Berita

Sherny Kojongian

X-Files

Interpol Masih Utang Bekuk Kasus Korupsi Bank BHS

MINGGU, 10 JUNI 2012 | 09:56 WIB

RMOL. Selama 10 tahun buron, Sherny Kojongian, terpidana kasus korupsi Bank BHS sebesar Rp 1,95 triliun, diduga lama ngumpet di Belanda. Polisi masih membidik satu buron lain dalam kasus ini, Eko Edy Putranto.

Nama Sherny resmi masuk daftar pencarian orang (DPO) ke­polisian internasional (Interpol) pada 2002. Saat itu, Majelis Ha­kim Pengadilan Negeri Jakarta Pu­sat menjatuhkan hukuman 20 ta­hun penjara bagi Sherny dalam sidang in absentia (tanpa keha­di­ran terdakwa). Sidang in absentia digelar lantaran Sherny sudah le­bih dulu kabur ke luar negeri se­te­lah berstatus tersangka.

Polri melalui Sekretariat Inter­pol Indonesia mengirim red no­tice ke Interpol Pusat di Lyon, Swiss. Isinya, meminta bantuan agar tiga buron kasus BHS di­tang­kap. Ketiga buronan itu ada­lah Hendra Rahardja, Eko Edy Putranto dan Sherny Kojongian. Tujuh tahun berselang, tepat­nya pada 2009, Interpol Amerika Se­rikat menginformasikan bahwa Sherny berada di Negeri Paman Sam. Tapi, Hendra telah me­ning­gal di Australia.

Kepala Bagian Penerangan Umum Kombes Boy Rafli Amar memastikan, selama di Amerika, Sherny berada di San Francisco. Sejak posisi Sherny dilaporkan Interpol Amerika, utusan Polri di AS pun berupaya mengawasi pergerakan buronan kasus BLBI Bank Harapan Sentosa (BHS) itu. Untuk melokalisir pergerakan bu­ronan, liasion officer (LO) Polri di Amerika berkoordinasi dengan otoritas Amerika.

Pemulangan Sherny ke Indo­nesia akan dilaksanakan pada 11 Juni 2012 dari San Francisco. Se­tiba di Jakarta pada 13 Juni men­datang, Sherny akan diserahkan ke Kejaksaan Agung. Boy me­nye­but­kan, pada teknis deportasi ini, oto­ritas Amerika akan me­nye­rahkan buronan ke pihak In­do­nesia di Ban­dara San Fran­sis­co. Lebih lan­jut, buronan itu akan dibawa pu­lang oleh utusan Indonesia.

Bekas Kabidhumas Polda Met­ro Jaya itu tak menyebutkan, ne­ga­ra mana saja yang selama ini di­singgahi buronan tersebut. Dia juga belum bisa menerangkan ba­gaimana nasib Eko Edy Put­ranto, satu buron lain yang ter­kait kasus ini.

Sumber di Mabes Polri menye­butkan, pergerakan Sherny ke Amerika Serikat diidentifikasi pada 2009. Namun, dia tak me­ngetahui alasan buronan tersebut memutuskan pindah lokasi per­sembunyian ke AS.

Menurutnya, informasi tentang pelarian Sherny dari Interpol me­nyebutkan, sejak kabur dari Indo­nesia, buronan itu langsung ma­suk daratan Eropa. Saat berada di Belanda, kata dia, Sherny tak bisa disentuh karena tak ada per­jan­jian ekstradisi antara Indonesia dengan Negeri Oranye itu. Bu­ro­nan ini sempat lama ngendon di Belanda. Lalu bergeser ke Amerika Serikat.

Sherny termasuk buronan yang licin. Pasalnya, dia berhasil me­ma­nfaatkan momentum untuk meninggalkan Indonesia sebelum berstatus tersangka, atau sebelum dicegah ke luar negeri. “Se­hing­ga, dia bisa mudah melarikan diri ke luar negeri,” katanya.

Untuk kepentingan deportasi, otoritas keamanan Amerika su­dah menyita paspor, viskal dan do­kumen keimigrasian atas nama Sherny.

Seperti dikutip dari situs Keja­gung, kasus BHS ini terjadi pada 1992-1996. Sherny, ber­sa­ma Hen­dra Raharja dan Eko Edi Putranto telah memberikan per­se­tujuan kredit kepada 6 peru­sa­haan grup sendiri. Saat itu Sherny menjadi Direktur Kredit/HRD/Treasury.

Selain pemberian kredit kep­a­da perusahaan grup, para terp­i­dana juga memberikan per­se­tu­ju­an untuk memberikan kredit ke­pada 28 lembaga pembiayaan yang ternyata merupakan rekayasa.

Karena kredit tersebut oleh lem­baga pembiayaan disalurkan ke­pada perusahaan grup, dengan cara dialihkan atau disalurkan me­l­alui penerbitan giro tanpa me­lalui proses administrasi kredit dan tidak dicatat atau dibukukan, yang selanjutnya beban pe­m­ba­ya­ran lembaga pembiayaan ke­pada PT BHS dihilangkan.

Terhadap fasilitas over draft yang telah diberikan PT BHS, Bank Indonesia telah me­nge­luar­kan surat yang ditujukan kepada Direksi PT BHS No. 30/1105/UPB2/AdB2 tanggal 2 Sep­tem­ber 1997; No. 30/1252/UPB2/AdB2 tanggal 18 September 1997 dan No. 30/1505/UPB2/AdB2 tqnggal 20 Oktober 1997, yang pada po­kok­nya berisi agar Direksi PT BHS menghentikan pe­nyaluran kredit kepada Direk­tur terkait. Na­mun, larangan itu ti­dak ditaati ter­pidana Sherny yang mem­be­rikan persetujuan penarikan dana oleh pihak terkait.

REKA ULANG

Dua Direksi Minta Loan Committee

Jaksa penuntut umum Andi Rachman Asbar menyatakan puas atas putusan majelis hakim pim­pinan Subardi yang meng­hu­kum Komisaris Utama Bank Ha­rapan Sentosa (BHS), Hendra Ra­hardja seumur hidup di Pe­nga­dilan Negeri Jakarta Pusat, Jumat 22 Maret 2002.

“Sangat puas, sesuai dengan tun­tutan, persis sampai kepada per­timbangan-pertimbangan hu­kum­nya,” kata Asbar seusai sidang.

Hendra dinyatakan terbukti me­l­akukan tindak pidana korupsi dalam penyalahgunaan dana Bantuan Likuiditas Bank Indo­ne­sia (BLBI) pada BHS secara ber­sama-sama dengan Eko Edi Put­ranto, 34 tahun, bekas Komisaris BHS, dan Sherny Kojongian, 38 tahun, bekas Direktur Kredit dan Treasury BHS, yang merugikan negara sebesar Rp 305 miliar plus 2,3 juta Dolar Amerika Serikat.

Hukuman yang sama dengan tuntutan, dijatuhkan terhadap Eko dan Sherny. Terhadap keduanya, majelis hakim menjatuhkan hu­kuman 20 tahun penjara. Majelis hakim juga menghukum para ter­dakwa secara tanggung renteng untuk membayar uang pengganti se­besar Rp 1,95 triliun.

Diketahui, dua direksi BHS itu diduga meminta loan committee untuk menyalurkan kredit kepada anak perusahaan grup BHS. Peru­sahaan-perusahaan grup tersebut adalah PT Setio Harto Jaya Buil­ding, PT Inti Bangun Adhi Pra­ta­ma, PT Artha Buana Sakti atau PT Prasetya Pertiwi, PT Eka Sap­ta Dir­gantara, PT Gaya Wahana Aba­di Sak­ti dan PT Bintang Sa­rana Sukses.

Kredit yang seluruhnya sebesar Rp 305 miliar plus 2,3 juta dolar AS tersebut, diambil dari fasilitas BLBI yang diberikan kepada PT BHS menyusul krisis moneter ta­hun 1997.  Namun, kredit itu ti­dak dipergunakan secara benar. Justru, kredit dibelikan 85 bidang tanah di Bali, Jakarta, Makassar, dan Yogyakarta, dengan meng­gu­nakan nama dia, perusahaan mi­lik­nya, dan keluarga. Akibatnya, BHS mengalami kesulitan likui­di­tas dan rugi Rp 50 miliar per bulan, karena kredit itu menjadi macet.

Lalu, Bank Indonesia (BI) mem­berikan bantuan likuiditas. Se­jak awal tahun 1997 sampai Ok­tober 1997, jumlahnya Rp 1,578 triliun. Tetapi, sampai 1 November 1997, ketika BHS dilikuidasi, dana itu dan bunganya tidak bisa dikem­bali­kan. Pada 1 November 1997, BHS dilikuidasi. Kemudian BHS menerima suntikan dana BLBI se­besar Rp 3,866 triliun. Dana BLBI tersebut seharusnya digu­na­­kan untuk membayar pe­na­ri­kan dana para nasabah umum, karena PT BHS tidak memiliki dana lagi.

Dalam putusannya, majelis ha­kim juga memerintahkan barang bukti berupa tanah dan bangunan, serta barang bukti pengganti be­ru­pa hasil lelang barang bukti se­nilai Rp 13,5 miliar dirampas un­tuk negara. Sedangkan yang be­rupa dokumen asli dikembalikan kepada Bank Indonesia.

Ada Kesan Pilih-pilih Buronan

Taslim Chaniago, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Taslim Chaniago menilai, lang­kah kepolisian memulangkan buronan kasus korupsi ke Tanah Air perlu diintensifkan. Karena itu, mekanisme pemulangan bu­­ronan dari luar negeri hen­dak­nya dipayungi aturan hu­kum yang jelas dan konkret. “Ja­ngan sampai pemulangan para buronan itu terkesan pilih-pilih,” katanya.

Langkah kepolisian dan oto­ritas penegak hukum Indonesia, hendaknya terpadu dan simul­tan. Dengan begitu, siapapun buronan yang diburu akan dapat perlakuan sama.

Dia menye­but­kan, kinerja para utusan ke­po­lisian di luar ne­geri seyogyanya diinten­sif­kan. Sehingga, ke­bun­tuan in­for­masi tentang ke­bera­daan para buron seperti yang ter­jadi se­la­ma ini dapat dihindari.

“Seringkali Interpol Polri ti­dak mengetahui kemana bu­ro­nan suatu kasus besar pergi atau bersembunyi,” tandasnya. Hal itu menunjukkan masih adanya kelemahan utusan Polri mau­pun jajaran intelijen kepolisian dan otoritas penegak hukum lainnya dalam membina hu­bungan dengan penegak hukum negara lain.

Padahal, sambungnya, sela­ma ini upaya meningkatkan ker­jasama dengan otoritas penegak hukum negara lain selalu dil­a­ku­kan. Jadi dengan kata lain, performa personel kepolisian ma­sih perlu perbaikan di sana-sini.

Selain kemampuan lobi ting­kat tinggi, hendaknya, pe­r­wa­ki­lan-perwakilan Polri di luar ne­geri menguasai seluk-beluk atu­ran hukum yang ada. Dengan be­gitu, kendala pemulangan para buronan yang kerap ter­gan­jal ekstradisi, bisa diantisipasi.

Lebih bagus lagi, pemula­ngan para buronan itu pun di­iku­ti upaya penyitaan aset. Dari situ, yakin dia, nantinya kepo­li­sian akan mendapat apresiasi masyarakat. Yang paling pen­ting, kepolisian bisa meng­hin­dari asumsi bahwa selama ini ter­kesan pilih-pilih dalam me­nang­kap buronan kakap.

Kerja Sama Antar Pemerintah Dengan Polisi

Ito Sumardi, Bekas Kabareskrim Polri

Bekas Kepala Bareskrim Pol­ri Komjen (Purn) Ito Sumardi menyatakan, ganjalan belum adanya perjanjian ekstradisi, bisa diminimalisir lewat me­kanisme police to police atau P to P antar negara.

Mekanisme tersebut meru­pa­kan salah satu teknik pemu­la­ngan buronan ke Tanah Air. “Saya sudah mencoba teknis P to P itu. Itu dilakukan mengi­ngat belum adanya perjanjian ekstradisi dengan beberapa ne­gara,” katanya.

Pendekatan P to P itu, menu­rut dia, prinsipnya tidak jauh de­ngan koordinasi kepolisian in­ternasional (Interpol). Ha­sil­nya cukup efektif untuk me­nge­tahui sasaran alias buronan yang dicari. Dalam teknik ini, Pol­ri dituntut untuk lebih inten­sif melakukan pendekatan ke­pa­da kepolisian negara lain.

Biasanya, pendekatan P to P menghasilkan upaya deportasi terhadap buronan yang dicari. “Beberapa kasus deportasi yang saya tangani berawal dari P to P,” ucapnya.

Menurutnya, langkah Polri membawa pulang Sherny Ko­jo­­ngian tidak lepas dari cara ter­­se­but. Artinya, selain pende­katan antar pemerintah (G to G), pendekatan P to P juga pu­nya andil.

Bentuk andil itu antara lain da­pat dilihat dari teknis depor­tasi. Pada pemulangan buronan kali ini, kepolisian dan otoritas Amerika akan menyerahkan bu­ronan tersebut kepada Liassion Officer Polri Brigjen Arif W di sana. Dari situ, kata dia lagi, ben­tuk P to P terlihat sangat jelas.

Karenanya ke depan, teknis P to P ini dirasakan perlu pengem­bangan yang signifikan. Peme­rin­tah di sini diharapkan mau mendukung langkah kepolisian. Apalagi, lanjut dia, sampai saat ini masih banyak DPO Indo­ne­sia di luar negeri. [Harian Rakyat Merdeka]


Populer

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

Kajari Bekasi Eddy Sumarman yang Dikaitkan OTT KPK Tak Punya Rumah dan Kendaraan

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07

Kejagung Ancam Tak Perpanjang Tugas Jaksa di KPK

Sabtu, 20 Desember 2025 | 16:35

UPDATE

Trump Serang Demokrat dalam Pesan Malam Natal

Kamis, 25 Desember 2025 | 16:04

BUMN Target 500 Rumah Korban Banjir Rampung dalam Seminggu

Kamis, 25 Desember 2025 | 15:20

Mantan Wamenaker Noel Ebenezer Rayakan Natal Bersama Istri di Rutan KPK

Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01

Gibran Minta Pendeta dan Romo Terus Menjaga Toleransi

Kamis, 25 Desember 2025 | 14:40

BGN Sebut Tak Paksa Siswa Datang ke Sekolah Ambil MBG, Nanik: Bisa Diwakilkan Orang Tua

Kamis, 25 Desember 2025 | 14:39

Posko Pengungsian Sumut Disulap jadi Gereja demi Rayakan Natal

Kamis, 25 Desember 2025 | 14:20

Banyak Kepala Daerah Diciduk KPK, Kardinal Suharyo Ingatkan Pejabat Harus Tobat

Kamis, 25 Desember 2025 | 14:15

Arsitektur Nalar, Menata Ulang Nurani Pendidikan

Kamis, 25 Desember 2025 | 14:13

Kepala BUMN Temui Seskab di Malam Natal, Bahas Apa?

Kamis, 25 Desember 2025 | 14:03

Harga Bitcoin Naik Terdorong Faktor El Salvador-Musk

Kamis, 25 Desember 2025 | 13:58

Selengkapnya