Berita

Basrief Arief

X-Files

2 Tersangka Kasus Mandiri Enam Tahun Tidak Diadili

Jaksa Agung: Itu Akan Kami Tindak Lanjuti
SENIN, 30 JULI 2012 | 11:31 WIB

Sejak tahun 2006, dua orang pihak swasta ditetapkan sebagai tersangka kasus penyalahgunaan kredit sebesar Rp 51,542 miliar di Bank Mandiri. Tapi, hingga kini, dua tersangka itu tak kunjung dibawa kejaksaan ke pengadilan.

Kedua tersangka yang berasal dari Direksi PT A atau AT itu pun berkasnya sudah masuk ke tahap penuntutan pada waktu itu. Akan tetapi, setelah enam tahun ber­lalu, dua tersangka itu tidak kun­jung disidang. Alias kasusnya ma­sih ngendon di kejaksaan. Ke­dua tersangka itu berinisial CAH dan HS.

Mengenai keanehan dalam penanganan kasus tersebut, Jaksa Agung Basrief Arief berjanji akan menindaklanjutinya. “Tunggu dulu yang dua tadi ya. Nah, itu akan kami tindak lanjuti,” kata­nya seusai sholat Jumat di Masjid Baitul Adli, Kejaksaan Agung, Jalan Sultan Hasanuddin, Jakarta Selatan pada 27 Juli lalu.

Padahal dalam proses pe­nin­jauan kembali (PK) di Mahk­a­mah Agung, dua tersangka lain­nya, yakni bekas Group Head Cor­porate Relationship Bank Man­diri Fachrudin Yasin dan bekas Group Head Corporate Cre­dit Approval Roy Ahmad Ilham terbukti ber­salah karena menyalurkan kredit kepada PT A atau AT tanpa m­e­lalui prosedur dan syarat-syarat yang ditentukan bank.

Sebelumnya, Direktur Penyi­dikan pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Arnold Angkouw membenarkan adanya penetapan tersangka dari pihak swasta da­lam kasus ini pada tahun 2006. “Memang benar, Kejaksaan Agung telah menetapkan dua ter­sangka dari unsur swasta, yakni CAH dan HS,” kata Arnold di Ge­­dung Bundar, Kejaksaan Agung, Senin sore, 23 Juli.

Menurut Arnold, berkas dua tersangka dari pihak swasta itu bahkan sudah masuk ke tahap pe­nuntutan. Tapi, kenapa setelah enam tahun berlalu, dua ter­sang­ka itu tidak kunjung dibawa ke pe­ngadilan. “Iya, dua ter­sangka itu sudah sempat masuk penun­tutan per tanggal 3 Agustus 2006. Satu berkas dua orang,” ujar be­kas Kepala Kejaksaan Ting­gi Sulawesi Utara ini.

Padahal, tersangka dari pihak Bank Mandiri sudah dihukum, karena peninjauan kembalinya (PK) ditolak Mahkamah Agung.

Namun, Arnold mengaku be­lum mengetahui perkem­ba­ngan terakhir penanganan kedua ber­kas tersangka dari pihak swasta itu. Yang dia ketahui, sejak tang­gal 3 Agustus 2006, berkas kedua tersangka itu sudah dinyatakan lengkap (P21) oleh Bagian Pe­nyidikan Kejaksaan Agung.

“Saat itu, Direktur Penyidikan adalah Su­wandi. Rencana pe­nun­tutannya waktu itu di Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan,” katanya.

Arnold bahkan sempat mene­lepon Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan Masyhudi untuk mempertanyakan kelanjutan pe­nanganan kasus ini. Namun, Ma­syhudi mengaku belum me­nge­tahui perkembangannya. “To­long dicek perkembangannya dan beritahu kepada saya,” pinta Ar­nold kepada Kajari Jaksel me­lalui telepon.

Masyhudi pun berjanji akan menelusuri berkas perkara kedua tersangka yang tak kunjung disi­dang selama enam tahun itu. “Kami masih menelusurinya,” ujar Masyhudi ketika dikon­fir­masi Rakyat Merdeka.

Kelanjutan proses hukum ter­hadap dua tersangka dari PT A atau AT itu dipertanyakan, setelah dua terdakwa dari unsur Bank Mandiri, yakni Fachruddin Yasin dan Roy Ahmad Ilham ditolak peninjauan kembalinya oleh MA, se­hingga mereka tetap divonis lima tahun penjara.

REKA ULANG

Dari Putusan Bebas Hingga 5 Tahun Penjara

Bekas Group Head Corporate Relationship Bank Mandiri Fach­rudin Yasin dan bekas Group Head Corporate Credit Approval Bank Man­diri Roy Ahmad Ilham kena hu­kuman lima tahun pen­jara. Soal­nya, Mahkamah Agung pada 14 Juni lalu menolak pe­nin­jauan kembali (PK) yang mereka aju­kan atas dakwaan penya­la­h­gu­na­an penyaluran kredit Rp 51,542 miliar.

Perkara Nomor 31 PK/Pid.Sus/2012 ini diputus Ketua Majelis Ha­kim Artidjo Alkostar dan ha­kim anggota, antara lain Za­ha­ruddin Utama. Perkara ini masuk ke MA pada 24 Januari 2012 dan diketok pada 14 Juni lalu.

Sekadar mengingatkan, Fach­rudin dituntut lima tahun penjara dalam sidang di Pengadilan Ne­geri Jakarta Selatan. Fachrudin dan Roy didakwa me­ng­ge­lon­tor­kan kredit kepada PT Arthabama Textindo/PT Artharismutika Tex­tindo secara melawan hu­kum. Ya­itu, tanpa melalui pro­se­dur dan syarat-syarat yang di­tentukan bank pada kurun 2001-2002. Akibatnya negara diru­gi­kan Rp 51,542 miliar.

Pengadilan Negeri Jakarta Se­la­tan pada 20 Januari 2010 me­mutus bebas Fachrudin dan Roy. Majelis hakim PN Jaksel me­mu­tus, keduanya tidak ber­salah. Ti­dak terima, jaksa lang­sung kasasi atas putusan bebas tersebut.

Pada 29 November 2010, MA menerima kasasi jaksa dengan menghukum kedua terdakwa itu sesuai tuntutan, yaitu 5 tahun pen­jara. Kasasi diputus tiga ha­kim agung, yaitu Djoko Sarwoko, Komariah E Sapardjaja dan Sur­ya Jaya. “Perbuatan terdakwa di­lakukan belum lama setelah krisis moneter terjadi. Para terdakwa telah menguntungkan para de­bitur nakal,” ujar Djoko dalam salinan putusan kasasi.

Tidak puas, Fachrudin dan Roy mengajukan peninjauan kembali (PK). Tapi, Mahkamah Agung menolak PK tersebut. Sehingga, Fachrudin dan Roy kena huku­man lima tahun penjara.  

MA juga telah menghukum be­kas Direktur Utama Bank Man­diri E.C.W. Neloe serta Direktur Risk Management I Wayan Pu­geg dan Direktur Corporate Ban­king M Sholeh Tasripan masing-masing 10 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bu­lan kurungan.

“Majelis memutus dalam rapat terbuka 13 September 2007. Ter­dakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berkelanjutan,” kata Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Andi Samsan Nganro saat membacakan petikan putusan MA di kantornya pada Jumat, 14 September 2007.

Dengan keputusan ini, majelis hakim MA yang dipimpin Bagir Manan dan beranggotakan Iskan­dar Kamil, Djoko Sarwoko, Hari­fin A Tumpa dan Rehngena Purba membatalkan putusan majelis hakim PN Jakarta Selatan nomor 2068/Pid.B/2005/PN Jaksel tertanggal 20 Februari 2006.

Saat itu, majelis hakim PN Ja­karta Selatan memvonis bebas tiga terdakwa kasus pengucuran kredit Rp 160 miliar ke PT Cipta Graha Nusantara ini. Mereka didakwa melanggar Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dalam pertimbangan majelis hakim Jakarta Selatan disebutkan unsur setiap orang, unsur me­lang­gar hukum, dan unsur mem­per­kaya diri sendiri atau korporasi telah terbukti. Namun, unsur ke­rugian negara tidak terbukti. Ke­mudian, jaksa yang saat itu me­nuntut 20 tahun penjara, me­ngajukan kasasi atas putusan ini.

Tak Ada Alasan Petieskan Kasus

Pieter C Zulkifli, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Pieter Zulkifli mengingatkan, ti­dak ada alasan bagi aparat pe­negak hukum untuk mem­pe­tieskan kasus-kasus yang sudah memiliki bukti kuat dan me­ru­gikan keuangan negara.

Kasus-kasus masa lalu yang ber­hubungan dengan kerugian ke­uangan negara tapi tak jelas ujungnya, lanjut Pieter, harus secepatnya ditindaklanjuti dan dituntaskan di pengadilan. “Supaya tidak ada preseden, hu­kum hanya berlaku bagi orang-orang miskin,” tandasnya.

Lantaran itu, dia berharap, kasus ini dibawa kejaksaan ke pengadilan secepatnya. “Agar masyarakat tahu bahwa persa­ma­an di muka hukum da­pat di­laksanakan. Rasa keadilan ma­syarakat baru akan terpenuhi jika hukum dilaksanakan tanpa pandang bulu,” ujar anggota DPR dari Partai Demokrat ini.

Pieter mendesak Kejaksaan Agung agar segera memeroses setiap orang yang diduga terli­bat kasus ini. “Siapa pun yang ter­libat, harus ditindaklanjuti. Tidak boleh pandang bulu. Ka­lau ada bukti-bukti yang sah, kuat dan me­menuhi unsur-unsur tindak pid­ana, maka lembaga hukum harus menindaklanjuti,” ujarnya.

Jika proses hukum itu me­nye­ret banyak orang, kata Pieter, aparat hukum harus tetap ber­tindak sesuai aturan yang ada. “Hukum tak boleh tebang pilih atau pilih-pilih. Hukum itu sama bagi siapa saja yang ter­bukti bersalah. Termasuk ok­num apa­rat penegak hukum yang terbukti terlibat,” tandasnya.

Dia menambahkan, pene­ga­kan hukum yang adil, serta pem­berantasan korupsi yang serius, akan membuat Indonesia menjadi negara yang sangat disegani di dunia internasional. “Indonesia akan menjadi besar dan disegani, jika mampu tak pandang bulu dalam mene­gak­kan hukum,” ujarnya.

Tidak Terlihat Upaya Serius Berantas Korupsi

Frans Hendra Winarta, Dosen Hukum

Dosen Hukum Universitas Pe­lita Harapan Frans Hendra Wi­narta menilai, pengusutan perkara tindak pidana korupsi sering tidak menjadi prioritas.

Menurutnya, banyak hal yang mengakibatkan pengu­su­tan kasus korupsi mandeg, bahkan tidak diteruskan sama sekali. “Gejala seperti itu sudah berlangsung lama, tapi kurang ada perhatian serius dari pe­me­rintah.Tidak mungkin pimpinan tidak tahu,” ujar Frans.

Lantaran itu, katanya, ke­se­riusan aparat penegak hukum masih di ambang ketidak­per­ca­ya­an publik. Sehingga, pem­be­rantasan korupsi masih di­ang­gap masyarakat sebatas lips service. “Sekarang masalahnya, kita mau berubah ke arah yang lebih baik atau tidak. Kecintaan kepada tanah air dan na­sio­na­lisme para pemimpin kita se­dang diuji. Kalau ada kemauan politik, pasti bisa,” ucapnya.

Frans tidak menampik, dalam pengusutan perkara korupsi ada saja kesulitan yang terjadi. Na­mun, upaya serius juga tidak ter­lihat dilakukan aparat pene­gak hukum.

“Umumnya pe­na­nganan per­kara korupsi lamban karena pem­buktiannya sulit dan ma­salahnya kompleks. Karena itu, perlu jaksa khusus dan ter­latih. Begitu pula kesadaran menge­nai bahaya korupsi serta keru­gi­an negara yang diakibatkannya.”

Sayangnya, Frans menilai, sampai saat ini penegakan hu­kum hanya topeng yang kerap di­kampanyekan. “Penegakan hu­kum belum dianggap pen­ting, malah kepentingan politik yang dianggap utama. Aki­bat­nya, penegakan hukum lemah dan kerap ada intervensi politik dalam kasus-kasus korupsi. Ma­ka­nya, tidak aneh jika kasus ini berjalan lamban,” katanya.   [Harian Rakyat Merdeka]


Populer

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

Kajari Bekasi Eddy Sumarman yang Dikaitkan OTT KPK Tak Punya Rumah dan Kendaraan

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07

Kejagung Ancam Tak Perpanjang Tugas Jaksa di KPK

Sabtu, 20 Desember 2025 | 16:35

UPDATE

Trump Serang Demokrat dalam Pesan Malam Natal

Kamis, 25 Desember 2025 | 16:04

BUMN Target 500 Rumah Korban Banjir Rampung dalam Seminggu

Kamis, 25 Desember 2025 | 15:20

Mantan Wamenaker Noel Ebenezer Rayakan Natal Bersama Istri di Rutan KPK

Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01

Gibran Minta Pendeta dan Romo Terus Menjaga Toleransi

Kamis, 25 Desember 2025 | 14:40

BGN Sebut Tak Paksa Siswa Datang ke Sekolah Ambil MBG, Nanik: Bisa Diwakilkan Orang Tua

Kamis, 25 Desember 2025 | 14:39

Posko Pengungsian Sumut Disulap jadi Gereja demi Rayakan Natal

Kamis, 25 Desember 2025 | 14:20

Banyak Kepala Daerah Diciduk KPK, Kardinal Suharyo Ingatkan Pejabat Harus Tobat

Kamis, 25 Desember 2025 | 14:15

Arsitektur Nalar, Menata Ulang Nurani Pendidikan

Kamis, 25 Desember 2025 | 14:13

Kepala BUMN Temui Seskab di Malam Natal, Bahas Apa?

Kamis, 25 Desember 2025 | 14:03

Harga Bitcoin Naik Terdorong Faktor El Salvador-Musk

Kamis, 25 Desember 2025 | 13:58

Selengkapnya