan korupsi nota dinas perjalanan 2006 yang saat itu tengah diselidiki kejaksaan.
Dari sinyalemen kebocoran anggaran tersebut, Boris pun meragukan kepemimpinan Menkes. Untuk itu, ia kembali mendesak Kejagung segera memeriksa semua pihak yang diduga terlibat.
“Adanya indikasi korupsi pada pelaksanaan kegiatan perjalanan dinas tersebut serta kerugian negara telah dapat dihitung,†tandas Boris. Maka, bebernya, dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No 20 Tahun 2001 khususnya pada pasal 3 dan 4 telah terpenuhi.
Menanggapi hal tersebut, Kapuspenkum Kejagung Setia Untung Arimuladi memastikan, Kejaksaan menindaklanjuti semua laporan yang masuk.
Diperlukan waktu untuk mendata dan menganalisi laporan. Terlebih laporan yang diusut, terkait dengan tindak pidana korupsi.
“Semuanya perlu dianalisis secara hati-hati,†jelasnya. Bekas Kajari Jaksel ini pun menepis anggapan bila Kejaksaan tidak serius menindaklanjuti laporan tersebut.
Faktor Pengawasan Paling Dominan
Aditya Mufti Ariffin, Anggota Komisi III DPR
Politisi PPP Aditya Mufti Ariffin meminta Kejaksaan ekstra progresif menangani kasus dugaan korupsi nota perjalanan dinas. Soalnya, anggaran di sektor ini sangat mudah diselewengkan.
“Ada beragam modus dan motivasi pelaku dalam menyelewengkan anggaran ini,†katanya. Karena indikasi itu, dia mendesak penegak hukum cepat mengambil tindakan. Dengan begitu, ruang gerak pelaku untuk menyelewengkan anggaran jadi terbatas.
Dia mengharap, sinergi penegak hukum dengan Inspektorat Kementerian maupun lembaga pengawas keuangan diintensifkan. Aditya percaya, upaya aktif itu akan berdampak signifikan bagi tertibnya anggaran. Pengawasan yang ekstra ketat, paling tidak memberi dampak psikologis pada siapapun agar tidak melakukan kesalahan sekecil apapun.
“Pengawasan masih menjadi hal penting dalam menciptakan ketertiban anggaran di sini,†tuturnya. Dia meyakini, efektivitas pembinaan belum maksimal tanpa adanya pengawasan ekstra.
Jadi, lanjut Aditya, sinkronisasi antara pembinaan dan pengawasan harus terpadu. Tidak bisa berjalan sendiri-sendiri. Hal itu penting, mengingat masih rendahnya bentuk atau kualitas pertanggungjawaban pejabat tertentu.
Menurutnya, pengusutan kasus-kasus dugaan korupsi sektor anggaran perjalanan ini tidak bisa dihentikan begitu saja. Sekalipun nominalnya relatif kecil, toh dampak dari tindakan koruptif itu sangat mengganggu stabilitas keuangan negara. “Yang jelas sudah menyebabkan kerugian negara. Dan itu perlu ditindak sesuai hukum,†tegasnya.
Pelaku Bisa Lebih Dari Dua OrangBambang Widodo Umar, Purnawirawan PolriDosen Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Kepolisian UI Bambang Widodo Umar menyebutkan, kasus dugaan korupsi nota perjalanan dinas masuk kejahatan konspiratif. Walaupun nominalnya relatif kecil, hal ini tetap diindikasikan sebagai kejahatan korupsi.
“Kejahatan korupsi ini tetap harus diselesaikan lewat prosedur yang baku,†katanya. Dia menyampaikan, karena nominal pada kejahatan ini bisanya kecil, maka tidak diperlukan KPK dalam mengusut kasus ini.
Di sinilah, optimalisasi peran Kepolisian dan Kejaksaan diperlukan. Kedua lembaga ini idealnya tidak berdiam diri dalam mengentaskan persoalan model ini. Atau tidak alergi dalam menangani kasus korupsi nota perjalanan dinas.
Justru, menurut Bambang, pengusutan perkara nota dinas bisa memberikan efek positif buat Kejaksaan dan Kepolisian.
“Hal ini menjadi pintu masuk untuk menunjukkan bahwa mereka punya komitmen dalam menumpas korupsi,†ujarnya.
Di lain sisi, katanya, hal ini juga dapat diartikan sebagai bentuk dukungan kepada KPK dalam memberantas korupsi. Jadi, persoalannya bukan pada jumlah atau nominal kerugian negaranya. Melainkan pada efektivitas penegakan hukum itu sendiri.
Dikatakan, pengusutan kasus korupsi nota dinas Kemenkes masih perlu diintensifkan guna mengungkap siapa dalang di balik kasus ini. “Jangan sampai penindakannya terbatas hanya sampai pada kedua tersangka saja,†warning Bambang.
Dia bilang, kejahatan korupsi merupakan kejahatan extra ordinary. Oleh karenanya, dia tidak yakin jika pelakunya hanya satu atau dua orang.