PT Chevron Pasific Indonesia (CPI)
PT Chevron Pasific Indonesia (CPI)
Pengujian tanah sampel daÂlam uji laboratorium sudah ramÂpung. Hasil pengujian ini, menÂjadi pelengkap yang memperkuat penyusunan berkas dan peÂnunÂtutan dalam kasus yang ditaksir merugikan negara hingga Rp 200 miliar itu.
Menurut Direktur Penyidikan Kejaksaan Agung Arnold AngÂkouw, pengujian sampel utama, yakni Total Petrolium HidroÂcarÂbon (TPH) sudah selesai. HaÂsilÂnya positif. Selanjutnya, hasil itu akan dimasukkan ke Berita Acara Pemeriksaan (BAP). “Lalu, emÂpat ahli kami, keterangannya juga di-BAP untuk pemberkasan,†ujarnya di Gedung Kejaksaan Agung, Jalan Sultan Hasanuddin, Jakarta Selatan.
Selanjutnya, kata Arnold, tim penyidik akan melakukan gelar perkara terkait kasus ini. “Semua seÂgera naik ke penuntutan. Kami tengah mem-BAP para tenaga ahli terkait hasil uji laboratorium sampel Tph. Selanjutnya, gelar perkara di hadapan pimpinan kejaksaaan,†jelasnya.
Menurutnya, sesuai dengan keÂtentuan perundangan, bila eksÂpose selesai dan dinilai sudah mencukupi pemberkasan, maka akan dilimpahkan tahap pertama ke Bagian Penuntutan pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus).
Dia menjelaskan, uji laboraÂtoÂrium terhadap sampel Tph sudah tuntas dilakukan, dengan alat yang didatangkan dari Singapura oleh tenaga ahli Kejagung, meÂnyuÂsul dua sampel lainnya yang diuji di Pusarpedal, Serpong, yakÂni sampel Ph dan Tcp.
Pengujian ini sebagai bagian dari pengumpulan bukti materil untuk enam tersangka perkara bioÂremediasi, setelah bukti-bukti formil mencukupi. “PeÂngumÂpuÂlan bukti ini untuk enam terÂsangÂka, dan satu tersangka lain AleÂxiat Tirtajaya masih di AS meÂneÂmani suaminya yang sakit.â€
Dua tersangka lain dalam perÂkara ini berasal dari pihak kerÂjaÂsama operasi (KSO), yakni HerÂlan (Dirut PT Sumigita Jaya) dan Ricksy Prematuri (PT Green PlaÂnet Indonesia). Lima tersangka dari CPI, yakni Endah Rubiyanti, Widodo, Kukuh dan Bachtiar AbÂdul Fatah. Alexiat masih berada di Amerika Serikat.
Kasus ini berawal dari proyek pemulihan lahan bekas eksplorasi di Duri, Riau sejak 2003-2011. ProÂyek senilai 270 juta dolar AS itu diduga fiktif. Apalagi, sampel Tph tidak bisa diuji oleh KeÂmenÂterian Lingkungan Hidup, karena tiada alat laboratorium.
Namun demikian, kementerian tetap memberikan rekomendasi keÂpada BP Migas untuk memÂbaÂyar atas proyek bioremediasi yang dikerjakan CPI dan dua KSO-nya. Akibatnya negara diduga dirugiÂkan sekitar Rp 200 miliar.
Di tempat yang sama, Jaksa Agung Basrief Arief meÂnyamÂpaikan, prediksi awal pengujian laboratorium sampel tanah proyek bioremediasi itu adalah 14 hari. Pengujian itu, lanjut Basrief, diperlukan untuk mengecek apaÂkah benar dilakukan pemulihan dengan bioremediasi.
“Memang awalnya saya kira bisa selesai dalam waktu dua mingÂÂgu, ternyata ada tahapan-taÂhapan yang perlu dilakukan, dan itu ahli kita yang tahu,†ujarnya.
Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Andhi NirÂwanto menyampaikan, kasus bioremediasi fiktif itu masih daÂlam tahap penyidikan. “Sekarang kita masih meÂnunggu hasil final laboÂratoÂriumÂnya, terkait sampel tanah, dan itu ditangani langsung oleh ahli,†ucapnya.
Kebutuhan memeriksa dan mem-BAP empat orang ahli bioremediasi Kejaksaan Agung, lanjut Andhi, juga diperlukan unÂtuk memastikan jumlah kerugian negara yang diakibatkan proyek fiktif bioremediasi itu.
“Mereka diperiksa terkait keÂahliannya. Ini penting karena berhubungan dengan perhitungan kerugian kerugian negara. Kalau nanti tidak ada bioremediasi, maka fiktif. Maka kerugian neÂgara menjadi total lost,†ujar Andhi.
Reka Ulang
Menunggu Angka Kerugian Negara Dari BPKP
Meski sudah menaksir keruÂgian negara dalam kasus ini sekiÂtar Rp 200 miliar, Kejaksaan Agung teÂtap menunggu hasil auÂdit final dari Badan PengawaÂsan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). “Kami bersama-sama BPKP mendalami kerugian neÂgara,†ujar Jaksa Agung Muda PiÂdana Khusus Andhi Nirwanto.
Ditemui di Kejaksaan Agung, Kepala Badan Pengawasan KeÂuangan dan Pembangunan (BPKP) Mardiasmo menÂjelaÂsÂkan, pihakÂnya sedang meÂngejar peÂnyeÂleÂsaiÂan perhitungan keÂruÂgian negara dalam kasus proyek fiktif bioÂreÂmediasi PT CPI itu.
“Kami seÂdang upayakan, dan ini kan tiÂdak muÂdah. Ada bebeÂrapa lapis audit dan perhitungan yang harus dilakukan. Kalau suÂdah selesai, segera kami sampÂaiÂkan ke penyidik, jadi sabar saja ya,†ujar Mardiasmo.
Mengenai dugaan keterkaitan pihak Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dan BP Migas daÂlam kasus ini, Andhi Nirwanto meÂnyampaikan, pihaknya masih melakukan penyelidikan. “Yang kita sidik sekarang ini adalah siÂfatnya pengadaan barang dan jasa yang dilakukan Chevron dengan rekanannya dari swasta. AkibatÂnya diduga ada kerugian negara,†ujar Andhi.
Dia menjelaskan, pada prosesÂnya nanti tidak tertutup keÂmungÂkinan akan ada tersangka baru, baik dari pihak Kementerian LingkuÂngan Hidup (KLH), BP Migas, PT CPI. “Nanti lihat hasil evaÂluasi peÂnyidikan, jadi penyiÂdik biar selesai dulu penuntutan, nanti ada evaluasi terus. Nanti sampai di persidangan pun tetap kita awasi. Apa yang terkuak di persidangan itu, akan dikaji lagi dan dikaitkan dengan fakta-fakta penyidik,†ujarnya.
Terkait seorang tersangka yakÂni Alexiat Tirtawijaya yang masih berada di Amerika Serikat, Andhi Nirwanto menyampaikan, pihakÂnya pun tidak tinggal diam.
“Tim penyidik masih aktif untuk koordinasi. Dia berjanji kalau suaminya sudah sembuh, dia akan datang, pokoknya berÂtahap. Jadi, kita jangan jangkau yang susah-susah dulu, kita yang mudah-mudah dulu,†ujarnya.
Berkas para tersangka pun, kata dia, dibuat secara terpisah. Hal itu untuk memudahkan jenis tanggungjawab yang akan dibeÂbanÂkan dan hukuman pada maÂsing-masing tersangka.
“BerÂkasÂnya sendiri-sendiri, bukan seÂkaÂliÂgus tujuh, tiga atau empat. KaÂrena waktunya dan rekanannya beda-beda, kemudian dari pihak CPI-nya juga tangÂgungjawabnya berbeda-beda,†ujar Andhi.
Jika Bisa Diperlambat Untuk Apa Dipercepat
Achmad Basarah, Anggota Komisi III DPR
Anggota Komisi III DPR Achmad Basarah mengingatÂkan, penyelesaian kasus ChevÂron jangan dibuat lama, bila memang sudah cukup bukti, maka segera dilimpahkan ke pengadilan.
“Penyakit birokrasi InÂdoÂneÂsia berupa perilaku ‘jika bisa diÂperlambat untuk apa dipercepat’ tampaknya juga berlaku dalam pengusutan kasus Chevron ini. Kejaksaan Agung sebagai insÂtitusi penegak hukum yang juga bagian dari birokrasi, tampak memperlambat penuntasan peÂnyidikan kasus tersebut,†ujar Achmad Basarah.
Tugas penyidik yang sedang melakukan uji laboratorium, kata politisi PDIP itu, sehaÂrusÂnya dapat dirampungkan dalam waktu dua minggu. “Sudah leÂwat waktu malah belum ramÂpung,†ucapnya.
Di sisi lain, lanjut Basarah, belum dikembangkannya terÂsangka kasus ini dari pihak KeÂmenterian Lingkungan Hidup dan BP Migas menjadi keÂaneÂhan tersendiri.
“Karena tidak mungkin peÂlaku kasus ini hanya dari pihak swasta. Ada dugaan perbuatan tersebut melibatkan pihak lain, terutama pihak penyelenggara negara seperti KLH dan BP MiÂgas,†jelas dia.
Sekali lagi, tegas dia, peÂnaÂngaÂnan kasus ini adalah ujian bagi Kejaksaan Agung. KeÂtidakpercayaan negara terhadap kejaksaan untuk melaksanakan penegakan hukum di bidang korupsi sejak tahun 2002 deÂngan dihadirkannya KPK, sehaÂrusnya menjadi tantangan bagi Kejagung untuk merehabilitasi ketakpercayaan itu.
“Karena itu, sebaiknya keÂjakÂsaan jangan lagi setengah hati, apalagi berusaha bermain api dalam menjalankan tugas peÂneÂgaÂkan hukum di bidang korupsi. Ini termasuk dalam menangani duÂgaan korupsi di lingkungan BP Migas dan KLH dalam kasus Chevron,†ujar Basarah.
Semua Yang Terlibat Mesti Diganjar Hukuman
Sandi Ebeneser Situngkir, Majelis Pertimbangan PBHI
Anggota Majelis PertimÂbaÂngan Perhimpunan Bantuan HuÂkum Indonesia (PBHI) SanÂdi Ebeneser Situngkir meÂnyamÂpaikan, setiap orang atau pihak yang terlibat dalam kasus proÂyek fiktif bioremediasi PT ChevÂron Pasific Indonesia (CPI) harus diganjar hukuman yang setimpal. “Sepanjang itu terkait kerugian negara, pelakuÂnya haÂrus diadili,†ujarnya.
Ketua Majelis Organisasi InÂdonesia Public Services Wacth ini mengingatkan, walaupun peÂrusahaan itu adalah milik asing, seperti Amerika Serikat, bukan berarti tidak diproses huÂkum. Malah, kata dia, pihak Amerika mestinya geram dan menindak tegas perusahaan dari negaranya yang bermasalah hukum di Indonesia.
“Ini perusahaan swasta milik Amerika. Azas hukum tidak memandang kewarÂgaÂneÂgaÂraÂanÂnya dari mana, tapi perÂbuaÂtanÂnya. Seharusnya kejaksaan leÂbih tegas kepada WNA supaya negara lain tidak menganggap reÂmeh hukum Indonesia.â€
Dia mendorong penyidik segera menangkap para pelaku yang terlibat. “Kalau fiktif berÂarti itu pidana, kejaksaan harus secepatnya melakukan penÂangÂkapan terhadap para pelaku,†ujar Sandi.
Menurut KUHAP, lanjut dia, jika penyidik sudah memiliki dua alat bukti yang cukup, seÂhaÂrusnya semua pelaku diÂproses. “Dalam perkara korupsi, jangan melihat pejabat BP MiÂgas dan KLH dapat uang atau tidak. Tapi lihat juga, apakah keÂbijakannya merugikan negara atau tidak,†ujar Sandi. [Harian Rakyat Merdeka]
Populer
Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16
Senin, 22 Desember 2025 | 17:57
Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33
Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10
Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37
Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07
Sabtu, 20 Desember 2025 | 16:35
UPDATE
Kamis, 25 Desember 2025 | 16:04
Kamis, 25 Desember 2025 | 15:20
Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01
Kamis, 25 Desember 2025 | 14:40
Kamis, 25 Desember 2025 | 14:39
Kamis, 25 Desember 2025 | 14:20
Kamis, 25 Desember 2025 | 14:15
Kamis, 25 Desember 2025 | 14:13
Kamis, 25 Desember 2025 | 14:03
Kamis, 25 Desember 2025 | 13:58