PT Chevron Pasific Indonesia (CPI)
PT Chevron Pasific Indonesia (CPI)
RMOL. Sudah satu bulan lebih tak ada perkembangan kasus Chevron. Para pejabat Kejagung tetap berdalih, masih menunggu hasil uji laboratorium. Padahal, uji lab itu sudah mulai digelar pada awal Juni lalu. Ada apa nih...
Sejauh ini, tersangka kasus koÂrupsi proyek pemulihan tanah bekas lahan tambang minyak PT Chevron Pasific Indonesia (CPI) pun hanya dari pihak swasta. Tak seperti perkara korupsi lain yang tersangkanya berasal dari pihak pemerintah dan swasta.
Kejagung belum menyentuh pihak Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dan Badan PelakÂsana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas (BP Migas) dalam dugaan koÂrupsi proyek normalisasi tanah (bioremediasi) fiktif bekas lahan eksplorasi PT CPI.
Jaksa Agung Muda Pidana KhuÂsus Andi Nirwanto beralasan, penyidik masih konsentrasi pada uji laboratorium terhadap sampel tanah bekas lahan eksplorasi dan eksploitasi PT CPI yang diambil dari Riau. “Pihak KLH dan BP Migas untuk sementara masih seÂbagai saksi. Kami masih konÂsenÂtrasi pada pengujian lab, sebab tiÂdak begitu saja sampel dicek langsung jadi,†katanya.
Andi berdalih, masih ada beÂbeÂrapa tahap yang mesti dilalui daÂlam uji laboratorium tersebut. HaÂÂsilnya pun mesti dicek lagi. “KeÂmudian, kami masih harus meÂnunggu hasil uji laboratorium itu dari ahli secara tertulis. TungÂgu saja,†katanya.
Dia menambahkan, jajaran PiÂdana Khusus Kejaksaan Agung tidak berhenti menangani kasus yang diperkirakan merugikan neÂgara Rp 200 miliar ini, sebatas pada keterlibatan tujuh tersangka dari pihak swasta.
Menurut Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Arnold Angkouw, uji laboratorium itu untuk meÂmasÂtikan bahwa pihak PT CPI tidak melakukan proyek rehabilitasi tanah dengan cara bioremediasi.
“Ini sebenarnya wilayah peÂnyiÂdikan, tapi kami ingin transÂparan. Kami undang mereka melihat ahli kami melakukan pengujian itu. Sebab, bioremediasi ini masih terÂmasuk teknologi baru,†ujarnya.
Menurut Arnold, kerugian neÂgaÂra sekitar Rp 200 miliar itu, diÂduga terjadi karena rekomendasi pihak KLH kepada BP Migas sebagai pihak yang mewakili peÂmeÂrintah Republik Indonesia daÂlam kontrak kerja dengan PT CPI, untuk menÂcaÂirkan pembayaran rehabilitasi laÂhan bekas tambang Chevron.
“Pihak KLH yang mereÂkoÂmenÂdasikan agar BP Migas memÂbaÂyar ke Chevron. Tapi, KLH tak meÂÂmiliki alat pengecekan di laÂpaÂngan untuk proyek itu. KLH seÂhaÂÂrusnya meyakini betul bahwa hasil labnya sudah beres, sebelum memberikan rekomendasi,†urai Arnold.
Menurut Arnold, Kejaksaan Agung semula berharap pihak KLH menjadi penengah dalam kasus ini. “Tapi, mereka tidak puÂnya alat dan SDM-nya. Pihak KLH yang menjadi kunci terjaÂdinya kerugian keuangan negara dalam proyek ini,†tandas bekas Kepala Kejaksaan Tinggi SulaÂwesi Utara ini.
Arnold pun berdalih, sebeÂnarÂnya Kejagung sudah memiliki cukup bukti untuk segera memÂbawa kasus ini ke pengadilan. HaÂsil uji lab itu, menurutnya, haÂnya untuk menambah keyakinan penyidik bahwa ada kongÂkaÂlingÂkong di balik proyek biorÂemeÂdiasi ini. “Unsur materiilnya suÂdah kuat. Kami sudah punya alat bukti, prosentasenya 80 persen. Tapi, penyidik harus yakin betul semua proses ini,†ujarnya.
Selain menunggu hasil uji lab, Arnold berharap, dalam waktu dekat Badan Pengawasan KeÂuangan dan Pembangunan (BPKP) mengeluarkan angka kerugian neÂgara dalam kasus ini. Soalnya, mesÂki telah menaksir kerugian negara dalam kasus ini, Kejagung tetap memerlukan hasil audit BPKP unÂtuk memperkuat pembuktian.
Dalam kasus ini, Kejaksaan Agung telah menetapkan tujuh terÂsangka. Lima tersangka dari PT CPI, yaitu Endah Rubiyanti, Widodo, Kukuh, Alexiat TirtaÂwidÂjaja dan Bachtiar Abdul FaÂtah. Dua tersangka lainnya adalah Ricksy Prematuri (Direktur PT Green Planet Indonesia) dan HerÂlan (Direktur PT Sumigita Jaya).
Sejauh ini, para tersangka terÂsebut belum ditahan. Kejaksaan Agung baru sebatas mencegah enam tersangka itu ke luar negeri. Sedangkan tersangka Alexiat sudah keburu berada di Amerika Serikat, dengan alasan menemani suaminya yang sakit di Negeri PaÂman Sam itu.
Berharap Tak Ada Yang Masuk Angin
Marthin Hutabarat, Anggota DPR
Anggota Komisi III DPR Marthin Hutabarat menilai, perÂkara proyek fiktif pemulihan lahan bekas tambang PT ChevÂron Pasific Indonesia (CPI) yang diÂtangani Kejaksaan Agung, adalah kasus besar yang sudah menjadi perhatian publik. LanÂtaÂran itu, dia mewanti-wanti KeÂjagung supaya serius meÂnanganinya.
Dia pun berharap, kasus ini tak hanya heboh pada awalnya. Tapi, ujung-ujungnya, penaÂngaÂnan kasus ini seperti jalan di tempat. Soalnya, para tersangka kasus ini tak kunjung dibawa ke pengadilan. Para tersangkanya pun hanya dari pihak swasta. Tak seperti kasus korupsi lainÂnya, dimana tersangkanya juga dari pihak pemerintah.
Martin menegaskan, KejakÂsaan Agung mesti sangat serius menangani kasus ini secara utuh sampai tuntas. Bila hanya sepotong-sepotong menangani perkara ini, kejaksaan akan diÂnilai masyarakat sebagai lemÂbaga penegak hukum yang tidak berintegritas. “Selain itu, keruÂgian keuangan negara yang suÂdah diungkap Kejaksaan Agung, tidak akan kembali keÂpada neÂgara,†katanya.
Dia pun berharap, tidak ada pimÂpinan Kejaksaan Agung yang “masuk angin†terkait peÂnangan kasus Chevron. Sebab, bila pimpinannya sudah “masuk anginâ€, maka penyidik akan keÂsulitan mengusut kasus ini samÂpai tuntas. Selain itu, bila proÂsesnya tiÂdak transparan, maka KeÂjaÂgung akan semakin tidak diÂpercaya masyarakat. “KPK bisa ambil alih kasus ini.â€
Buktikan Saja Di Pengadilan
Erna Ratna Ningsih, Peneliti KRHN
Peneliti Senior LSM KonÂsorÂsium Reformasi Hukum NaÂsional (KRHN) Erna Ratna NingÂsih menyampaikan, penguÂsutan kasus bioremediasi fiktif ini jangan dibuat bertele-tele.
Pengujian laboratorium yang dilakukan Kejaksaan Agung, kata Erna, jangan sampai memÂbuat proses penyidikan meÂlemÂpem. “Uji laboratorium harus dilakukan ahli yang indeÂpenÂden. Alasan pihak Kejaksaan Agung untuk melibatkan tenaga ahli yang berimbang, dengan mendatangkan ahli dari pihak Chevron kurang tepat,†ujarnya.
Soalnya, menurut Erna, keÂpentingan Kejaksaan Agung adaÂlah membuktikan bahwa Chevron tidak melakukan proÂyek bioremediasi sehingga meÂrugikan keuangan negara. “SeÂharusnya kejaksaan tidak meÂlibatkan ahli dari Chevron, yang justru akan menyulitkan kejaksaan untuk membuktikan kesalahan dari para tersangka,†katanya.
Toh, lanjut Erna, para terÂsangÂka akan diberikan kesemÂpaÂtan melakukan pembelaan diri dengan cara menghadirkan para ahli yang membelanya di peÂrsidangan nanti. “Jadi, keÂsemÂpatannya bukan diberikan pada proses penyidikan, tapi dalam persidangan,†tandasnya.
Dia pun menyayangkan kiÂnerÂja Kejaksaan Agung yang haÂnya menetapkan tersangka dari pihak swasta. Padahal, biaÂsanya, kasus yang mengandung nilai kerugian negara, terÂsangÂkaÂnya dari pihak pemerintah dan swasta. “DaÂlam kasus koÂrupÂsi seperti ini, biasaÂnya ada piÂhak yang meÂnyuap dan disuap.†[Harian Rakyat Merdeka]
Populer
Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16
Senin, 22 Desember 2025 | 17:57
Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33
Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10
Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37
Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07
Sabtu, 20 Desember 2025 | 16:35
UPDATE
Kamis, 25 Desember 2025 | 16:04
Kamis, 25 Desember 2025 | 15:20
Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01
Kamis, 25 Desember 2025 | 14:40
Kamis, 25 Desember 2025 | 14:39
Kamis, 25 Desember 2025 | 14:20
Kamis, 25 Desember 2025 | 14:15
Kamis, 25 Desember 2025 | 14:13
Kamis, 25 Desember 2025 | 14:03
Kamis, 25 Desember 2025 | 13:58