Hotasi Nababan
Hotasi Nababan
RMOL. Setelah hampir satu tahun berstatus tersangka di Kejaksaan Agung, bekas Direktur Utama PT Merpati Nusantara Airlines Hotasi Nababan kemarin menjalani sidang perdana di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.
Sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Pangeran NapiÂtupulu ini, beragenda pembacaan dakwaan terhadap Hotasi, terkait kasus sewa pesawat Boeing 737-400 dan Boeing 737-500 dari Thirdstone Aircraft Leasing Group (TALG USA).
Menurut dakwaan jaksa peÂnuntut umum (JPU) Heru WiÂdarmoko dkk, Hotasi selaku Dirut PT Merpati Nusantara Airlines (MNA) dan direksi lainnya, pada Mei 2006 berencana menambah dua unit pesawat Boeing 737 FaÂmily. Rencana itu ditindaklanjuti General Manager Perencanaan PT MNA Tony Sudjiarto melalui pemaÂsangan iklan di internet (speednews).
Pada 11 Oktober 2006, Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) PT MNA menetapkan Rencana Kerja Anggaran Perusahaan (RKAP) 2006. Dalam RKAP itu ditetapkan kebijakan pengadaan pesawat dan dijabarkan armada yang sedang dioperasikan, mauÂpun rencana pengadaan pesawat. “Walaupun RAKP PT MNA diÂsahkan pada Oktober 2006, proÂses sewa dua unit pesawat, yakni Boeing 737-400 dan Boeing 737-500 telah dimulai pada Mei 2006,†tandas JPU Heru.
Selaku Dirut PT MNA, Hotasi tak melaporkan atau mengajukan perubahan kepada RUPS atas RAKP yang telah disetujui seÂbeÂlumnya, agar sewa dua pesawat itu masuk ke dalam RAKP. MeÂnurut JPU, tindakan itu diketahui Hotasi dan bertentangan dengan Pasal 3 junto Pasal 8 junto LamÂpiran bagian Lain-lain Angka 8 KeÂpuÂtusan Menteri BUMN No.Kep-101/MBU/2002 tentang PenyuÂsuÂnan Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan BUMN. “Tapi, terÂdakwa Hotasi bersama Tony tetap melanjutkan kerjaÂsama dengan piÂhak ketiga, yaitu menyewa dua unit pesawat itu,†ujar Heru.
Selanjutnya, atas penawaran leaÂsing dari PT MNA, TALG USA yang berkantor di WasÂhingÂton DC mengajukan proposal pada 6 Desember 2006. Bulan Mei 2006, terdakwa Tony meÂlaÂkuÂkan pengeÂcekan fisik dan harga berdasarkan informasi dari NaÂveed Sheed, agen PT MNA di AmeÂrika. PeÂsaÂwat Boeing 737-500 MSN 23869 tahun pemÂbuaÂtan 1991, harganya 11.500.000 Dolar AS, sedangkan harga sewanya 150.000 Dolar AS per pesawat.
Tony kemudian membuat keÂsepakatan dengan TALG. Intinya, TALG bersedia membeli dua peÂsawat itu dari Lehman Brothers deÂngan syarat, PT MNA berjanji meÂnyewa pesawat dari TALG. Pada 17 Desember 2006, Tony menerima surat tembusan melalui faks yang dikirim Alan Messner dari TALG kepada Hume & AsÂsociates PC untuk menerima SeÂcurity Deposit dari PT MNA tangÂgal 17, 18 Desember 2006, dan selanjutnya diberikan kuasa penÂdistribusian dana itu secara langÂsung kepada Bristol sebagai uang jaminan pembelian pesawat.
Pada 18 Desember 2006, berÂdasarkan surat dari Hotasi Nababan Nomor: MNA/001/3/5/ADM-460/DZ, Tony menanÂdaÂtaÂngani Lease Agreement SumÂmaÂry of Term (LASOT) di Jakarta dengan Jon Cooper selaku CO dari TALG di Amerika.
Setelah penandatanganan LASOT, Tony membuat Nota DiÂnas Nomor OV/ND/148/XII/2006 kepada Hotasi selaku Dirut, yang ditembuskan kepada seluÂruh Direksi untuk penempatan Security Deposit. “Terdakwa HoÂtasi kemudian meneruskan surat itu kepada Direktur Keuangan dengan memberikan catatan disÂposisi, saya setujui, agar dilaÂkÂsaÂnaÂkan segera,†ujar JPU.
Atas disposisi itu, Corporate Finance Division menyiapkan form Instruksi Direksi (Circular Board) untuk melakukan transfer 1.000.000 Dolar AS, yang ditanÂdatangani masing-masing direksi. “Hotasi selaku Dirut PT MNA, yang mengetahui bahwa uang itu akan digunakan sebagai jaminan pembelian pesawat oleh TALG, tidak memberitahukan kepada anggota direksi lainnya. Dia jusÂtru memberikan persetujuan pemÂbayaran security deposit itu ke Kantor Pengacara Hume & AsÂsociate PC,†jelas JPU.
Akibat pembayaran itu tidak menggunakan instrumen perbanÂkan yang aman, Hotasi didakwa memperkaya orang lain atau suatu korporasi, yaitu TALG atau Hume & Associates PC. Soalnya, pesaÂwat yang disewa itu tak kunjung datang dan uang jaminan tak bisa ditarik, sehingga negara mengaÂlami kerugian sebesar 1 juta dolar AS atau sekitar Rp 9 miliar.
REKA ULANG
Pengacara Hotasi: Ini Perkara Perdata
Kasus sewa pesawat ini terjadi pada 2006. Saat itu, Direksi PT Merpati Nusantara Airlines (MNA) menyewa dua pesawat Boeing 737 dari Thirdstone Aircaft LeasÂsing Group Inc (TALG) di AmeÂrika Serikat, seharga 500 ribu doÂlar AS untuk setiap pesawat.
Tapi, setelah dilakukan pembaÂyaran sebesar satu juta dolar AS ke rekening lawyer yang ditunjuk TALG, yakni Hume & Associates melalui transfer Bank Mandiri, hingga kini pesawat tersebut beÂlum pernah diterima PT MNA.
Menurut Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Jasman Pandjaitan (kini Kepala Kejaksaan Tinggi KaliÂmantan Barat), TALG melanggar kontrak karena tak menyediakan dua pesawat, yakni Boeing 737 seri 400 dan 500 yang dijanjikan seÂbelumnya. Padahal, Merpati teÂlah mentransfer duit jaminan 1 juta dolar AS. Namun, duit yang diÂsetor ke rekening lawyer yang ditunjuk TALG, yakni Hume & Associates melalui transfer Bank Mandiri, tak bisa ditarik kembali.
Menurut Jasman, kebijakan meÂngirim uang ke rekening lawÂyer itulah yang membuat Merpati sulit menarik kembali duit jamiÂnan tersebut. Seharusnya, lanjut dia, duit jaminan disimpan pada lemÂbaga penjamin resmi. MakaÂnya, dia curiga ada keinginan seÂjumlah pihak untuk menyeÂleÂwengÂkan dana itu. “Kenapa seÂolah dipaksaÂkan disimpan di sana,†katanya.
Seusai sidang perdana, kemaÂrin, kuasa hukum bekas Dirut PT MNA Hotasi Nababan, Juniver Girsang menyatakan, sebagai tanda komitmen keseriusan meÂnyewa, PT MNA meletakkan seÂcurity deposit 1.000.000 Dolar AS. “Tapi, pihak TALG tidak meÂmeÂnuhi kewajibannya menyeÂrahÂkan pesawat sesuai perjanjian. Bahkan, TALG tidak mengemÂbalikan Security Deposit itu ke PT MNA,†katanya.
Kemudian, lanjut Juniver, PT MNA mengajukan gugatan perÂdata ke TALG USA melalui peÂngadilan di Amerika Serikat (US District Court of Columbia, WasÂhington DC). Setelah diperiksa dan diadili, katanya, perkara diÂmenangi PT MNA.
Pada 8 Juli 2007, Richard J Leon, hakim pada US District Court of Columbia, Washington DC menandatangani putusan, yakni memenangkan penggugat (PT MNA) terhadap para terguÂgat, yakni TALG dan Allan Messner.
Berdasarkan putusan pengaÂdilan itu, TALG USA dihukum unÂÂtuk mengembalikan security deÂÂposit sebesar 1 juta dolar AS keÂÂpada PT MNA. “Security DeÂpoÂÂsit itu masih tercatat sebaÂgai piÂutang yang belum tertagih dalam pembukuan PT MNA, sehingga belum ada kerugian neÂgara. Tak tepat jika Hotasi diÂdakÂwa melaÂkuÂkan korupsi. Tidak ada sepeser pun yang diterima HoÂtasi,†belanya.
PT MNA pun, kata Juniver, teÂrus berupaya mendapatkan kemÂbali security deposit tersebut, terÂmasuk mengikuti sidang arbitrase pada US Magistrate Judge, US District Court for District Court Columbia, Washington DC yang dipimpin hakim John M Facciola.
Menurutnya, dalam sidang ArÂbitrase tanggal 18 Juli 2008, Jon C Cooper dari pihak TALG USA mengakui telah menerima dan menyalahgunakan uang dari PT MNA untuk kepentingan pribadi, sebesar 810.000 Dolar AS dan sisanya 190.000 Dolar AS diÂsaÂlahÂgunakan Alan Messner.
“Jadi, berdasarkan putusan peÂngaÂdilan di Amerika Serikat itu, permasalahan sewa pesawat oleh PT MNA kepada TALG USA itu adalah perkara perdata, sebab ingÂkar janji atau wanprestasi. BuÂkan perkara pidana. Apalagi tinÂdak pidana korupsi,†klaim Juniver.
Hotasi menambahkan, tidak ada sewa pesawat fiktif atau melanggar hukum dalam kasus ini. “Bahkan, jaksa ikut ke AmeÂrika dan menjadi saksi bahwa pihak TALG yang wanprestasi,†katanya membela diri.
Konsentrasi Jaksa Dan Kejelian Hakim Jadi Faktor Penting
Dasrul Djabar, Anggota Komisi III DPR
Anggota Komisi III DPR Dasrul Djabar menyatakan, dirinya menghormati proses pembuktian perkara korupsi sewa pesawat Boeing ini di PeÂngadilan Tindak Pidana KoÂrupsi Jakarta.
“Tapi, karena sudah masuk ke Pengadilan Tipikor, jaksa jeÂlas harus konsentrasi pada maÂsalah kerugian keuangan neÂgaÂraÂnya. Artinya, mesti suÂdah yaÂkin bahwa dakwaan koÂrupsi itu akan dapat dapat diÂbuktikan di pengadilan,†ujarÂnya, kemarin.
Dengan asumsi seperti itu, menurut Dasrul, semestinya jaksa penuntut umum (JPU) menghadirkan bukti, data dan para saksi yang memberatkan terÂdakwa. Jika JPU tidak melaÂkuÂkan itu, maka akan muncul keÂcurigaan masyarakat, apakah ada sesuatu yang tak beres dalam penanganan kasus ini di kejaksaan.
Dia juga berharap, JPU mengÂgunakan pasal-pasal yang meÂmang efektif untuk menjerat para terdakwa kasus korupsi. “Karena ini Pengadilan Tipikor, jaksa mesti sangat serius memÂbuktikan, memang ada kerugian negara,†tandasnya.
Mencari pasal yang tepat dalam menyusun dakwaan agar bobot dakwaannya tepat, lanjut dia, adalah hal penting yang haÂrus dilakukan jaksa. “Sehingga, terdakwa tidak bisa menghindar atau berkelit dari dakwaan,†tandasnya.
Dasrul menambahkan, kejeÂlian majelis hakim saat mÂeÂmeÂriÂksa saksi-saksi di pengadilan, juga menjadi faktor penting. HaÂkim yang jeli mampu meÂngungkap apa yang sebenarnya terjadi dalam sebuah kasus.
“Hakim juga bisa menelusuri kebenaran melalui pemeriksaan saksi-saksi di pengadilan. Soal terÂbukti atau tidak, tergantung proÂÂses di pengadilan dan putuÂsan majelis hakim,†ujarnya.
Korupsi Atau Perdata Tergantung Pembuktian
Petrus Selestinus, Koordinator Faksi
Koordinator Forum AdÂvoÂkat Pengawal Konstitusi (FakÂsi) Petrus Selestinus meÂnyaÂtakan, terdakwa tentu akan berupaya sekuat tenaga untuk meyakinkan majelis hakim bahwa dirinya tidak bersalah.
Akan tetapi, dia mengiÂngatÂkan, persoalan apakah kasus sewa pesawat ini hanya perkara perdata atau tindak pidana koÂrupsi, sangat bergantung pada proses pembuktian dan putusan majelis hakim Pengadilan TiÂpikor Jakarta.
“Transaksi seperti itu seringÂkali menimbulkan kerugian keÂuangan negara. Tapi tentu, mesÂti dibuktikan, apakah tranÂsaksi dalam kasus sewa peÂsawat ini murni atau tidak,†ujar KoorÂdintor Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) ini, kemarin.
Menurut Petrus, kejaksaan tentu berani membawa kasus ini ke pengadilan karena sudah mengantongi bukti yang kuat. “Kejaksaan tentu sudah punya bukti bahwa itu perkara tindak pidana korupsi. Sebaliknya, bila terdakwa merasa perbuatannya itu bukan korupsi, semestinya sejak awal melakukan upaya perdata,†katanya.
Tapi karena kasus ini telah bergulir di Pengadilan Tipikor, majelis hakimlah yang akan menyimpulkan apakah telah terjadi korupsi atau bukan. “Jaksa dan pihak terdakwa tentu akan berupaya meyakinkan hakim,†ucap dia.
Petrus menambahkan, penyiÂdiÂkan kasus ini yang berjalan hampir satu tahun, semestinya menjadi modal yang kuat bagi kejaksaan untuk meyakinkan majelis hakim.
“Lamanya proÂses penyidikan kasus ini di keÂjaksaan tak boleh sia-sia. Sedangkan hakim, bisa aktif menggali fakta kasus ini, sehingga muncul hal-hal baru,†katanya.
Sehingga, semua proses sejak awal kasus ini terjadi, termasuk siapa saja pihak lain yang terliÂbat, dapat terungkap. “Dalam konteks persidangan, itu harus dikembangkan JPU dan majelis hakim,†tegasnya. [Harian Rakyat Merdeka]
Populer
Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16
Senin, 22 Desember 2025 | 17:57
Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33
Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10
Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37
Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07
Sabtu, 20 Desember 2025 | 16:35
UPDATE
Kamis, 25 Desember 2025 | 16:04
Kamis, 25 Desember 2025 | 15:20
Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01
Kamis, 25 Desember 2025 | 14:40
Kamis, 25 Desember 2025 | 14:39
Kamis, 25 Desember 2025 | 14:20
Kamis, 25 Desember 2025 | 14:15
Kamis, 25 Desember 2025 | 14:13
Kamis, 25 Desember 2025 | 14:03
Kamis, 25 Desember 2025 | 13:58