MALU adalah salah satu sifat orang beriman. Rasa malu sangat bermanfaat dalam mengendalikan hawa nafsu. Orang yang memiliki rasa malu adalah orang yang mampu menjaga diri.
Harkat dan martabat diri seseorang sangat tergantung pada rasa malu yang dimilikinya. Semakin tinggi rasa malunya, semakin tinggi pula harga diri dan martabatnya. Sebaliknya, semakin rendah rasa malunya, semakin rendah pula harga diri dan martabatnya.
Berkenaan dengan pentingnya sifat malu, Rasulullah SAW pernah bersabda yang berbunyi, “Iman meliputi lebih dari enam puluh cabang atau bagian. Dan rasa malu adalah sebuah cabang dari iman" (HR. Bukhari). Sebagai sebuah cabang, sifat malu tentu sangat mempengaruhi kualitas iman. Dengan kata lain, malu adalah salah satu parameter dalam mengukur kualitas iman seseorang.
Secara umum, ada tiga jenis malu yaitu; malu kepada Allah, malu kepada sesama manusia, dan malu kepada diri sendiri. Orang yang malu kepada Allah adalah orang yang malu ketika meninggalkan perintah-perintah Allah. Demikian juga ia sangat malu bila Allah mengetahui bahwa ia mengerjakan larangan-larangan-Nya. Malu kepada Allah berarti menyadari sepenuhnya bahwa Allah mengetahui seluruh aktivitas jasmani dan rohani setiap manusia. Pada titik inilah iman seseorang dipertaruhkan. Meski ia bebas melakukan apa pun yang diinginkannya, namun ia membatasi diri karena ia yakin (iman) bahwa Allah pasti mengetahuinya.
Malu kepada sesama manusia adalah malu mengerjakan hal-hal yang tidak pantas dilakukan dalam pandangan masyarakat. Malu jenis ini sangat tergantung pada pandangan sosial. Karena itu, malu pada sesama manusia bisa jadi bukan didasarkan atas kesadaran ilahiyah. Agar dapat meningkatkan kualitas iman, malu pada sesama manusia ini sangat perlu dikaitkan dengan rasa malu kepada Allah.
Sedangkan malu pada diri sendiri adalah rasa malu yang tumbuh secara otonom dalam diri manusia. Dengan kemampuan berpikir yang dianugerahkan Allah, seseorang dapat secara genuine memilih perbuatan mana yang pantas dikerjakan dan mana yang harus ditinggalkan. Berkenaan dengan sifat malu pada diri sendiri, Damon Wayans pernah mengatakan, "Nobody can stop you but you and shame on you if you're the one who stops yourself" (Tidak ada seorang pun yang dapat menghentikan kamu selain dirimu sendiri dan rasa malu yang ada pada dirimu jika kamu memang adalah tipikal orang yang dapat menghentikan diri sendiri).
Malu sebagai bagian dari akhlak mulia perlu dibudayakan dalam kehidupan sehari-hari. Sayangnya, masih banyak orang yang menempatkan kepentingan pribadi dan kelompoknya di atas segalanya. Akibatnya, mereka tidak malu mengerjakan perbuatan-perbuatan yang dilarang agama dan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan norma-norma sosial.
Ibadah puasa Ramadan yang sedang kita jalankan semestinya dapat dijadikan sebagai momentum untuk membudayakan rasa malu. Orang yang melakukan ibadah puasa pada hakikatnya adalah orang yang memiliki rasa malu kepada Allah. Sedangkan, orang yang tidak makan dan minum di siang hari Ramadan adalah orang yang memiliki rasa malu kepada sesama. Sementara orang yang selalu menjaga mata, telinga, dan hati dari perbuatan-perbuatan yang mengurangi nilai ibadah puasa adalah orang-orang yang memiliki rasa malu pada diri sendiri.
Jika kombinasi antara malu kepada Allah, malu kepada sesama manusia, dan malu pada diri sendiri menghiasi setiap pribadi muslim, niscaya akan terbangun tatanan sosial dan masyarakat yang baik. Tatanan sosial dan masyarakat yang baik adalah prasyarat utama dalam membangun sebuah bangsa yang berperadaban. Wallahua'lam. [***]
Penulis adalah Menko Perekonomian RI