Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) sudah dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Pertanyaan, apakah dengan pembubaran BP Migas dan disusul penerbitan Perppres No 95/2012 tentang Pengalihan Pelaksanaan Tugas dan Fungsi Kegiatan Usaha Hulu Migas maka impian rakyat atas kedaulatan negara terhadap migas akan terwujud?
Bagi pengamat kebijakan energi Sofyano Zakaria, jawabannya adalah tidak. UU No 22/2001 tentang Migas tidak dibatalkan seluruhnya oleh MK. UU yang disusun dengan disponsori dan sarat kepentingan pihak asing serta ketika dibuat tanpa melalui kajian akademis itu sama sekali tidak memberi ruang, kesempatan dan kewenangan untuk tercapainya kedaulatan negara di sektor migas.
"Jika kita benar-benar menginginkan terwujudnya secara hakiki kedaulatan negara atas migas di negeri ini, terwujudnya Migas diutamakan untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri, maka kuncinya hanya satu kalimat: desak Pemerintah dan DPR RI untuk segera merevisi UU No 22/2001," kata Sofyano dalam keterangan tertulisnya, Minggu (18/11).
Pada dasarnya sebut Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi) ini, kedaulatan negara atas migas adalah bahwa migas negeri ini harus diprioritaskan untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri sehingga masyarakat dapat dengan mudah dan murah memperoleh migasnya sendiri. Selama migas dominan diekspor untuk rakyat di negeri lain maka hal itu belum menunjukkan kedaulatan negara.
Kedaulatan negara atas migas bermakna bahwa eksplorasi dan eksploitasi tiap ladang atau sumur migas yang ada harus dikuasai oleh BUMN yang rakyat sendiri tahu bahwa BUMN tersebut adalah milik negara dan juga merupakan kepanjangan tangan pemerintah. Meskipun pasal 8 UU Migas dengan tegas memberi kewenangan bagi BP Migas dan sekarang berarti "pemerintah" yang diwakili Kementerian ESDM untuk memprioritaskan pemanfaatan gas bagi kebutuhan dalam negeri, lanjut Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi) ini, tapi pada kenyataannya tetap saja kita mengalami kekurangan gas.
Ditegaskan dia, kedaulatan negara atas migas berarti bahwa pemenuhan BBM bersubsidi harusnya sepenuhnya berada dan dilaksanakan oleh Pemerintah yang berarti sepenuhnya harus ditangan BUMN. Tetapi nyatanya karena atas nama UU No 22/2001, hal itu lagi-lagi sangat tergantung dengan kebijakan badan yang sama dan sangat mirip dengan BP Migas yang telah dibubarkan MK, yaitu Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas).
"Jika atas nama UUD 45 dan kedaulatan negara BP Migas telah resmi dibubarkan oleh MK, bagaimana dengan BPH Migas? Apa badan ini menurut MK tidak bertentangan dengan UUD 45," kata dia mempertanyakan. [sam]