Penanganan megaskandal dana talangan Bank Century yang berlarut-larut dari tahun 2010 sudah merusak seluruh tatanan hukum dalam pemberantasan korupsi.
Maka itu, KPK tidak usah lagi banyak alasan untuk lamban menetapkan Boediono, Gubernur Bank Indonesia saat kebijakan dana talangan Rp 6,7 triliun itu digulirkan, sebagai tersangka.
"Jadi, KPK tidak usah banyak alasan lagi. Gara-gara Century ini rusak semua tatanan hukum kita. Padahal, sudah jelas audit investigatif BPK dan bukti-bukti yang dimiliki KPK untuk menetapkan Boediono tersangka," terang Tom Pasaribu, pegiat anti korupsi yang sejak 2009 mengawal perjalanan kasus Century, saat dihubungi Rakyat Merdeka Online, sesaat lalu (Kamis, 28/2).
Direktur Eksekutif Komite Pemantau dan Pemberdayaan Parlemen Indonesia (KP3I) ini menegaskan, penetapan Boediono sebagai tersangka bukan tujuan akhir dari pengusutan perkara yang sudah tiga tahun terakhir membuat kegaduhan politik.
"Targetnya adalah mengetahui ke mana saja aliran dana dan siapa saja yang menikmati dana triliunan itu. Mudah saja, PPATK pasti punya datanya dan ditambah lagi keterangan Boediono. Saya yakin ada kepentingan politik di balik pengucuran itu," ujarnya.
Dari tiga tahun lalu, Tom yakin Boediono-lah "pemain" utama dalam kasus perampokan uang negara ini.
"Saya melihat Boediono bermain, kesimpulan itu dari data yang ada. Dia mengubah persyaratan untuk FPJP sesukanya. Sekarang, para pakar ekonomi sudah membantah bahwa Bank Century yang kecil dan gagal itu, berdampak sistemik dan wajib diselamatkan," urainya.
Tom Pasaribu membicarakan megaskandal ini dari tiga Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) yang diterbitkan pemerintah pada Oktober 2008. Salah satunya adalah Perppu 4/2008 tentang Jaringan Pengaman Sistem Keuangan (JPSK). Lewat Perppu itulah, korupsi dilegalisasi.
Perppu JPSK yang diajukan tanggal 15 Agustus 2008 ditolak DPR. Tetapi entah mengapa, KSSK yang merupakan produk Perppu itu tetap bekerja. Itu artinya, Presiden sebagai pembuat Perppu dapat dianggap telah melanggar konstitusi.
"UUD 1945 pasal 22 mengatakan, Perppu dikeluarkan dalam hal ikhwal kegentingan memaksa. Tapi dimana sifat kegentingan saat itu (ketika Perppu diterbitkan)? Dalam satu hari Presiden membuat dua Perppu, lalu di luar negeri dia bikin satu Perppu lain," katanya lagi.
Sejak awal, sudut pandang Tom Pasaribu dengan DPR RI yang membentuk Panitia Khusus untuk menyelidiki megaskandal itu jelas berbeda. Itu sebabnya, Tom sempat meragukan itikad Pansus Centurygate yang dipimpin Sekjen Partai Golkar, Idrus Marham.
Kini, setelah penanganan skandal itu semakin mendekati Boediono, Tom justru kehilangan harapan untuk membongkar aliran dana dan para penikmatnya.
"Ini sudah kurang dari satu tahun mendekati Pemilu 2014. Saya yakin ada kepentingan politik untuk melepas Boediono. KPK terlibat politik praktis? Saya yakin dari awal begitu terlihat dari penanganan kasus Century ini," tandasnya.
[ald]