Berita

LSM Indonesia Corruption Watch (ICW)

X-Files

Jaksa Gamang Eksekusi Putusan Hakim MA

25 Terpidana Kasus Korupsi Melarikan Diri
KAMIS, 31 MEI 2012 | 10:12 WIB

RMOL. LSM Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat ada sekitar 48 terpidana korupsi belum dieksekusi kejaksaan. Dari jumlah itu, 25 terpidana korupsi melarikan diri. Sisanya, masih melenggang bebas lantaran eksekusi belum dilaksanakan.

Karena itu, ICW mendorong Kejaksaan Agung dan MA untuk merumuskan kebijakan per­cepa­tan eksekusi para terpidana ko­rupsi. Sebab, lambannya eksekusi menjadi celah pada terpidana ko­rupsi melarikan diri.

“Karena problemnya bukan ha­nya di kejaksaan, tapi juga di pe­ngadilan yang lambat me­nye­rah­kan salinan putusan ke ke­jak­sa­an,” ujar Wakil Koordinator ICW Emerson Yuntho.

Contoh terkini, kaburnya Bu­pati Lampung Timur Satono ter­kait korupsi APBD Lampung Ti­mur. Saat panggilan eksekusi ter­akhir yang dilayangkan Ke­jak­sa­an Negeri Bandar Lampung pada 9 April 2012, Satono tidak di­ke­tahui keberadaanya alias buron. Alhasil, Kejari Bandar Lampung memasukan Satono ke dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) dengan No.01/DPO/N.8.10/04/2012 tanggal 9 April 2012.

Kejaksaan kemudian me­la­yang­kan permintaan perpanjangan cegah ke luar negeri atas nama Satono ke Ditjen Imigrasi yang berlaku sejak 7 April 2012.

Menurut Jaksa Agung Basrief Arief, hasil inventarisasi yang te­lah dilaporkan bawahannya, se­bagian sudah ada tindak lan­jut­nya. Tetapi belum secara me­nye­luruh. Selain itu, sebagian te­r­pi­da­na juga sudah tereksekusi. “Jadi tidak 48 lagi, sudah ber­kurang. Kalau yang kabur, DPO, kami cari,” ujarnya.

Terkait masalah seperti itu, Jaksa Agung Muda Pengawasan Mar­wan Effendy mengingatkan jaksa agar tidak gamang me­la­kukan eksekusi kasus yang sudah diputus di pengadilan, khususnya yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap di Mahkamah Agung (MA).

Bekas Jaksa Agung Muda Pi­dana Khusus ini meyakini, tidak ada masalah dalam proses ek­se­kusi putusan MA, walaupun tidak dicantumkan klausul perintah eksekusi. “Saya katakan, kalau untuk perkara yang sudah diputus MA, tidak perlu banyak polemik. Itu sudah bisa dieksekusi. Tidak perlu meminta fatwa MA lagi. Jaksa hanya melaksanakan, sebab putusan MA sudah berkekuatan hukum tetap,” ujarnya saat dita­nya mengenai eksekusi sejumlah putu­san yang masih menggantung.

Marwan mengatakan, kewe­nangan eksekusi itu pun tidak me­nya­lahi aturan. Soalnya, sudah diatur dalam Pasal 197 ayat 1 hu­ruf k KUHAP. Dia mengi­ngat­kan, untuk putusan MA, pasal itu berla­ku. Kecuali untuk putusan penga­dilan negeri dan pengadilan tinggi, maka penerapan Pasal 197 ayat 1 huruf K itu tidak bisa dilakukan.

Membaca pasal itu, lanjut Mar­wan, harus pakai logika hukum. Logika perlu tidak putusan MA, baik putusan kasasi maupun pe­nin­jauan kembali (PK) men­can­tumkan agar terpidana ditahan. Soalnya, terpidana sudah dinya­ta­kan bersalah dan dijatuhi pida­na penjara. “Jadi, otomatis tidak perlu perintah penahanan, lang­sung dieksekusi penjara saja,” katanya.

Eksekusi itu, menurutnya, ber­dasarkan Pasal 270 KUHAP yang mengamanahkan kepada jaksa untuk melaksanakan keputusan pengadilan yang telah berke­ku­a­tan hukum tetap. “Berbeda de­ngan putusan pengadilan negeri dan pengadilan tinggi, karena walaupun menjatuhkan pidana penjara, tetapi belum berkekuatan hukum tetap,” urainya.

Untuk itu, Marwan mengi­ngat­kan agar jaksa tidak ragu me­la­kukan eksekusi. Polemik hukum yang terjadi, katanya, dapat di­atasi dengan Pasal 197 ayat 1 hu­ruf K itu. “Meskipun ada proses PK atas putusan MA, tidak akan mengahalangi jaksa me­lak­sa­na­kan eksekusi,” ujarnya.

Sekali lagi, kata Marwan, pe­nerapan Pasal 197 ayat 1 huruf K itu berlaku untuk putusan yang sudah diputus MA. “Jika unsur-un­sur selain huruf k, ya tak bisa dieksekusi,” katanya.

Tapi, lanjut Marwan, banyak jaksa di daerah gamang untuk melaksanakan eksekusi, karena perdebatan hukum. Para jaksa itu, katanya, tentu tidak mau diper­sa­lahkan atas proses eksekusi yang bisa berdampak hukum.

Para Kepala Kejaksaan Negeri, menurutnya, gamang dengan mun­culnya polemik terhadap pu­tu­san yang tidak mencantumkan salah satu ketentuan pada Pasal 197 ayat 1 KUHAP. Terkait pu­tu­san yang sudah berkekuatan hukum tetap, kata Marwan, mau tidak mau harus dilaksanakan jaksa. “Hal ini penting karena MA adalah muara terakhir tempat pencari keadilan,” katanya.

Memang, lanjut Marwan, jaksa harus hati-hati dan tidak boleh sa­lah. Jaksa sebagai eksekutor pe­lak­sana keputusan pengadilan se­ba­gaimana yang diamanahkan pasal 270 KUHAP tidak boleh asal eksekusi, walaupun putusan itu telah in kracht, karena ada ram­bu-rambu yang juga diatur dalam Pa­sal 197 ayat 1 KUHAP. Jika jaksa melanggar ini, maka terjadi abuse of power dan akan berakibat hukum.

“Saya sudah sampaikan dalam rakernis bidang pengawasan, agar dieksekusi. Jaksanya tidak akan dikenakan sanksi. Jaksa tidak perlu ragu-ragu melakukan eksekusi. Tidak akan berdampak hukum, tidak akan kena Pasal 333,” ujarnya.

REKA ULANG

Ketika Terpidana Menolak Dieksekusi

Kelambanan eksekusi p­u­tu­san perkara pidana, khususnya da­lam perkara korupsi, kerap me­nimbulkan persoalan. Sumber ma­salahnya antara lain, terletak pada salinan putusan yang belum dikirim secara resmi kepada ter­pidana atau penasihat hukumnya, maupun kepada jaksa selaku ek­sekutor dan polemik seputar atu­ran main eksekusi.

Dalam beberapa kasus korupsi, terpidana dan kuasanya menolak dieksekusi kalau hanya dengan petikan putusan. Sebut saja kasus Gubernur Bengkulu nonaktif Agusrin M Najamuddin, Bupati Subang nonaktif Eep Hidayat, Bupati Lampung Timur Satono, dan Walikota Bekasi nonaktif Mochtar Mohammad.

Keempatnya, divonis bebas di pengadilan tingkat pertama, teta­pi di tingkat kasasi divonis ber­sa­lah. Mochtar, lewat kuasa hu­kumnya Sirra Prayuna, menolak eksekusi oleh jaksa KPK lantaran belum menerima salinan putusan kasasi dari panitera Pengadilan Tipikor Bandung. Penolakan se­ru­pa datang dari kuasa hukum Agusrin, Marthen Pongrekun.

Kejaksaan mengalami kesu­litan mengeksekusi Eep, Agusrin dan Satono lantaran belum mem­peroleh salinan putusan leng­kap dari Mahkamah Agung (MA), sehingga proses eksekusi tidak bisa berjalan cepat. Jaksa Agung Basrif Arief mengaku meng­ha­dapi dilema karena ada sejumlah kasus yang terpidananya tidak mau dieksekusi hanya dengan pe­tikan putusan, terutama me­nyangkut terpidana perkara-perkara besar.

Jaksa Agung Basrief Arief me­ngatakan, keberatan terpidana me­rupakan hal yang wajar, me­ngingat Pasal 270 KUHAP me­nga­tur bahwa eksekusi harus de­ngan salinan putusan.

“Sepan­jang terpidananya menerima ek­sekusi dengan pe­tikan pu­tusan, itu tidak masalah. Ini biasanya terjadi di perkara-perkara tindak pidana umum. Kalau perkara besar ada kalanya si terpidana meminta salinan pu­tusan. Ini juga tidak salah karena Undang-Undang mengatur itu,” katanya.

Menurut Basrief, masalah ek­sekusi ini tidak lepas dari sistem minutasi (pembuatan salinan putusan) di MA, karena proses mi­nutasi putusan membutuhkan waktu lama. Alhasil, kejaksaan terpaksa mengeksekusi dengan modal petikan putusan, seperti eksekusi terhadap Eep dan Agus­rin. Karenanya, ia berharap se­mua eksekusi perkara tindak pi­dana khusus dan umum dapat di­laksanakan secepatnya.

Tapi, pihak MA menegaskan, sebenarnya jaksa sudah bisa me­ngeksekusi putusan yang telah ber­kekuatan hukum tetap dengan bekal petikan putusan. Setelah hakim memutus perkara, lazim­nya dilakukan proses minutasi. Selama proses minutasi ini, para pihak diberikan petikan putusan yang hanya berisi amar/diktum yang ditetapkan majelis. “Petikan putusan sudah bisa dijadikan dasar eksekusi,” kata Sekretaris MA Nurhadi.

Mengacu SEMA No 1 Tahun 2011 tentang Perubahan SEMA No 2 Tahun 2010 tentang Pe­nyam­paian Salinan Putusan dan Petikan Putusan, petikan putusan perkara pidana diberikan kepada terdakwa, penuntut umum, dan rumah tahanan atau lembaga pemasyarakatan segera setelah putusan diucapkan.

Berkekuatan Tetap Mesti Dieksekusi

Sandi Ebenezer, Anggota Majelis PBHI

Anggota Majelis Pertim­bangan Perhimpunan Bantuan Hu­kum Indonesia (PBHI) San­di Ebenezer Situngkir me­nyam­paikan, pada prinsipnya, putu­san yang sudah berkekuatan hu­kum tetap (incraht) harus di­ek­sekusi jaksa.

“Kecuali jika putusan itu bertentangan dengan hukum, ya tak bisa dieksekusi, sebab itu pelanggaran terhadap Pasal 333 KUHAP,” ujar Sandi, kemarin.

Bila sudah masuk ke persi­da­ngan, lanjut dia, seorang ter­dak­wa tidak bisa ditahan tanpa pu­tusan pengadilan. “Jaksa sudah ti­dak bisa menahan karena s­e­telah perkara itu ada di pen­gadilan, maka semua kewengan ada pada pengadilan bukan di kejaksaan,” ujarnya.

Selanjutnya, kata Sandi, k­e­jaksaan hanya menjalankan pe­rin­tah pengadilan untuk me­na­han. Terlebih-lebih kalau tidak ada klausul eksekusi, maka jaksa tidak bisa berbuat apa apa.

Demikian juga dengan se­buah putusan yang batal demi hu­kum. Jaksa tidak bisa mela­kukan eksekusi. “Kalau putusan batal demi hukum, kejaksaan tidak bisa mengeksekusi. Ka­re­na hal itu bertentangan dengan undang-undang. Kalau ek­seku­si­nya untuk membebaskan ter­dakwa dari penjara, itu tidak men­jadi masalah karena tidak terbukti melakukan perbuatan pidana,” ujarnya. Tetapi, kalau kemudian eksekusi itu memen­jarakan terdakwa, lanjut Sandi, itu pelangaran terhadap Pasal 333 KUHAP dan merampas ke­merdekaan terdakwa.

Dia menjelaskan, dalam se­tiap putusan hakim, tidak serta merta bisa dilakukan eksekusi. Jika jaksa melakukan eksekusi tanpa ada klausul melakukan eksekusi, itu akan menjadi ma­sa­lah. “Jika dieksekusi tanpa klausul, itu pe­ngertian yang sa­lah dari kejak­saan, putusan itu berbeda dengan penetapan. Pu­tu­san adalah pro­duk majelis ha­kim yang meme­riksa perkara terdakwa, sedang­kan penetapan dibuat untuk me­laksanakan pu­tusan. Jadi tanpa ada penetapan, putusan tidak bisa dilak­sa­na­kan,” jelasnya.

Jadi, penetapan itu dibuat ber­dasarkan putusan. Lagi pula, lanjut Sandi, setiap putusan Mah­kamah Agung maupun Pe­nga­dilan Tinggi itu dijalankan Pengadilan Negeri. “Jadi, ber­da­sarkan putusan MA tersebut, Ketua PN yang harus membuat penetapan pelaksanaan ekse­kusi tersebut kepada jaksa,” ujarnya.

Kalau jaksa memaksakan ek­sekusi putusan MA berda­sarkan Pasal 197 huruf k KUHAP yang bahasanya adalah perintah su­paya terdakwa tetap ditahan, te­tap dalam tahanan atau di­be­bas­kan tidak bisa dipergunakan untuk menahan seseorang ter­dakwa, itu kurang pas.

“Karena kewenangan untuk pemeriksaan penahanan oleh MA ada pada pasal 28 KUHAP yang dilakukan dengan surat perintah penahanan. Jadi kalau berkehendak untuk menahan seseorang, seharusnya dilaku­kan sebelum perkara yang bersang­kutan diputus MA.”

Semua Pihak Jelas Kedudukannya

Eva Kusuma Sundari, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Eva Kusuma Sundari menyam­paikan, jaksa harus patuh dan tunduk pada putusan tertinggi dalam hierarki hukum serta ke­putusan yang ada.

Dalam polemik urusan ekse­kusi putusan, kata Eva, secara normatif mesti dipenuhi jaksa. “Isi putusan pengadilan, nor­ma­tifnya, harus dipatuhi apapun per­timbangan hukumnya, ter­ma­suk putusan yang batal demi hu­kum. Artinya, kalau putusan­nya mem­batalkan, batal semua putusan se­belumnya,” ujar Eva di sela-sela Rapat Dengar Pen­dapat (RDP) Komisi III dengan para Jaksa Agung Muda pada Selasa (29/5).

Menurut politisi PDIP itu, da­lam setiap putusan hakim, su­dah jelas apakah bisa dieksekusi atau tidak. Sebab, semua pihak yang diputuskan sangat jelas kedudukannya dalam putusan. “Siapa yang dijadikan obyek dan subyek hukum kan ada di putusan,” ujarnya.

Meski demikian, lanjut Eva, ada juga jenis putusan hakim yang tidak bisa serta merta di­lakukan tindakan eksekusi oleh jaksa sebagai eksekutor, dise­bab­kan sejumlah pertimbangan sah.

“Ada kasus-kasus yang me­mang tak bisa dieksekusi, kare­na beberapa pertimbangan, mi­salnya, menimbulkan kega­du­han, hilangnya HAM seseorang dan seterusnya. Jadi secara prak­tis memang ada putusan yang ti­dak bisa dilaksanakan,” ujarnya.

Jika dalam sebuah perkara, kata Eva, jaksa melakukan kesalahan, atau memaksakan eksekusi tanpa dasar hukum yang jelas, maka jaksa pun bisa digugat. “Digugat saja, karena Kejaksaan Agung kan adalah subyek putusan hukum. Pe­ne­gak hukum harus menegakkan hukum,” tegasnya.

Demikian pula, kata Eva, bila ada putusan hakim yang me­nya­takan seseorang tidak ter­bukti bersalah, dan sudah di­vonis bebas murni, maka tidak ada alasan yang dibuat-buat untuk memaksakan eksekusi. Sebab, putusan bebas murni ini tidak terjadi begitu saja.  [Harian Rakyat Merdeka]


Populer

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

Kajari Bekasi Eddy Sumarman yang Dikaitkan OTT KPK Tak Punya Rumah dan Kendaraan

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07

Kejagung Ancam Tak Perpanjang Tugas Jaksa di KPK

Sabtu, 20 Desember 2025 | 16:35

UPDATE

Trump Serang Demokrat dalam Pesan Malam Natal

Kamis, 25 Desember 2025 | 16:04

BUMN Target 500 Rumah Korban Banjir Rampung dalam Seminggu

Kamis, 25 Desember 2025 | 15:20

Mantan Wamenaker Noel Ebenezer Rayakan Natal Bersama Istri di Rutan KPK

Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01

Gibran Minta Pendeta dan Romo Terus Menjaga Toleransi

Kamis, 25 Desember 2025 | 14:40

BGN Sebut Tak Paksa Siswa Datang ke Sekolah Ambil MBG, Nanik: Bisa Diwakilkan Orang Tua

Kamis, 25 Desember 2025 | 14:39

Posko Pengungsian Sumut Disulap jadi Gereja demi Rayakan Natal

Kamis, 25 Desember 2025 | 14:20

Banyak Kepala Daerah Diciduk KPK, Kardinal Suharyo Ingatkan Pejabat Harus Tobat

Kamis, 25 Desember 2025 | 14:15

Arsitektur Nalar, Menata Ulang Nurani Pendidikan

Kamis, 25 Desember 2025 | 14:13

Kepala BUMN Temui Seskab di Malam Natal, Bahas Apa?

Kamis, 25 Desember 2025 | 14:03

Harga Bitcoin Naik Terdorong Faktor El Salvador-Musk

Kamis, 25 Desember 2025 | 13:58

Selengkapnya