Berita

ilustrasi, Mikrolet

Nusantara

Mestisnya Mikrolet Sudah Tak Ada Sejak 5 Tahun Lalu

Kapasitas Angkut Kecil Dan Bikin Semrawut Lalulintas
SELASA, 18 SEPTEMBER 2012 | 08:47 WIB

Angkutan umum seperti mikrolet atau angkutan bus kecil, seharusnya sudah tidak ada sejak lima tahun lalu. Kapasitasnya kecil dan manajemennya pun buruk. Cuma bikin macet lebih parah saja.

Pengamat transportasi publik dari Universitas Atma Jaya Djoko Setijowarno mengatakan, mikro­let sebenarnya sudah tidak layak lagi beroperasi di Jakarta. Pasal­nya, kapasitas mikrolet hanya ter­batas untuk 12 orang dan ik­lim di Jakarta sekarang panas.

“Jumlahnya tidak seimbang de­ngan penumpang. Harusnya su­dah sejak lima tahun lalu mik­rolet tidak ada,” ujarnya, kemarin.

Padahal, lanjut Djoko, Jakarta merupakan kota besar yang sa­ngat sibuk. “Solusinya, ang­ku­tan berkapasitas sedikit ter­se­but ha­rus dihilangkan secara ber­­tahap oleh siapapun yang akan men­jadi Gubernur DKI Ja­karta ter­pilih nanti,” tegasnya.

Pemerintah, katanya, dapat meng­­ganti bus mini atau Kopaja dengan angkutan yang le­bih baik dan besar. “Kalaupun angkot te­tap di­gunakan, Dinas Perhu­bu­ngan ha­rus melakukan penga­tu­ran rute sehingga angkot tidak bo­leh me­lalui jalan utama,” katanya.

Selain itu, kata Djoko, ang­ku­tan bus kecil seperti mikrolet me­­rupakan kendaraan yang dimi­liki secara pribadi. Semen­tara ang­ku­t­an umum harus ber­badan hu­kum. Akibatnya, di la­pangan su­lit dilakukan penga­turan.

“Pemberian subsidi oleh pe­merintah jadi susah, sebab sopir angkot juga tidak terdata. Inti­nya, angkutan umum harus ber­badan hukum,” ungkapnya.

 Dengan demikian, pemerin­tah dengan mudah melakukan pen­dataan, pembinaan, maupun pem­berian subsidi. Kasus ke­jahatan di mikrolet pun, kata Djoko, lebih banyak dibanding di bus Trans­jakarta. Dia men­con­tohkan kasus pemerkosaan yang kerap terjadi di angkot. Sementara di Trans­jakarta hal ini tak pernah terjadi.

“Akibat manajemen pribadi tersebut, kesemrawutan di jalan akibat mikrolet yang suka sem­barangan menaikkan atau me­nu­runkan penumpang menjadi su­sah diatur,” katanya.

Menanggapi hal ini, Ketua Or­ganisasi Angkutan Darat (Or­gan­­da) Soedirman menga­takan, jika angkutan dilarang yang di­kor­bankan adalah ma­syarakat me­nengah ke bawah. Ang­kot pada dasarnya meru­pakan ang­kutan di pinggir kota. “Ma­sya­rakat, ter­ma­suk anak seko­lah akan ke­bingu­ngan,” kilahnya.

Menurut Soedirman, jika ang­kutan kecil dilarang, belum men­jamin kesemrawutan di jalan akan hilang. Justru, tak ber­opera­sinya sejenis mikrolet akan me­ng­ubah paradigma masyarakat untuk berupaya membeli sepeda motor. Meski sebenarnya secara ekonomi mereka belum siap. “Efek­nya, jumlah sepeda motor akan meningkat,” katanya.

Sedangkan penggantian de­ngan angkutan lainnya, seperti Metromini tidak bisa diandal­kan. Metromini atau Kopaja yang me­rupakan jenis angkutan massal tidak bisa melewati jalan antar kampung atau jalan Kelas III dan IV. Dia mencontohkan, ukuran bus sedang tidak bisa masuk jalan di lokasi tempat tinggalnya di Kelapa Gading.

Soedirman mengatakan, peme­rintah harus tegas menegakkan aturan persyaratan angkutan umum harus berbadan hukum. Kalau memang tidak memenuhi persyaratan, angkot tidak boleh diberi izin jalan. Na­mun, di la­pa­ngan banyak yang meng­ajukan permohonan izin per­ora­ngan yang malah bisa lolos.

Selain itu, pihaknya mengaku tidak bisa berbuat banyak dalam upaya penegakan disiplin berlalu lintas. Menurutnya, meskipun Or­ganda melakukan sosialisasi atau pembinaan, tak akan digub­ris oleh anggotanya.  Ang­go­ta­nya lebih memilih menye­lesai­kan ke­pentingannya ke Di­nas Perhu­bungan daripada me­la­lui Organ­da terlebih dahulu.

Jumlahnya Diturunkan, Kapasitasnya Ditambah

Ketua Umum DPP Organi­sasi Angkutan Darat (Organda) Eka Sari Lorena mengatakan, akan merevitalisasi angkutan umum yang ada di Jakarta. Nan­tinya, revitalisasi tran­spor­tasi umum bukan hanya me­re­majakan ar­mada, namun juga me­nurunkan jumlahnya serta me­ningkatkan kapasitasnya.

“Artinya, angkutan umum yang kecil diganti dengan bus uku­ran besar. Untuk ini harus diprio­ritaskan dulu di Jakarta. Hal ini karena banyak armada yang su­dah tua dan tidak ter­awat. Jum­lah penumpang juga tidak seim­bang dengan armada, terutama penumpang angkot yang banyak beralih ke ang­ku­tan pribadi, khu­susnya sepeda motor,” ujar Eka.

Berdasarkan perhitungan Or­ganda, satu bus dapat menggan­ti empat angkot. Kapasitasnya be­sar. Untuk memulai upaya re­­vi­talisasi itu, perlu dibuat ke­se­pakatan bersama dengan pe­ngu­saha angkot atau bisa di­buat kon­sorsium usaha.

Namun, untuk memperbaiki angkutan umum penumpang yang jumlahnya sekitar 500 ribu unit, ibukota perlu anggaran Rp 8 triliun. Dia menjelaskan, se­be­lumnya pemerintah telah me­­nye­tujui pengucuran dana bantuan sebagai kompensasi kenaikan harga bahan bakar mi­nyak (BBM) senilai Rp 4,7 tri­liun dari rencana Rp 9 triliun.

“Karena harga BBM tidak jadi dinaikkan, dana bantuan batal dikucurkan. Padahal, pemerintah seharusnya tetap mengucurkan dana bantuan untuk merevi­tali­sasi angkutan umum karena me­mang dibutuhkan,” katanya.

Program revitalisasi itu, lanjut Eka, juga akan dapat mengurangi kecelakaan dan kemacetan ka­rena mendorong pengurangan penggunaan kendaraan pribadi.

“Pengucuran dana bantuan sebenarnya merupakan bentuk kepedulian pemerintah terhadap angkutan umum. Di kota-kota besar, memang sudah saatnya meng­gunakan angkutan massal. Kendaraan kecil untuk angkot seperti sekarang hanya menam­bah kemacetan,” akunya.

Eka menegaskan, kebutuhan peremajaan armada angkutan umum tergolong mendesak. Se­lain dana bantuan, pemerintah se­mestinya memberikan subsidi bunga kredit untuk peremajaan armada. “Dana 4,7 triliun ru­piah setidaknya mampu mere­ma­jakan 50 persen angkutan umum di Ja­karta,” ucapnya.

Masalah lain yang dihadapi pe­ngusaha angkutan adalah ma­sih tingginya pungutan liar (pungli). Setiap hari, pungli ha­rus dihadapi operator angkutan umum, mulai dari terminal hing­ga jalan. Selain oknum petu­gas beratribut resmi, pungli juga di­lakukan oleh pre­man. [Harian Rakyat Merdeka]


Populer

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

Kejagung Ancam Tak Perpanjang Tugas Jaksa di KPK

Sabtu, 20 Desember 2025 | 16:35

Kajari Bekasi Eddy Sumarman yang Dikaitkan OTT KPK Tak Punya Rumah dan Kendaraan

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07

OTT Beruntun! Giliran Jaksa di Bekasi Ditangkap KPK

Kamis, 18 Desember 2025 | 20:29

UPDATE

Menhut Kebagian 688 Ribu Hektare Kawasan Hutan untuk Dipulihkan

Rabu, 24 Desember 2025 | 20:14

Jet Militer Libya Jatuh di Turki, Kepala Staf Angkatan Bersenjata Tewas

Rabu, 24 Desember 2025 | 20:05

Profil Mayjen Primadi Saiful Sulun, Panglima Divif 2 Kostrad

Rabu, 24 Desember 2025 | 19:46

Nutrisi Cegah Anemia Remaja, Gizigrow Komitmen Perkuat Edukasi

Rabu, 24 Desember 2025 | 19:41

Banser dan Regu Pramuka Ikut Amankan Malam Natal di Katedral

Rabu, 24 Desember 2025 | 19:33

Prabowo: Uang Sitaan Rp6,6 Triliun Bisa Dipakai Bangun 100 Ribu Huntap Korban Bencana

Rabu, 24 Desember 2025 | 19:11

Satgas PKH Tagih Denda Rp2,34 Triliun dari 20 Perusahaan Sawit dan 1 Tambang

Rabu, 24 Desember 2025 | 18:43

Daftar 13 Stafsus KSAD Usai Mutasi TNI Terbaru

Rabu, 24 Desember 2025 | 18:36

Prabowo Apresiasi Kinerja Satgas PKH dan Kejaksaan Amankan Aset Negara

Rabu, 24 Desember 2025 | 18:35

Jelang Malam Natal, Ruas Jalan Depan Katedral Padat

Rabu, 24 Desember 2025 | 18:34

Selengkapnya