ilustrasi, polri
ilustrasi, polri
RMOL.Upaya meningkatkan profesionalisme kepolisian menjadi pekerjaan rumah yang sangat pelik. Baru masuk pertengahan tahun saja, sedikitnya sudah terdapat 12.987 personel Polri yang diduga melanggar kode etik profesi maupun pelanggaran hukum.
Kabagpenum Polri Kombes Boy Rafli Amar menegaskan, keÂpolisian berupaya optimal memÂbenahi kinerja kepolisian. BeraÂgam metode pembenahan diÂlakÂsanakan agar tujuan memberi peÂlayanan dan pengayoman pada maÂsyarakat lebih baik. KeÂteÂraÂngan Boy disampaikan menÂjaÂwab pertanyaan seputar tingginya angÂka pelanggaran yang diÂlakukan oknum kepolisian, Jumat (29/6).
Menurutnya, kerja personel kepolisian langsung bersentuhan deÂngan masyarakat. Dengan beÂgitu, peluang munculnya gesekan sangat terbuka. Ketakpuasan atas pelayanan personel inilah yang cenderung memicu peningkatan jumlah laporan dari tahun ke taÂhun. Boy yang dapat promosi keÂnaikan pangkat satu tingkat ini menambahkan, Polri tak meÂnuÂtupi keburukan yang ada. PeninÂdakan terhadap personel yang diduga melanggar aturan pun terus dilakukan.
“Setiap tahun, sedikitnya ada 200-an polisi yang dikenai sanksi pemecatan. Itu menunjukkan bahwasanya kepolisian sangat serius dan berkomitmen dalam membenahi institusi,†tegasnya.
Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane menanggapi terobosan kepolisian dengan dingin. Dia menilai, mesÂki berbagai perubahan dan perÂbaikan dilakukan, namun keluhan publik masih tinggi. Kinerja Polri yang kerap dikeluhkan ini, umumÂnya terkait masalah peÂnyiksaan dan intimidasi dalam menangani perkara.
Hasil penelusurannya menyeÂbutkan, sepanjang 2011 terdapat 97 orang tak bersalah yang kena pelor polisi alias tertembak. Dari jumlah tersebut, 19 tewas dan 78 lainnya luka. “Mereka menjadi korÂban kesewenang-wenangan polisi dalam menggunakan senÂjata api,†ucapnya.
Lalu pada semester pertama tahun 2012, sedikitnya ada 18 kasus penzaliman yang dilakukan polisi dengan melibatkan 34 anggotanya. Delapan dianÂtaraÂnya, tambah dia, adalah kasus saÂlah tembak dan 10 lainnya kasus penyiksaan. “Fungsi kontrol internal tidak berjalan, begitu juga kontrol eksternal.â€
Lebih ironis, personel yang dÂÂiÂduga melakukan keseweÂnaÂngan-wenangan tersebut, justru tak diÂhuÂkum maksimal. MakÂsudÂnya, hukuman berupa pemecatan yang semestinya dijatuhkan, acap berÂgeser menjadi hukuman kaÂrantina saja.
Dia meminta, petinggi keÂpoÂlisian tak lagi melindungi okÂnum kepolisian secara membabi buta. Di sisi lain, pemerintah, DPR dan publik diminta lebih intens dalam membangun lemÂbaga pengawas eksternal.
Di luar itu, ia menilai, total angka 261 jenderal yang ada di kepolisian saat ini membuat organisasi Polri sangat tambun dan tidak lincah. Yang diperlukan kepolisian saat ini adalah memÂperkuat sistem pengawasan dan kordinasi pada anggota di lapaÂngan. Dengan begitu, tingginya laÂporan dugaan pelanggaran oleh personel selama semester perÂtama tahun 2012 yang mencapai angka 12.987, bisa ditekan.
Neta berpendapat, indikasi maÂkin buruknya sikap, perilaku, dan kinerja Polri terlihat dari makin tingÂginya anggota Polri yang diÂpecat. Dia mencatat, tren pemeÂcaÂtan anggota kepolisian cenÂdeÂrung meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2009, kata dia, ada 429 polisi dipecat. Lalu pada 2010 ada 294 polisi yang dipecat.
Pada 2011 jumlahnya naik hampir dua kali lipat, jadi 474 polisi yang dipecat. Pelanggaran yang diidentifikasi itu pun sangat beragam, dari tindak kekerasan hingga terlibat dugaan korupsi.
Dari segi dugaan pelanggaran HAM, Ketua Kontras Haris Azhar menyebutkan, pada kurun 2011-2012, pihaknya menerima laporan masyarakat terkait tindak kekerasan oleh aparat kepolisian. Laporan itu meliputi 14 kasus penyiksaan, 11 kasus penggunaan kekuatan hukum yang berleÂbiÂhan, tujuh kasus pembubaran acaÂra secara damai, 20 kasus peÂnangkapan dan penahanan secara sewenang-wenang, delapan kaÂsus pembiaran tindakan seÂweÂnang-wenang yang dilakukan oleh kelompok tertentu.
Haris pun mendesak Kapolri Jenderal Timur Pradopo agar meÂmastikan kemandirian dan inÂdepedensi Polri dengan melakÂsaÂnaÂkan fungsi kepolisian berÂdaÂsarÂkan konstitusi, mengaplikasiÂkan komitmen Polri dalam keÂbiÂjakan implementatif di lapangan, memÂperbaiki mekanisme akunÂtaÂbilitas internal dengan pengaÂwasan berÂkala dan melakukan evaluasi komÂprehensif. SehingÂga, sanksi dan penghargaan yang diberikan kepada personel keÂpolisian terÂlaksana secara terÂukur.
Reka Ulang
10 Laporan Masuk Setiap Hari
Salah satu tugas komisioner KoÂmisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) adalah mengÂinÂvenÂtarisir laporan seputar saran dan keluhan masyarakat (SKM). “SeÂkurang-kurangnya ada 10 SKM masuk ke Kompolnas setiap hari,†kata Komisioner KomÂpolÂnas Edi Saputra Hasibuan.
Dia menyebut, mekanisme peÂlaporan yang diajukan, beragam. Ada yang disampaikan langsung ke Kompolnas, laporan telepon, melalui surat resmi dan surat elektronik, serta pesan singkat alias SMS.
Digambarkan, data SKM pada 2011 merekam 1536 pengaduan. Dari identifikasi Kompolnas saat itu, polda yang terbanyak dilaÂporkan masyarakat adalah Polda Metro Jaya. Total SKM yang isiÂnya melaporkan oknum Polda MetÂro sebanyak 245. Menyusul seteÂlah itu, Polda Jatim menemÂpati posisi kedua. Jumlah SKM yang menyoal polah tak meÂnyeÂnangkan oknum Polda Jatim seÂbaÂnyak 176. Posisi Polda Sumut menempati ranking ketiga. Pada kurun tersebut, SKM meÂnyangÂkut perilaku buruk oknum Polda Sumut sebanyak 173.
Edi mengaku belum bisa meÂrinci berapa total personel kepoÂliÂsian yang mendapat sanksi pemÂberhentian tidak dengan hormat (PTDH). Dia bilang, tidak ada caÂtatan resmi terkait peninÂdaÂkan yang diambil. Tapi dia meÂmastiÂkan, banyak rekomendasi KomÂpolnas yang disampaikan kepada Polri yang ditindaklanjuti Kapolri Jenderal Timur Pradopo dan jaÂjaÂrannya dengan tindakan tegas.
Dia berharap, komisioner KomÂpolnas kali ini lebih mampu menyelesaikan pengaduan maÂsyaÂrakat secara proporsional. ApaÂlagi, pada semester pertama tahun 2012 ini, jumlah SKM asli (non tembusan) yang diterima Kompolnas mencapai angka 207. “Ini yang sifatnya non tembusan saja. Langsung disampaikan ke Kompolnas dan tengah dalam proses,†jelasnya. Namun, ia belum mau merinci jenis kasus yang dilaporkan.
Dia menggambarkan, kasus terÂbanyak yang diadukan ke KomÂpolnas, terkait masalah peÂnyaÂlahgunaan wewenang, pelaÂyanan yang buruk, diskriminasi atau penanganan perkara yang berat sebelah, serta diskresi atau pengambilan keputusan yang keliru. “Sebanyak 80 persen peÂngaduan itu berisi tentang laporan terhadap personel Polda Metro Jaya dan Mabes Polri.â€
Kemudian, Edi mencatat seÂkuÂrang-kurangnya ada 800 laporan bersifat tembusan yang masuk ke Kompolnas. Tingginya, SKM yang masuk kantong Kompolnas duganya, dipicu tingginya keÂsaÂdaÂran hukum masyarakat serta keÂinginan personel Polri mereÂforÂmasi kepolisian.
Hendaknya Jadi Bahan Refleksi
Andi Rio Idris Padjalangi, Anggota Komisi III DPR
Anggota Komisi III DPR Andi Rio Idris Padjalangi meÂngingatkan, tingginya angka laÂporan mengenai dugaan peÂnyeÂlewengan oleh personel keÂpoÂliÂsian, hendaknya dicermati seÂcara arif dan bijaksana.
Kepolisian yang memasuki usia 66 tahun, lanjut Andi, mesti lebih peka menghadapi setiap gejolak yang muncul di maÂsyaÂrakat. “Tingginya angka laÂpoÂran dugaan penyelewengan oleh personel kepolisian, meÂnunjukkan masyarakat semakin kritis,†ujarnya.
Dinamika itu, kata anggota DPR dari Partai Golkar ini, henÂdaknya dimanfaatkan kepoÂliÂsian untuk lebih proaktif meÂnyiÂkapi ketidakpuasan masyarakat. Menurut dia, laporan mengenai tinÂdakan aparat yang tak proÂfeÂsional itu, hendaknya dijadikan refleksi untuk mengoreksi insÂtitusi secara total.
Dia meÂnamÂbahÂkan, Polri seÂyogÂyanya mamÂpu bertindak obÂyektif dalam menyikapi suatu perkara. Bukan malah terlibat dalam penyelewengan yang memÂbuat citra kepolisian semaÂkin terpuruk di masyarakat.
Contoh-contoh keterlibatan personel kepolisian dalam pelanggaran kode etik maupun pelanggaran hukum, sebaiknya menjadi warning bagi seluruh polisi. “Dari level pimpinan keÂÂpolisian sampai yang terenÂdah,†tegasnya.
Dia pun mewanti-wanti, jaÂngan sampai beragam perkara yang berujung pada penindakan terhadap aparat, terulang dari taÂhun ke tahun. Jika kejadian yang mengandung sanksi huÂkuÂman itu masih berulang, maka daÂpat disimpulkan bahwa kepoÂlisian tidak belajar meÂngÂeÂvaÂluasi diri. Di sini, kemungkinan ada kesalahan dalam mengÂapÂlikasikan aturan yang ada.
Andi menegaskan, idealnya perubahan aspek birokrasi dan kultural di kepolisian tak sekaÂdar angan-angan. “Jangan jadi peÂpesan kosong atau slogan tanpa makna,†imbuhnya.
Kalau reformasi kultural dan biÂrokrasi yang senantiasa dideÂngungkan petinggi-petinggi kepolisian tidak terwujud secara baik, konflik antara masyarakat dengan aparat kepolisian keÂmungÂkinan akan mencuat.
Mesti Proporsional Hadapi Laporan
Marsudhi Hanafi, Purnawirawan Polri
Bekas Ketua Tim Pencari FakÂta (TPF) kasus pembunuhan Munir, Marsudhi Hanafi meÂnyaÂtakan, anggapan makin buÂrukÂnya sikap, perilaku, dan kiÂnerja Polri terlihat dari makin tinggiÂnya jumlah anggota Polri yang dipecat, tidak sepenuhnya benar.
Justru hal tersebut menÂcerÂminkan, perwujudan demokrasi di tubuh kepolisian berjalan seÂcara baik. “Saya tak sependapat dengan penilaian makin tingÂginya laporan dan penindakan kepada personel, menunjukkan makin terpuruknya kepolisian. Justru sebaliknya, itu meÂnunÂjuÂkan bahwa pola-pola reformasi di kepolisian berjalan sesuai deÂngan koridor yang ada,†kata Brigjen (Purn) ini.
Menurutnya, kepolisian tidak perlu merasa terdiskriminasi oleh banyaknya laporan yang maÂsuk. Hal ini, kata dia, henÂdakÂnya bisa menjadi masukan bagi kepolisian dalam mewuÂjudkan reformasi kultural dan reformasi birokrasi. Yang penÂting, setiap laporan tentang peÂnyelewengan oleh oknum keÂpoÂlisian ditangani secara proÂporÂsional, serta ditindak secara profesional.
KeÂpolisian saat ini, menuÂrutÂnya, sudah cukup mengeÂdeÂpanÂkan prinsip transparansi alias keterbukaan. Dari situ, setiap benÂtuk sanksi maupun peninÂdaÂkan, seyogyanya disampaikan keÂpada masyarakat secara utuh. Dia yakin, masyarakat akan meÂresÂpon keterbukaan sikap keÂpolisian ini dengan sikap yang positif.
Diharapkan, munculnya siÂkap positif masyarakat terhadap upaya kepolisian ini akan meÂnumbuhkan rasa kepercayaan masyarakat kepada kepolisian. DeÂngan sendirinya, kerjasama antara masyarakat dengan keÂpolisian pun akan terbina. “Ada kesamaan pandangan antara maÂsyarakat dan kepolisian daÂlam menciptakan rasa aman maupun dalam menyikapi suatu perkara hukum,†ucapnya.
Tapi, katanya, usaha mewuÂjudkan hal tersebut tak bisa diÂlakuÂkan secara cepat. Butuh proÂses panjang, terus-menerus, serta tidak kenal lelah. Lagi-lagi, kata dia, polisi tidak boleh menyerah. Sebagai pelindung dan pengayom masyarakat, polisi hendaknya berada pada garda terdepan dalam melayani masyarakat. [Harian Rakyat Merdeka]
Populer
Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16
Senin, 22 Desember 2025 | 17:57
Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33
Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10
Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37
Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07
Sabtu, 20 Desember 2025 | 16:35
UPDATE
Kamis, 25 Desember 2025 | 16:04
Kamis, 25 Desember 2025 | 15:20
Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01
Kamis, 25 Desember 2025 | 14:40
Kamis, 25 Desember 2025 | 14:39
Kamis, 25 Desember 2025 | 14:20
Kamis, 25 Desember 2025 | 14:15
Kamis, 25 Desember 2025 | 14:13
Kamis, 25 Desember 2025 | 14:03
Kamis, 25 Desember 2025 | 13:58