Wa Ode Nurhayati
Wa Ode Nurhayati
RMOL. Terdakwa kasus suap dana percepatan pembangunan infrastruktur daerah (DPPID) Wa Ode Nurhayati terus “menembak†sana-sini.
Usaha Wa Ode Nurhayati (WON) membela diri dilakukan deÂngan membongkar misteri kode K dan P dalam pembahasan DPPID di DPR. Dia meminta haÂkim mengÂhadirkan unsur pimÂpiÂnan DPR dan pimpinan Badan Anggaran (Banggar) DPR sebaÂgai saksi yang meringankannya.
Akan tetapi, upayanya meÂnyeÂret pimpinan DPR dan pimpinan Banggar DPR, belum bisa berÂjalan mulus. Soalnya, kesaksian terdakwa kasus suap DPPID taÂhun 2011 ini, tak begitu saja diÂteÂrima majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta. Hakim cenderung meÂnerima keberatan jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (JPU KPK).
JPU menilai, susbstansi pemÂbelaan yang diajukan WON tidak relevan. Dengan kata lain, materi pembelaan WON yang menyeret sejumlah politikus Senayan, diÂanggap tidak sesuai pokok perÂkara. Lantaran itu, JPU meminta hakim menolak pembelaan diri terdakwa.
Namun, WON melalui kuasa hukum yang juga kakaknya, Wa Ode Nur Zaenab hingga kemarin tetap berupaya agar keterangan kliennya menjadi bahan untuk menuntaskan perkara ini secara menyeluruh.
Zaenab bersikukuh, perkara korupsi yang membuat adiknya menjadi terdakwa ini, merupakan skenario besar. Dia meÂnyaÂyangÂkan, mengapa penyidik dan JPU KPK tidak menyinggung dugaan keterlibatan pimpinan DPR dan pimpinan Banggar DPR dalam surat dakwaan. Padahal seÂbeÂlumÂnya, kliennya berkali-kali telah menyampaikan hal tersebut keÂpada penyidik. Kesaksian lain pun, seÂbutnya, menyinggung hal senada.
Dia menyayangkan sikap KPK yang tidak tegas meninÂdakÂlanjuti fakta persidangan. MeÂnurutnya, sejak kasus ini maÂsuk persiÂdaÂngan, lembaga superÂbodi itu beÂlum meÂngagendakan peÂmeÂrikÂsaÂan lanÂjuÂtan terhadap elit DPR yang namaÂnya terungÂkap dalam proses peÂnyidikan dan di peÂngadilan.
Dikonfirmasi seputar tudingan WON yang menyebut kode K adalah pimpinan DPR menerima dana Rp 300 miliar, empat wakil ketua DPR dijatah Rp 250 miliar, Ketua DPR Marzuki Ali mengaÂku heÂran. Dia mengatakan, unsur piÂmÂpinan tidak tahu menahu ikhÂwal pembahasan anggaran.
Menurut politisi Partai DeÂmokÂrat ini, aneh apabila ada pengaÂkuan yang menyebutkan, pimÂpiÂnan DPR menerima aliran dana proyek pembahasan suatu angÂgaran. Soalnya, selaku pimpinan DPR, dia tidak pernah terlibat soal pembahasan anggaran. LagiÂpula sesuai aturan, masalah angÂgaran sudah ada yang menangani. “Ketua dan pimpinan DPR tidak bisa ikut campur,†tuturnya.
Lebih jauh, disinggung meÂngeÂnai permintaan kubu WON agar Marzuki dihadirkan di persidaÂngan, ditanggapi dingin. Dia meÂngemukakan, jika pegadilan memÂbutuhkan keterangannya, dia siap memberi penjelasan seÂbaÂtas apa yang diketahuinya.
Diketahui sebelumnya, dalam sidang pembacaan tuntutan, jaksa menuntut WON hukuman penÂjara selama 20 tahun. Terdakwa juga diancam membayar denda maksimal Rp 10 miliar.
Tuntutan ganti rugi diajukan lantaran jaksa menilai, WON secara sengaja menyembunyiÂkan atau meÂnyaÂmarÂkan asal-usul harta kekaÂyaanÂnya sebesar Rp 50.595.979.593,77 di reÂkeÂning no.102-00-0551613-0 Bank Mandiri KCP Jakarta DPR.
Jaksa beranggapan, dana yang terÂparkir di rekening WON seÂnilai Rp 50,5 miliar tersebut, diÂduga diperoleh terdakwa saat melakukan pembahasan angÂgaran proyek DPPID dengan total Rp 7,7 triliun.
KPK Akan Usut Pihak-pihak Lain
Andi W Syahputra, Koordinator LSM Gowa
Koordinator LSM GoverÂment Watch (Gowa) Andi W Syahputra meminta pengusutan kasus mafia anggaran dilaÂkuÂkan secara cermat dan terbuka. JaÂngan sampai, dugaan keterÂlibatan elit politik lainnya di sini tak terungkap atau menguap begitu saja.
“Ini momentum bagus untuk menindaklanjuti kasus mafia anggaran di DPR. Pintu masuk ini hendaknya tidak disia-siaÂkan,†tandasnya, kemarin.
Penegak hukum yang berÂkomÂpeten mengusut kasus ini, idealnya menjadikan fakta perÂsidangan sebagai input untuk menyelesaikan perkara tesebut. Namun di lain sisi, ia mengÂiÂngatÂÂkan, pengusutan kasus ini tak bisa dilakukan sembaraÂngan. Jangan sampai, informasi awal yang berkembang di perÂsidangan justru menjadi alat unÂtuk menyerang harkat dan martabat orang lain.
“Apalagi ini menyangkut pimÂpinan DPR, mekanisme peÂmeriksaannya tak bisa semÂbaÂraÂngan. Tuduhannya harus diikuÂti bukti-bukti yang jelas,†katanya.
Kendala teknis seputar pemeÂriksaan pimpinan DPR itu, henÂdaknya disikapi secara proÂfeÂsioÂnal. Dia percaya, penyidik KPK mempunyai teknik tersendiri daÂlam mengungkap dugaan maÂfia anggaran di DPR. Seperti kaÂsus korupsi pengadaan pemaÂdam keÂbaÂkaran (damkar) yang akÂhirnya menyentuh keÂterÂliÂbaÂtan Hari Sabarno, Menteri DaÂlam NeÂgeri saat pengadaan itu dilakukan.
Kalaupun saat ini kasus perÂmainan anggaran tersebut baru menyeret Wa Ode Nurhayati dan koleganya, dia optimis bahÂwa KPK tetap mencermati duÂgaan keterlibatan pihak lainnya. Dia pun meminta DPR meneÂluÂsuri dugaan penyelewengan angÂgotanya melalui Badan KeÂhormatan (BK) hendaknya diÂoptimalkan juga.
Minta Wa Ode Sertakan Bukti
Nudirman Munir, Anggota Komisi III DPR
Anggota Komisi III DPR Nudirman Munir meminta Wa Ode Nurhayati tak sekadar meÂnuÂduh, tapi juga menyerÂtakan bukti-bukti. Jika tidak, buah dari tuduhan tersebut akan berÂbalik menyerang Wa Ode.
Bekas Wakil Ketua Badan KeÂhormatan (BK) DPR ini meÂngingatkan, seluruh anggota dan pimpinan DPR taat azas huÂkum. Dengan begitu, tak ada alaÂsan untuk menghindar dari tanggungjawab hukum. “PrinÂsipnya, semua warga negara sama kedudukannya dalam hukum,†katanya.
Dia berpandangan, seluruh persoalan menyangkut Wa Ode suÂdah ditangani penegak huÂkum. Dengan begitu, DPR menghormati proses hukum yang berjalan.
Kalaupun dalam persidaÂngan mencuat nama-nama yang diduga terkait maÂsalah tersebut, hal itu meruÂpaÂkan hal yang umum dalam upaÂya menÂcari keadilan.
Karena itu, hakim di sini meÂmiliki peran paling pokok. Dia menyebut, hakim punya otoritas mutlak dalam menentukan arah persidangan. Bila merasa perlu memanggil orang yang disebut terdakwa, pasti hal itu dilakuÂkan berdasarkan pertimbangan hukum. Bukan berdasarkan pada aspek lain.
Lebih jauh, dia mengÂhaÂrapÂkan pengungkapan fakta di perÂsidangan kasus ini berjalan seÂlaÂyaknya. Dengan begitu, apa-apa yang menjadi keberatan terdakwa maupun fakta-fakta yang terungkap di sidang akan terbuka secara gamblang. Dari situ tentunya, hakim akan bisa memutus perkara secara proÂporsional. [Harian Rakyat Merdeka]
Populer
Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16
Senin, 22 Desember 2025 | 17:57
Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33
Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10
Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37
Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07
Sabtu, 20 Desember 2025 | 16:35
UPDATE
Kamis, 25 Desember 2025 | 16:04
Kamis, 25 Desember 2025 | 15:20
Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01
Kamis, 25 Desember 2025 | 14:40
Kamis, 25 Desember 2025 | 14:39
Kamis, 25 Desember 2025 | 14:20
Kamis, 25 Desember 2025 | 14:15
Kamis, 25 Desember 2025 | 14:13
Kamis, 25 Desember 2025 | 14:03
Kamis, 25 Desember 2025 | 13:58