Kejagung menetapkan status cegah pada tiga tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan bibit hibrida di Kementrian Pertanian (Kementan). Dalam tiga hari, jaksa mengorek keterangan 66 saksi.
Upaya pencegahan disampaikan Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen (Jam-Intel) Kejagung Adjat Sudrajat. Dia membeberkan, penetapan status tersangka secara otomatis diikuti langkah pencegahan. Pemberlakuan status cegah, ditujukan supaya tersangka tak kabur ke luar negeri.
Dia bilang, surat permohonan pencegahan tiga tersangka sudah disiapkan. “Surat permohonannya sudah kita terima dari Pidsus. Kita segera tindaklanjuti ke Dirjen Imigrasi,†ujarnya, Jumat (22/3) siang.
Jadi, kemungkinan awal pekan depan surat permohonan cekal sudah masuk Dirjen Imigrasi. Yang jelas, untuk mengantisipasi kaburnya tersangka, jajaran intelijen sudah mengantongi informasi seputar keberadaan tersangka.
Dengan pemantauan intensif ini, diyakini, ketiga tersangka tak akan bisa melarikan diri, menghilangkan barang bukti dan mengulangi perbuatannya. Akan tetapi, dia mengaku tidak tahu, kapan tersangka kasus ini akan ditahan.
Menurutnya, penahanan sepenuhnya menjadi kewenangan penyidik. “Itu domain penyidik,†sergahnya. Sementara Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Setia Untung Arimuladi menyatakan, rangkaian pengungkapan perkara ini terus dilakukan kejaksaan.
Sejak penetapan tiga tersangka yakni, K selaku Direktur Utama Pemasaran PT Sang Hyang Seri (SHS) Persero, HTN bekas Manager Cabang SHS dan SB Manager Cabang SHS, penyidik pidana khusus telah memeriksa lebih dari 66 saksi.
Untung menjelaskan, Kejagung mengirim sembilan jaksa untuk memeriksa saksi-saksi di Lampung. Saksi-saksi diperiksa dalam tiga tahap. Pada 20 Februari, tim memeriksa 47 saksi.
Pemeriksaan dilaksanakan di dua lokasi terpisah. 17 saksi diperiksa di kantor Kejaksaan Negeri (Kejari) Gunung Sugih, Lampung Tengah. Mereka merupakan petani penerima Bantuan Langsung Benih Unggul (BLBU) dan subsidi benih.
Saksi-saksi itu antara lain, Joko Sanjaya, Wayan Sumija, Wayan Suyasa, Hardo, Edy Subiyanta, Sukadis, Rohmad, Slamet, Sugeng, Sudarmono, Reinka, Kismo, Jaswadi, Sagian, Sumaryanto, Paidi HS, dan Sutoyo.
30 saksi lainnya diperiksa di kantor Kejari Sukadana, Lampung Tengah. Ke 30 saksi juga merupakan petani penerima BLBU dan subsidi benih. Kata Untung, saksi-saksi tersebut adalah Marsam, Wahab, Suyitno, Karsi, Supri, Zaini, Triono, Rubimin, Jawaher, H. Mukhayat, Sobirin, Amat Rustadiah, Karsi, Subekhi, Muin, Martono, Cipto, Jahuri, Suwito, Nyoman Witro, Sutrisno, Sabakir, Sukemi, Suyoto, Jumangat, Farikin, Warno, Samen, Suprapto, dan Sunaripin.
Lebih lanjut, pemeriksaan pada 21 Februari 2013 dilakukan terhadap sembilan saksi. Pemeriksaan dilakukan di Kejaksaan Tinggi (Kejati) Lampung. Saksi-saksi yang dimaksud adalah, dua orang ketua kelompok tani penerima bantuan pengadaan benih di Kabupaten Pesawaran yakni, Supriyadi dan Muntasir.
Saksi lainnya yaitu, Kepala Dinas (Kadis) Pertanian Kabupaten Pesawaran, Budi Wirawan, Kadis Pertanian Lampung Tengah, Taruna, Kepala Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih (BPSB) Lampung, Enggar Widodo, Kepala Bidang (Kabid) Tanaman Pangan dan Hortikultural Dinas Pertanian Lampung, Eko Dyah, Manager Distribusi PT SHS, Manager Produksi dan bekas bendahara PT SHS.
Pemeriksaan saksi berlanjut pada 23 Februari 2013. Kali ini, penyidik meningkatkan intensitas pemeriksaan ke level pejabat yang berkompeten dengan masalah ini. Tak tanggung-tanggung, seluruh Kadis Pertanian di wilayah Lampung diperiksa di Kejati Lampung.
10 saksi itu antara lain, Kadis Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Lampung Utara, Lampung Selatan, Lampung Barat, Lampung Timur, Pringsewu, Tanggamus, Way Kanan, Tulang Bawang, Metro, dan Bandar Lampung. Ditambahkan Untung, pemeriksaan pejabat tersebut ditujukan guna mengetahui persoalan terkait pelaksanaan pengadaan benih oleh PT SHS.
REKA ULANG
Modus Kejahatan Pelaku Bervariasi
Bukti permulaan tindak pidana korupsi di PT SHS Persero bervariasi. Tuduhan itu membuat tiga elit perusahaan milik negara, PT SHS ditetapkan sebagai tersangka. Kini Kejaksaan masih menghitung nominal kerugian negara dalam kasus yang terjadi 2008-2012.
Kapuspenkum Kejagung Setia Untung Arimuladi membenarkan, modus operandi pelaku membobol dana negara dilakukan dengan beragam cara.
Modusnya ditengarai melakukan rekayasa pelelangan atau tender, menggelembungkan dan tak menyetor biaya pengelolaan cadangan benih nasional sebesar lima persen dari nilai kontrak ke kantor kas regional daerah.
Di luar hal tersebut, tersangka diduga juga merekayasa penentuan harga komoditi sehingga terjadi kemahalan harga, pengadaan benih fiktif, dan penyaluran subsidi benih yang tak sesuai peruntukan atas dugaan tersebut, Kejagung melakukan penyelidikan ke berbagai daerah. Masing-masing daerah itu antara lain, Jawa Tengah, Banten, Jambi dan Lampung.
Dalam pelaksanaan program tersebut, Kementan menggandeng perusahaan BUMN, PT SHS. Namun, pada kenyataan di lapangan, pengadaan bibit tanaman hibrida ditemukan sejumlah penyimpangan.
Diperkirakan kerugian negara dalam proyek tahun anggaran 2008-2011 di tiap daerah itu mencapai miliaran rupiah. Untung belum bisa memastikan angkanya secara pasti. Dia bilang, sampai sejauh ini masih dalam penghitungan.
Sebelumnya, penyidik Kejagung telah memeriksa dua pejabat eselon II di lingkungan Kementerian Pertanian (Kementan). Mereka diperiksa intensif oleh penyidik pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) terkait dugaan korupsi pengadaan bibit tanaman hibrida.
Dua pejabat tersebut, yakni Rahman Pinem, bekas Direktur Pembenihan Ditjen Tanaman Pangan yang saat ini menjabat Direktur Budidaya Serelia dan Bambang Yudianto, Direktur Pembenihan Tanaman Pangan.
Ia mengatakan, pokok pemeriksaan tersebut untuk mengetahui rencana alokasi kebutuhan kegiatan yang berhubungan dengan program Bantuan Langsung Benih Unggul (BLBU) sesuai dengan tugas dan kewenangan yang dijabat oleh masing-masing saksi.
Untung menyatakan, penetapan tiga tersangka kasus ini didasari pada Surat Perintah Penyidikan (sprindik) Nomor: Print-16/F.2/Fd.1/02/2013, sprindik Nomor: Print-17/F.2/Fd.1/02/2013, dan sprindik Nomor: Print-18/F.2/Fd.1/02/2013. Ketiga sprindik itu dikeluarkan tanggal 8 Februari 2013.
Kita Mempunyai Pengalaman Buruk
Poltak Agustinus Sinaga, Ketua PBHI
Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Azasi Manusia Indonesia (PBHI) Poltak Agustinus Sinaga menilai, kecepatan jaksa memeriksa saksi patut diacungi jempol. Tapi idealnya, hal ini juga dapat diterapkan dalam pengusutan perkara korupsi lainnya.
“Jadi tidak semata-mata hanya pada kasus tertentu saja,†ujarnya. Disampaikan, pada kasus-kasus lainnya hendaknya kejaksaan juga menunjukkan sikap yang progresif.
Sehingga dengan begitu, kejaksaan tidak terkungkung atau dinilai negatif oleh masyarakat. Pola-pola tebang pilih, menurut dia, seyogyanya tidak dibiarkan lestari. Apalagi saat ini, KPK sebagai mitra sekaligus kompetitor kejaksan dalam urusan penegakan hukum, menunjukkan kemajuan pesat.
Dia mengaku tidak rela apabila kejaksaan selalu tertinggal dalam menyelesaikan perkara-perkara korupsi. Oleh sebab itu, mekanisme penyidikan dan pengawasan hendaknya selalu dapat perhatian ekstra dari jaksa agung. “Tidak boleh ada lagi penyimpangan ataupun penyelewengan dalam penanganan perkara.â€
Lebih jauh, dia menyoroti penetapan status cekal pada tiga tersangka kasus korupsi pengadaan benih hibrida. Menurutnya, kenapa status pencegahan ini terkesan lamban dilakukan oleh kejaksaan. Semestinya, begitu seseorang ditetapkan sebagai tersangka, mereka secara otomatis menyandang status cegah.
Dengan begitu, kemungkinan ada tersangka yang kabur atau buron ke luar negeri bisa diminimalisir. “Kita punya pengalaman buruk dengan masalah ini. Apalagi tersangka kasus ini juga belum ditahan. Ini mengundang kerawanan,†tandasnya.
Hal-hal seperti ini, sambung dia, hendaknya segera mendapat pembenahan. Pasalnya tindakan jaksa yang tak langsung melayangkan permohonan pencegahan dan penahanan tersangka, bisa berefek buruk dalam pengusutan perkara.
Baru Menyentuh Kalangan Swasta
Desmon J Mahesa, Anggota Komisi III DPR
Politisi Partai Gerindra Desmon J Mahesa menilai, langkah kejaksaan perlu diintensifkan. Pasalnya, pengusutan perkara ini baru menyentuh dugaan penyelewengan oleh pihak swasta.
“Bagaimana peranan oknum kementeriannya? Ini perlu mendapat klarifikasi,†katanya. Dia pesimis, tindakan korupsi ataupun kolusi di sini hanya melibatkan lingkar luar kementerian.
Menurut dia, setiap bentuk perkara korupsi lazimnya dilakukan secara konstruktif dan melibatkan banyak pihak. Jadi, sangat janggal bila kasus ini hanya melibatkan orang-orang dari pihak swasta alias mitra kementerian yang bersangkutan.
“Kerjasama antara orang dalam kementerian baik di tingkat pusat dan daerah, perlu diperjelas.†Ucapnya. Oleh sebab itu, dia meminta Kejagung bertindak proporsional dan mengedepankan azas profesionalisme.
Selama ini, kata dia lagi, Komisi III DPR sudah intensif mengawasi kinerja kejaksaan. Diharapkan, hasil kerja positif kejaksaan selama ini tidak sia-sia. Atau bahkan hilang akibat penyelewengan yang tidak perlu. Karena itu, dia meminta kejaksaan segera menyelesaikan perkara korupsi ini.
Digarisbawahi, penanganan kasus korupsi saat ini sudah sangat mendesak. Jadi, selain diperlukan kecermatan dan keakuratan tingkat tinggi, kejaksaan juga perlu memperhatikan speed atau kecepatan. Hal ini penting, mengingat banyaknya kasus-kasus korupsi yang belum mendapat penanganan maksimal.
Soal belum adanya penahanan tersangka kasus ini, Desmon menilai, jaksa punya wewenang untuk memutuskan hal tersebut. “Penyidik punya argumen atau pertimbangan hukum dalam menentukan hal ini.†Yang jelas dia ¡kin, tersangka kooperatif dalam menjalani proses hukum. Sehingga, jaksa menilai tidak perlu melakukan penahanan. [Harian Rakyat Merdeka]