BERIBADAH sambil melakukan perjalanan wisata religius ke lokasi-lokasi sejarah di wilayah kota Jakarta, akan terasa kurang lengkap tanpa mengunjungi Masjid As Salafiyah atau biasa disebut juga dengan Masjid Pangeran Jayakarta.
Mudah saja menuju ke lokasi Masjid As-Salafiyah. Dari Stasiun Jatinegara tinggal lurus saja sekira tiga kilometer, lalu ikuti saja plang penunjuk jalan. Lokasi bangunan ada di sebelah kiri jalan. Sejak dulu masjid bersejarah yang terletak di sebelah timur ibukota ini telah menjadi pusat perjuangan dan dakwah agama Islam di Jakarta.
Didirikan oleh pejuang Kesultanan Banten, Pangeran Jayakarta pada tahun 1620, Masjid As Salafiyah berdekatan dengan Kali Sunter. Masjid ini pada awal dibangun hanya merupakan masjid kecil dengan empat tiang pokok dan satu cungkup. Lalu pada tahun 1968, Gubernur Ali Sadikin melakukan pemugaran yang cukup besar. Masjid As Salafiyah diperluas ke belakang, dibangun menara baru. Kini bangunan bercat putih bersih ini memiliki dua lantai dengan delapan tiang penyangga persegi. Empat tiang diantaranya, terbuat dari kayu jati yang diyakini tetap sama seperti pertama kali didirikan.
Bisa dikatakan, meskipun sudah banyak dipugar, bangunan Masjid As Salafiyah masih sangat mempertahankan keasliannya hingga kini. Mulai pokok dari kayu jati hingga atapnya, bahkan gentingnya pun masih asli. Unik memang, tapi yang jelas masjid ini masih tampak segar dilihat juga bersih bila kita mau meluangkan waktu sedikit melongok ke dalam bangunan.
Sejak ditetapkan menjadi cagar budaya dan suaka peninggalan sejarah. Pengelolaan bangunan masjid ini berada di bawah Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta.
"Jadi sudah ada pihak yang memang bertugas khusus untuk menjaga kebersihan dan keindahan masjid," begitu kata juru pelihara masjid, Garin, yang ditemui kru
JakartaBagus.Com awal Ramadhan lalu.
Selain dipakai untuk tempat beribadah umat muslim, masjid ini rupanya digunakan Pangeran Jayakarta untuk menggalang kekuatan kembali. Berpuluh-puluh tokoh masyarakat dan jawara serta ulama seringkali berkumpul di masjid ini menyusun strategi perjuangan dan dakwah Islam.
Pangeran Jayakarta terus bergerilya dan mengatur strategi melawan Belanda dari Masjid As Salafiyah ini.
Asal-usul Pangeran Jayakarta sendiri masih samar. Dalam laman Pemerintah Kota Administrasi Jakarta Timur disebutkan, Pangeran Jayakarta adalah nama lain dari Pangeran Achmad Jaketra, putra Pangeran Sungerasa Jayawikarta dari Kesultanan Banten. Namun, ada juga yang menganggap Pangeran Jayakarta adalah Pangeran Jayawikarta. Sementara menurut Hikayat Hasanuddin dan Sejarah Banten Rante-rante yang disusun pada abad ke-17 (yaitu sesudah Sajarah Banten, 1662/3), Pangeran Jayakarta atau Jayawikarta adalah putra Tubagus Angke dan Ratu Pembayun, puteri Hasanuddin, anak Sunan Gunung Jati.
Sumber informasi lain menyebutkan, Pangeran Jayakarta atau nama lainnya Pangeran Akhmad Jakerta adalah putra dari Pangeran Sungerasa Jayawikarta yang berasal dari Kesultanan Banten. Bahkan ada yang menyebut, ia adalah putra dari Ratu Bagus Angke atau Pangeran Hasanuddin, adalah menantu Fatahillah atau Falatehan yang konon menantu Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah, peletak dasar Kesultanan Cirebon dan Banten.
Dari catatan sejarah yang dibukukan di Arsip Nasional Republik Indonesia, Pangeran Jayakarta disebut mewarisi kekuasaan atas Jayakerta dari Ratu Bagus Angke, yang sebelumnya memperoleh kekuasaan itu dari Fatahillah, yang memutuskan pulang ke Banten (Banten Lama sekarang) setelah berhasil merebut pelabuhan itu dari Kerajaan Pajajaran yang bersekutu dengan Portugis, pada pertengahan Februari 1527. Fatahillah kemudian mengganti namanya dari Sunda Kelapa menjadi Jayakerta atau Jayakarta. Nama itulah yang perlahan berubah menjadi Jakerta atau Jakarta pada 22 Juni 1527 dan sekarang dijadikan sebagai hari jadi Kota Jakarta. Pangeran Jayakarta menjadi penguasa kota Pelabuhan Jayakarta sekaligus wakil Kesultanan Banten.
Pangeran Jayakarta memimpin pelabuhan ini sebagai bandar yang ramai disinggahi kapal dagang Eropa dan Asia pada saat itu. Di saat yang sama sebuah perusahaan dagang asal Belanda, yaitu VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) secara perlahan ingin menguasainya. VOC sendiri sebelumnya sudah menguasai perdagangan rempah-rempah Nusantara yang berpusat di Kepulauan Maluku, bagian timur Indonesia.
VOC kemudian membeli tanah seluas 1,5 hektar di sisi timur muara Kali Ciliwung. Catatan sejarah ANRI menyebutkan, pada November 1610 Kapten Jacques L’Hermite membayar sebesar 2.700 florin atau 1.200 real kepada Pangeran Jayakarta. Inilah pertama kali VOC berhasil membangun sebuah gudang permanen pertamanya yang terbuat dari kayu dan batu dan diberi nama Nassau Huis. Bukan hanya Belanda yang tertarik dengan pelabuhan ini, Inggris pun saat itu mendirikan benteng di sisi barat muara Kali Ciliwung.
Di tanah yang luasnya tidak seberapa itu kemudian VOC memonopoli perdagangan sehingga menimbulkan perselisihan dengan Pangeran Jayakarta sendri. Bahkan, VOC yang dipimpin Jan Pieterzoon Coen, kemudian membangun gedung kembaran Nassau Huis yang bernama Mauritius Huis. Di antara kedua gedung tersebut kemudian dibangun tembok berbentuk benteng segi empat dengan tinggi sekira 6 meter dilengkapi meriam di setiap sudutnya. Konflik pun semakin meruncing dari persaingan dagang ke perebutan pelabuhan strategis perdagangan. Pecahlah perang pertama di sini dimana pasukan Pangeran Jayakarta yang dibantu Kesultanan Banten berhasil mengalahkan VOC. Jan Pieterszoon Coen dan pasukan VOC kemudian mundur sejenak ke Ambon untuk mempersiapkan serangan balik dengan jumlah pasukan yang lebih besar.
Dalam waktu yang hampir bersamaan, kawasan ini juga pecah perang antara Kesultanan Banten dengan Inggris. Pasukan Inggris berhasil diusir dari Jayakarta. Akan tetapi, baru saja perang usai, tiba-tiba pasukan VOC kembali ke sini dengan pasukan lebih besar dari Ambon. Jan Pieterszoon Coen memimpin pasukan dengan misi balas dendam bersemboyankan "Despereet Niet" atau "Jangan Putus Asa". Kesultanan Banten dan Pasukan Jayakarta yang baru saja berperang dengan Inggris mengalami kelelahan sehingga berhasil dipukul mundur dari pelabuhan ini ke arah tenggara.
Dengan kemenangan tersebut, VOC kemudian menguasai hampir seluruh kawasan Pelabuhan Jayakarta (Sunda Kelapa). VOC membumihanguskan kawasan ini beserta seluruh isinya termasuk Keraton Jayakarta. Sejarah mencatat pada 12 Maret 1619, Jan Pieterszoon Coen kemudian mengubah nama Jayakarta menjadi Koninkrijk Jacatra (Kerajaan Jakarta) dan membangun kota baru yang dikelilingi benteng dengan nama Batavia tepat di atas reruntuhan Jayakarta.
Pada saat itulah VOC membangun sebuah kota berbudaya Eropa yang mirip seperti Kota Amsterdam di Belanda. VOC juga melakukan pengusiran terhadap orang-orang Banten, Cirebon dan Demak dari wilayah sekitar kota. Perlahan tapi pasti dari sinilah kemudian VOC menguasai seluruh Nusantara dengan benteng-benteng baru yang melindunginya di Kepulauan Seribu.
Mundurnya pasukan Pangeran Jayakarta ke arah tenggara Jayakarta bukan berarti selesai peperangan. Ketika diajak berdamai oleh VOC pun ia menolak, bahkan bersama pasukannya justru gencar menyerang pelabuhan ini dari berbagai sisi. Namun, pada akhirnya Pangeran Jayakarta memutuskan untuk mundur ke selatan bersama pasukannya hingga tiba di hutan jati sekitar tepian Kali Sunter. Sejak tahun 1619 daerah tersebut dikenal sebagai Jatinegara Kaum. Kata jati bermakna setia dan kata negara bermakna pemerintahan, makna Jatinegara diartikan sebagai pemerintahan yang sejati.
Dengan nama itu, Pangeran Jayakarta berusaha membuktikan bahwa pemerintahannya masih berjalan meskipun Jayakarta telah direbut oleh Belanda dan diubah menjadi Batavia. Dari sini juga Pangeran Jayakarta dan pengikutnya bergerilya sehingga membuat Batavia tidak pernah aman selama 80 tahun.
Pangeran Jayakarta juga membangun sebuah masjid di Kali Sunter tahun 1620 untuk menggalang kekuatannya kembali. Masjid tersebut dinamai Masjid As Salafiyah yang bermakna tertua.
Masyarakat sekitar sempat menyebutnya sebagai Masjid Pangeran Jayakarta. Di masjid inilah para pengikut setia Pangeran Jayakarta baik itu ulama, tokoh masyarakat, maupun jawara sering berkumpul untuk menyusun strategi perjuangan melawan Belanda sekaligus melakukan dakwah Islam.
Tahun 1640 Pangeran Jayakarta wafat dan dimakamkan dekat Masjid As-Salafiah bersama keluarga dan pengikutnya. Menurut cerita di masyarakat, makam terakhir bangsawan Banten itu pernah dirahasiakan keberadaannya hingga tiga abad. Makam Pangeran Jayakarta baru diumumkan tahun 1965 bertepatan dengan HUT DKI ke-429, pada masa Gubernur Henk Ngantung.
Makam Pangeran Jayakarta sempat dipugar beberapa kali, yaitu pertama kali tahun 1700 oleh Pangeran Sageri. Pemugaran kedua tahun 1842 oleh Aria Tubagus Kosim. Pemugaran ketiga tahun 1969 oleh Gubernur DKI H. Ali Sadikin, dimana dibangun dua lantai dengan menara baru. Pemugaran keempat tahun 1992 oleh Gubernur DKI H. Suryadi Soedirdja. Kini Makam Pangeran Jayakarta banyak diziarahi.
Pada zaman kepemimpinan Gubernur Sutiyoso, Masjid As Salafiyah ini dinyatakan sebagai benda cagar budaya, hal itu dituangkan dalam peraturan daerah yang berdasarkan Perda Khusus Ibukota Jakarta nomor 9 tahun 1999. Hal ini bisa dilihat di samping kiri masjid, terdapat plang besi yang menjelaskan status bangunan ini.
Dengan diterbitkannya peraturan daerah tersebut, sekaligus mengukuhkan Masjid Jami As Salafiyah beserta makam Pangeran Jayakarta sebagai situs peninggalan bersejarah, bukan hanya untuk Kota Jakarta, tetapi juga untuk Indonesia. [****]