Sherny Kojongian
Sherny Kojongian
RMOL. Selama 10 tahun buron, Sherny Kojongian, terpidana kasus korupsi Bank BHS sebesar Rp 1,95 triliun, diduga lama ngumpet di Belanda. Polisi masih membidik satu buron lain dalam kasus ini, Eko Edy Putranto.
Nama Sherny resmi masuk daftar pencarian orang (DPO) keÂpolisian internasional (Interpol) pada 2002. Saat itu, Majelis HaÂkim Pengadilan Negeri Jakarta PuÂsat menjatuhkan hukuman 20 taÂhun penjara bagi Sherny dalam sidang in absentia (tanpa kehaÂdiÂran terdakwa). Sidang in absentia digelar lantaran Sherny sudah leÂbih dulu kabur ke luar negeri seÂteÂlah berstatus tersangka.
Polri melalui Sekretariat InterÂpol Indonesia mengirim red noÂtice ke Interpol Pusat di Lyon, Swiss. Isinya, meminta bantuan agar tiga buron kasus BHS diÂtangÂkap. Ketiga buronan itu adaÂlah Hendra Rahardja, Eko Edy Putranto dan Sherny Kojongian. Tujuh tahun berselang, tepatÂnya pada 2009, Interpol Amerika SeÂrikat menginformasikan bahwa Sherny berada di Negeri Paman Sam. Tapi, Hendra telah meÂningÂgal di Australia.
Kepala Bagian Penerangan Umum Kombes Boy Rafli Amar memastikan, selama di Amerika, Sherny berada di San Francisco. Sejak posisi Sherny dilaporkan Interpol Amerika, utusan Polri di AS pun berupaya mengawasi pergerakan buronan kasus BLBI Bank Harapan Sentosa (BHS) itu. Untuk melokalisir pergerakan buÂronan, liasion officer (LO) Polri di Amerika berkoordinasi dengan otoritas Amerika.
Pemulangan Sherny ke IndoÂnesia akan dilaksanakan pada 11 Juni 2012 dari San Francisco. SeÂtiba di Jakarta pada 13 Juni menÂdatang, Sherny akan diserahkan ke Kejaksaan Agung. Boy meÂnyeÂbutÂkan, pada teknis deportasi ini, otoÂritas Amerika akan meÂnyeÂrahkan buronan ke pihak InÂdoÂnesia di BanÂdara San FranÂsisÂco. Lebih lanÂjut, buronan itu akan dibawa puÂlang oleh utusan Indonesia.
Bekas Kabidhumas Polda MetÂro Jaya itu tak menyebutkan, neÂgaÂra mana saja yang selama ini diÂsinggahi buronan tersebut. Dia juga belum bisa menerangkan baÂgaimana nasib Eko Edy PutÂranto, satu buron lain yang terÂkait kasus ini.
Sumber di Mabes Polri menyeÂbutkan, pergerakan Sherny ke Amerika Serikat diidentifikasi pada 2009. Namun, dia tak meÂngetahui alasan buronan tersebut memutuskan pindah lokasi perÂsembunyian ke AS.
Menurutnya, informasi tentang pelarian Sherny dari Interpol meÂnyebutkan, sejak kabur dari IndoÂnesia, buronan itu langsung maÂsuk daratan Eropa. Saat berada di Belanda, kata dia, Sherny tak bisa disentuh karena tak ada perÂjanÂjian ekstradisi antara Indonesia dengan Negeri Oranye itu. BuÂroÂnan ini sempat lama ngendon di Belanda. Lalu bergeser ke Amerika Serikat.
Sherny termasuk buronan yang licin. Pasalnya, dia berhasil meÂmaÂnfaatkan momentum untuk meninggalkan Indonesia sebelum berstatus tersangka, atau sebelum dicegah ke luar negeri. “SeÂhingÂga, dia bisa mudah melarikan diri ke luar negeri,†katanya.
Untuk kepentingan deportasi, otoritas keamanan Amerika suÂdah menyita paspor, viskal dan doÂkumen keimigrasian atas nama Sherny.
Seperti dikutip dari situs KejaÂgung, kasus BHS ini terjadi pada 1992-1996. Sherny, berÂsaÂma HenÂdra Raharja dan Eko Edi Putranto telah memberikan perÂseÂtujuan kredit kepada 6 peruÂsaÂhaan grup sendiri. Saat itu Sherny menjadi Direktur Kredit/HRD/Treasury.
Selain pemberian kredit kepÂaÂda perusahaan grup, para terpÂiÂdana juga memberikan perÂseÂtuÂjuÂan untuk memberikan kredit keÂpada 28 lembaga pembiayaan yang ternyata merupakan rekayasa.
Karena kredit tersebut oleh lemÂbaga pembiayaan disalurkan keÂpada perusahaan grup, dengan cara dialihkan atau disalurkan meÂlÂalui penerbitan giro tanpa meÂlalui proses administrasi kredit dan tidak dicatat atau dibukukan, yang selanjutnya beban peÂmÂbaÂyaÂran lembaga pembiayaan keÂpada PT BHS dihilangkan.
Terhadap fasilitas over draft yang telah diberikan PT BHS, Bank Indonesia telah meÂngeÂluarÂkan surat yang ditujukan kepada Direksi PT BHS No. 30/1105/UPB2/AdB2 tanggal 2 SepÂtemÂber 1997; No. 30/1252/UPB2/AdB2 tanggal 18 September 1997 dan No. 30/1505/UPB2/AdB2 tqnggal 20 Oktober 1997, yang pada poÂkokÂnya berisi agar Direksi PT BHS menghentikan peÂnyaluran kredit kepada DirekÂtur terkait. NaÂmun, larangan itu tiÂdak ditaati terÂpidana Sherny yang memÂbeÂrikan persetujuan penarikan dana oleh pihak terkait.
REKA ULANG
Dua Direksi Minta Loan Committee
Jaksa penuntut umum Andi Rachman Asbar menyatakan puas atas putusan majelis hakim pimÂpinan Subardi yang mengÂhuÂkum Komisaris Utama Bank HaÂrapan Sentosa (BHS), Hendra RaÂhardja seumur hidup di PeÂngaÂdilan Negeri Jakarta Pusat, Jumat 22 Maret 2002.
“Sangat puas, sesuai dengan tunÂtutan, persis sampai kepada perÂtimbangan-pertimbangan huÂkumÂnya,†kata Asbar seusai sidang.
Hendra dinyatakan terbukti meÂlÂakukan tindak pidana korupsi dalam penyalahgunaan dana Bantuan Likuiditas Bank IndoÂneÂsia (BLBI) pada BHS secara berÂsama-sama dengan Eko Edi PutÂranto, 34 tahun, bekas Komisaris BHS, dan Sherny Kojongian, 38 tahun, bekas Direktur Kredit dan Treasury BHS, yang merugikan negara sebesar Rp 305 miliar plus 2,3 juta Dolar Amerika Serikat.
Hukuman yang sama dengan tuntutan, dijatuhkan terhadap Eko dan Sherny. Terhadap keduanya, majelis hakim menjatuhkan huÂkuman 20 tahun penjara. Majelis hakim juga menghukum para terÂdakwa secara tanggung renteng untuk membayar uang pengganti seÂbesar Rp 1,95 triliun.
Diketahui, dua direksi BHS itu diduga meminta loan committee untuk menyalurkan kredit kepada anak perusahaan grup BHS. PeruÂsahaan-perusahaan grup tersebut adalah PT Setio Harto Jaya BuilÂding, PT Inti Bangun Adhi PraÂtaÂma, PT Artha Buana Sakti atau PT Prasetya Pertiwi, PT Eka SapÂta DirÂgantara, PT Gaya Wahana AbaÂdi SakÂti dan PT Bintang SaÂrana Sukses.
Kredit yang seluruhnya sebesar Rp 305 miliar plus 2,3 juta dolar AS tersebut, diambil dari fasilitas BLBI yang diberikan kepada PT BHS menyusul krisis moneter taÂhun 1997. Namun, kredit itu tiÂdak dipergunakan secara benar. Justru, kredit dibelikan 85 bidang tanah di Bali, Jakarta, Makassar, dan Yogyakarta, dengan mengÂguÂnakan nama dia, perusahaan miÂlikÂnya, dan keluarga. Akibatnya, BHS mengalami kesulitan likuiÂdiÂtas dan rugi Rp 50 miliar per bulan, karena kredit itu menjadi macet.
Lalu, Bank Indonesia (BI) memÂberikan bantuan likuiditas. SeÂjak awal tahun 1997 sampai OkÂtober 1997, jumlahnya Rp 1,578 triliun. Tetapi, sampai 1 November 1997, ketika BHS dilikuidasi, dana itu dan bunganya tidak bisa dikemÂbaliÂkan. Pada 1 November 1997, BHS dilikuidasi. Kemudian BHS menerima suntikan dana BLBI seÂbesar Rp 3,866 triliun. Dana BLBI tersebut seharusnya diguÂnaÂÂkan untuk membayar peÂnaÂriÂkan dana para nasabah umum, karena PT BHS tidak memiliki dana lagi.
Dalam putusannya, majelis haÂkim juga memerintahkan barang bukti berupa tanah dan bangunan, serta barang bukti pengganti beÂruÂpa hasil lelang barang bukti seÂnilai Rp 13,5 miliar dirampas unÂtuk negara. Sedangkan yang beÂrupa dokumen asli dikembalikan kepada Bank Indonesia.
Ada Kesan Pilih-pilih Buronan
Taslim Chaniago, Anggota Komisi III DPR
Anggota Komisi III DPR Taslim Chaniago menilai, langÂkah kepolisian memulangkan buronan kasus korupsi ke Tanah Air perlu diintensifkan. Karena itu, mekanisme pemulangan buÂÂronan dari luar negeri henÂdakÂnya dipayungi aturan huÂkum yang jelas dan konkret. “JaÂngan sampai pemulangan para buronan itu terkesan pilih-pilih,†katanya.
Langkah kepolisian dan otoÂritas penegak hukum Indonesia, hendaknya terpadu dan simulÂtan. Dengan begitu, siapapun buronan yang diburu akan dapat perlakuan sama.
Dia menyeÂbutÂkan, kinerja para utusan keÂpoÂlisian di luar neÂgeri seyogyanya diintenÂsifÂkan. Sehingga, keÂbunÂtuan inÂforÂmasi tentang keÂberaÂdaan para buron seperti yang terÂjadi seÂlaÂma ini dapat dihindari.
“Seringkali Interpol Polri tiÂdak mengetahui kemana buÂroÂnan suatu kasus besar pergi atau bersembunyi,†tandasnya. Hal itu menunjukkan masih adanya kelemahan utusan Polri mauÂpun jajaran intelijen kepolisian dan otoritas penegak hukum lainnya dalam membina huÂbungan dengan penegak hukum negara lain.
Padahal, sambungnya, selaÂma ini upaya meningkatkan kerÂjasama dengan otoritas penegak hukum negara lain selalu dilÂaÂkuÂkan. Jadi dengan kata lain, performa personel kepolisian maÂsih perlu perbaikan di sana-sini.
Selain kemampuan lobi tingÂkat tinggi, hendaknya, peÂrÂwaÂkiÂlan-perwakilan Polri di luar neÂgeri menguasai seluk-beluk atuÂran hukum yang ada. Dengan beÂgitu, kendala pemulangan para buronan yang kerap terÂganÂjal ekstradisi, bisa diantisipasi.
Lebih bagus lagi, pemulaÂngan para buronan itu pun diÂikuÂti upaya penyitaan aset. Dari situ, yakin dia, nantinya kepoÂliÂsian akan mendapat apresiasi masyarakat. Yang paling penÂting, kepolisian bisa mengÂhinÂdari asumsi bahwa selama ini terÂkesan pilih-pilih dalam meÂnangÂkap buronan kakap.
Kerja Sama Antar Pemerintah Dengan Polisi
Ito Sumardi, Bekas Kabareskrim Polri
Bekas Kepala Bareskrim PolÂri Komjen (Purn) Ito Sumardi menyatakan, ganjalan belum adanya perjanjian ekstradisi, bisa diminimalisir lewat meÂkanisme police to police atau P to P antar negara.
Mekanisme tersebut meruÂpaÂkan salah satu teknik pemuÂlaÂngan buronan ke Tanah Air. “Saya sudah mencoba teknis P to P itu. Itu dilakukan mengiÂngat belum adanya perjanjian ekstradisi dengan beberapa neÂgara,†katanya.
Pendekatan P to P itu, menuÂrut dia, prinsipnya tidak jauh deÂngan koordinasi kepolisian inÂternasional (Interpol). HaÂsilÂnya cukup efektif untuk meÂngeÂtahui sasaran alias buronan yang dicari. Dalam teknik ini, PolÂri dituntut untuk lebih intenÂsif melakukan pendekatan keÂpaÂda kepolisian negara lain.
Biasanya, pendekatan P to P menghasilkan upaya deportasi terhadap buronan yang dicari. “Beberapa kasus deportasi yang saya tangani berawal dari P to P,†ucapnya.
Menurutnya, langkah Polri membawa pulang Sherny KoÂjoÂÂngian tidak lepas dari cara terÂÂseÂbut. Artinya, selain pendeÂkatan antar pemerintah (G to G), pendekatan P to P juga puÂnya andil.
Bentuk andil itu antara lain daÂpat dilihat dari teknis deporÂtasi. Pada pemulangan buronan kali ini, kepolisian dan otoritas Amerika akan menyerahkan buÂronan tersebut kepada Liassion Officer Polri Brigjen Arif W di sana. Dari situ, kata dia lagi, benÂtuk P to P terlihat sangat jelas.
Karenanya ke depan, teknis P to P ini dirasakan perlu pengemÂbangan yang signifikan. PemeÂrinÂtah di sini diharapkan mau mendukung langkah kepolisian. Apalagi, lanjut dia, sampai saat ini masih banyak DPO IndoÂneÂsia di luar negeri. [Harian Rakyat Merdeka]
Populer
Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16
Senin, 22 Desember 2025 | 17:57
Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33
Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10
Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37
Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07
Sabtu, 20 Desember 2025 | 16:35
UPDATE
Kamis, 25 Desember 2025 | 16:04
Kamis, 25 Desember 2025 | 15:20
Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01
Kamis, 25 Desember 2025 | 14:40
Kamis, 25 Desember 2025 | 14:39
Kamis, 25 Desember 2025 | 14:20
Kamis, 25 Desember 2025 | 14:15
Kamis, 25 Desember 2025 | 14:13
Kamis, 25 Desember 2025 | 14:03
Kamis, 25 Desember 2025 | 13:58