KEMARIN saya dengar dari tetangga saya di Cimahi, bahwa isteri Wali Kota Cimahi terpilih menggantikan suaminya. Dalam hati kecil saya berkata, hebat betul perempuan ini. Ini melengkapi "kekaguman" saya pada isteri isteri bupati atau walikota di berbagai tempat di Indonesia yang sedang membangun dinasti.
Seperti  Bupati Kendal Widya Kandi Susanti, istri mantan Bupati Kendal Hendy Boedoro atau Bupati Kutai Kertanegara, anak kandung mantan Bupati Kukar  Syaukani HR. Kemudian Rycko Mendoza, putra Gubernur Lampung Sjachruddin ZP, yang terpilih sebagai Bupati Lampung Selatan. Juga ada anak Bupati Tulang Bawang, Aries Sandi Dharma yang terpilih sebagai Bupati di Pesawaran.
Di Tabanan, Bali, ada Ni Putu Eka Wiryastuti yang juga anak Bupati sebelumnya. Sedangkan di Kediri ada Haryanti Sutrisno yang tak lain adalah istri sang Bupati terdahulu yang heboh karena bersaing dengan istri pertama sang Bupati.
Di Cilegon, Banten, ada Imam Aryadi yang juga Putra Walikota. Sedangkan di Bantul, Yogyakarta, ada Sri Suryawidati yang juga istri Bupati sebelumnya, Idham Samawi. Di Indramayu, ada nama Anna Sophanah yang juga terpilih sebagai Bupati. Suami Anna, sebelumnya juga Bupati yang sekarang mau maju jadi Gubernur Jabar.
Mungkin pernah dengar Zumi Zola artis yang putra Gubernur Jambi menjadi bupati pula.
Mungkin Anda bisa memperpanjang daftar tersebut.
Terdengar juga yang akan bertarung adalah isteri Walikota Malang dan isteri Bupati Probolinggo. Keduanya berambisi mengganti suaminya masing-masing.
Benar-benar isteri dan anak yang hebat!
Maka pertanyaan yang muncul apakah demokrasi yang kita bangun ini menuju demokrasi yang sehat atau menuju dinasti yang akan berpuncak menjadi neofeodalisme?
Apakah antinepotisme yang diperjuangkan diawal reformasi menjadi tinggal slogan?
Apakah persaingan tidak sehat ini, dimana salah satu calon dengan sadar atau tidak sadar telah memanfaatkan popularitas, fasilitas suami atau bapaknya (baca fasilitas negara juga!) untuk mengalahkan pesaingnya, dapat dibiarkan?
Siapa yang menjamin bahwa isteri atau anak tersebut tidak dalam kendali suami atau bapaknya mengatur kekuasaan yang dengan demikian bisa saja "menyembunyikan" kebusukan pengelolaan pemerintahan sebelumnya?
Belum lagi bila ini ditinjau dari segi etika dan moral politik. Kiranya DPR RI harus segera merumuskan aturan main yang sehat dalam pilkada juga pemilihan presiden demi pembangunan demokrasi di tanahair.
H. Tb. Khasan Sochib adalah ayahanda dari Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah. Almarhum dulu adalah salah seorang senior kami waktu kami masih aktif di HIPMI Jabar.
Beliau orang hebat karena dari " rumpun" beliau lahir begitu banyak pejabat penting di Banten.
Sumber saya dua tahun yang lalu menyebut ada lebih kurang 20 pejabat penting di Banten yang merupakan keluarga H. Tb. Khasan Sochib.
Misalnya, kalau ada yang sudahberubah jabatan tolong koreksi ya, anaknya adalah Walikota Serang, H. Jaman. Anak lainnnya Wakil Bupati Serang, Hj. Ratu Hasanah. Menantunya jadi Walikota Tangerang Selatan, Airin Rahmi Diani.
Menantu lainnya jadi Wakil Bupati Pandeglang. Dia adalah suami Hj. Heryani. Ada menantunya yang jadi Ketua Golkar Banten dan anggota, DPR RI, H. Hikmat Tomet. Menantunya jadi anggota DPRD Banten, H. Aden. Cucunya jadi anggota DPD Banten, Andika Hazrumi. Cucu menatunya jadi Wakil Ketua DPRD Kabupaten Serang, Ade Rossy Chaerunnisa. Dan lain-lain.
Tentu kita minta maaf ke pejabat-pejabat tersebut, karena menyebutkan nama-nama mereka. Bukan maksud kita mendiskreditkan. Tetapi ini dalam konteks studi kasus politik dinasti untuk tinjauan pembangunan politik dan demokrasi di Indonesia.
Mungkin data nama dan jabatan ada yang keliru. Namun yang penting substansinya bahwa ada fakta politik dinasti akan sangat trendy di Indonesia. [***]
Penulis adalah mantan anggota DPR RI, aktivis 1977/78