Berita

PT Merpati Nusantara Airlines (MNA)

X-Files

Dua Bekas Bos Merpati Tidak Kunjung Disidang

Yang Jadi Tersangka Belakangan Mau Diadili Duluan
SABTU, 19 MEI 2012 | 10:19 WIB

RMOL. Kejaksaan Agung baru bisa menyelesaikan satu berkas tersangka kasus sewa pesawat fiktif Boeing 737-400 dan 737-500 oleh PT Merpati Nusantara Airlines (MNA).

Berkas perkara yang sudah dinyatakan lengkap (P21) itu atas nama tersangka Tony Sudjiarto, bekas General Manager Air Craft Procurement PT MNA. “Baru satu berkas yang sudah P21, yak­ni untuk tersangka TS. Surat P21-nya telah keluar sejak 10 Mei lalu,” kata Kepala Pusat Pene­ra­ngan Hukum Kejaksaan Agung Adi Tegarisman saat ditanya me­ngenai perkembangan pena­nga­nan kasus ini pada Rabu (16/5).

Berarti, masih ada dua tersang­ka yang berkasnya belum leng­kap, yakni bekas Direktur Utama PT MNA Hotasi Nababan dan be­kas Direktur Keuangan PT MNA Guntur Aradea. Padahal, Hotasi dan Guntur lebih dahulu ditetap­kan sebagai tersangka dibanding Tony.

Hotasi dan Guntur ditetapkan Ke­jaksaan Agung sebagai ter­sang­ka pada Agustus 2011. Em­pat bulan kemudian, barulah Tony ditetapkan sebagai ter­sang­ka berdasarkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) Print 196/F.2/Fd.1/12/2011 tanggal 22 Desember 2011.

“Untuk TS, tinggal menunggu jadwal persidangan. Sedangkan dua tersangka lainnya belum ram­pung, masih dalam tahap pe­nyidikan untuk melengkapi ber­kas,” ujar Adi.

Mulai melakukan penyidikan sejak Agustus 2011, Kejaksaan Agung tidak melakukan upaya penahanan terhadap para ter­sangka. “Memang tidak dila­ku­kan penahanan, sebab mereka kooperatif. Namun pencekalan telah dilakukan,” alasan Adi.

Bekas Kepala Kejaksaan Ting­gi Kepulauan Riau ini pun belum bisa memastikan, kapan berkas dua tersangka lainnya akan P21. “Tentu kami lengkapi dulu. Pe­nyidik terus bekerja,” ujarnya.

Padahal, sebelumnya Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Arnold Angkouw telah menyampaikan, berkas perkara atas nama tersang­ka Hotasi Nababan sudah leng­kap, dan sedang dibuatkan ren­cana dakwaan (rendak) di Bagian Penuntutan pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus. Tapi be­la­ka­ngan, malah berkas atas nama tersangka Tony Sudjiarto yang di­nyatakan lengkap oleh Ka­pus­penkum Kejagung.

Menurut Arnold, proses selan­jut­nya terhadap Hotasi berada pada Bidang Penuntutan. “Kapan dilimpahkan ke pengadilan, si­lakan tanya kepada Penuntutan dan Kapuspenkum,” ujarnya di Gedung Bundar Kejaksaan Agung, Jalan Sultan Hasanuddin, Jakarta Selatan pada Rabu malam, 18 April lalu.

Arnold menambahkan, berkas dua tersangka lain, yakni Guntur dan Tony masih dilengkapi. “Tentu kami menginginkan ber­kas dua tersangka itu secepatnya menyusul lengkap,” ujar bekas Kepala Kejaksaan Tinggi Sula­wesi Utara ini.

Kasus ini bermula saat Direksi PT Merpati Nusantara Airlines menyewa dua pesawat Boeing dari Thirdstone Aircaft Leassing Group Inc (TALG) di Amerika Se­rikat pada tahun 2006. Namun, sejak biaya sewa sebesar 500 ribu dolar AS per pesawat dibayarkan ke rekening kantor lawyer Hume And Associates melalui transfer Bank Mandiri, kedua pesawat itu tidak pernah dikirim ke Indo­nesia. Akibatnya, diduga terjadi kerugian negara sebesar satu juta dolar AS atau sekitar Rp 9 miliar pada salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini.

Terkait penyidikan kasus ini, bekas Direktur Utama PT Mer­pati Nusantara Airlines lainnya, yakni Cucuk Suryosuprojo juga su­dah diperiksa sebagai saksi pada 16 Agustus 2011. Se­dang­kan bekas Dirut PT MNA Sar­djo­no Jhoni dimintai keterangan seba­gai saksi pada 25 Mei 2011.

REKA ULANG

Hampir Satu Tahun Di Kejagung

Kasus sewa pesawat fiktif ini, su­dah cukup lama ditangani Ke­jak­saan Agung. Hampir satu tahun. Bekas Direktur Utama PT Merpati Nusantara Airlines (MNA) Hotasi Nababan dan bekas Di­rektur Keuangan PT MNA Gun­tur Aradea ditetapkan Kejaksaan Agung sebagai tersangka pada Agustus 2011.

Sedangkan Gene­ral Manager Air Craft Pro­cu­re­ment PT MNA Tony Sudjiarto di­tetapkan seba­gai tersangka pada 22 Desember 2011. Namun, hing­ga kemarin, para tersangka itu belum dibawa Kejagung ke Pe­ngadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

Sebelumnya, Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Andhi Nirwanto mengaku, kasus ko­rupsi sewa pesawat Boeing 737-400 dan 737-500 ini masih di­kembangkan anak buahnya.

Penyidik pidana khusus, menurut Andhi, masih mengorek keterangan para saksi untuk men­dalami perkara yang diduga me­ru­gikan negara 1 juta dolar Ame­rika Serikat atau sekitar Rp 9 mi­liar ini. Kejaksaan Agung, lan­jut­nya, juga meminta keterangan ahli hukum pidana dan ahli pe­ngadaan barang dan jasa untuk men­dalami perkara tersebut.

Kasus sewa pesawat ini terjadi pada tahun 2006. Saat itu, Direksi PT MNA menyewa dua pesawat Boeing 737 dari Thirdstone Air­caft Leassing Group Inc (TALG) di Amerika Serikat, seharga 500 ribu dolar AS untuk setiap pesa­wat. Tapi, kata Andhi, setelah dil­akukan pembayaran sebesar satu juta dolar AS ke rekening lawyer yang ditunjuk TALG, yakni Hume & Associates melalui transfer Bank Mandiri, hingga kini pesa­wat tersebut belum pernah diterima PT Merpati Nu­santara Airlines.

Kebijakan mengirim uang ke re­­kening lawyer itulah yang mem­buat Merpati sulit menarik kem­bali duit jaminan tersebut. Se­ha­rusnya, uang itu disimpan pada lem­baga penjamin resmi. Maka­nya, Kejagung menyangka ada keinginan sejumlah pihak untuk menyelewengkan dana itu. Ke­mu­dian, status perkara ini diting­kat­kan dari penyelidikan ke penyidikan.

Tapi, tersangka Hotasi Naba­ban meminta Kejaksaan Agung tidak mengesampingkan putusan Pengadilan Distrik Washington DC, Amerika Serikat terkait pe­sawat yang tak kunjung datang meski sudah dibayar. Menu­rut­nya, Pengadilan Distrik Was­hing­ton menerima gugatan Merpati dan mewajibkan TALG me­ngem­balikan uang milik Merpati.

“Upaya kami menggugat TALG menunjukkan tidak ada kongkalikong. Ini murni persoa­lan wanprestasi. Bagi Merpati, ini merupakan risiko bisnis,” ka­ta­nya di Kejagung.

Kuasa hukum Hotasi, Law­ren­ce TB Siburian mengatakan, pe­ne­tapan kliennya sebagai ter­sang­ka tidak tepat. Soalnya, menurut dia, kasus sewa pesawat ini murni per­kara perdata, bukan pidana. Law­rence menilai, Kejaksaan Agung terlalu memaksakan diri me­ne­tap­kan kasus ini ke ranah pidana.

Apalagi, lanjut Lawrence, tin­dak pidana korupsi harus memi­liki tiga unsur. Yakni melawan hu­kum, ada kerugian negara yang mengun­tung­kan diri sendiri, orang lain atau koorporasi. “Ke­tiga hal tersebut ha­rus terpenuhi, tid­ak bisa jika hanya ada satu unsur,” katanya.

Seperti Ada Upaya Mengambangkan

Nasir Djamil, Wakil Ketua Komisi III DPR

Wakil Ketua Komisi III DPR Nasir Djamil mengingatkan Kejaksaan Agung agar segera membawa para tersangka kasus sewa pesawat fiktif ini, ke Pe­ngadilan Tipikor.

Nasir menegaskan, setiap kasus mesti ada kepastiannya. Apalagi, Kejaksaan Agung te­lah menetapkan dua tersangka perkara ini pada Agustus 2011. Sedangkan satu tersangka lain­nya pada Desember 2011.

Artinya, Kejaksaan Agung sudah cukup lama melakukan penyidikan dalam perkara yang diduga merugikan negara seki­tar Rp 9 miliar ini. “Jangan di­biarkan mengam­bang. Kami dari Komisi III berharap agar kasus ini bisa cepat dituntas­kan,” ujar Nasir, kemarin.

Jika penyidikan yang sudah berjalan hampir satu tahun itu naik ke penuntutan, lanjut Na­sir, maka status hukum orang-orang yang disangka terlibat itu bisa lebih pasti. Tidak sela­ma­nya menjadi tersangka. “Di pe­ngadilan kan dibuktikan, mere­ka terlibat atau tidak, “ tandasnya.

Dia menegaskan, proses pe­nyidikan sampai pada pe­nun­tutan, tentu sudah ada stan­dar­nya. “Mengapa seseorang di­te­tapkan sebagai tersangka, tentu karena penyidik memiliki bukti. Tinggal sekarang Kejagung mau atau tidak melanjutkan penyidikan itu ke penuntutan,” ucapnya.

Menurut Nasir, proses pe­nyidikan yang tergolong lama, apalagi bila para tersangkanya tidak ditahan, tentu menim­bul­kan kecurigaan publik. “Seperti ada upaya mengambangkan. Masyarakat tentu akan melihat ini semua,” tandasnya.

Semakin cepat para tersangka kasus ini dibawa ke proses penuntutan, katanya, maka akan semakin cepat dipastikan, apakah mereka bersalah atau tidak bersalah. “Pengadilan itu untuk me­nge­tahui kepastian status hu­kum seseorang,” ujarnya.

Bisa Diambil Alih KPK

Petrus Selestinus, Koordinator TPDI

Koordinator Tim Pem­bela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus menyam­paikan, semakin lama tersangka disidik tanpa ada kepastian ka­pan ke penuntutan, maka ke­cu­ri­gaan masyarakat semakin besar.

Petrus pun menilai, ada se­suatu yang mencurigakan di ba­lik penanganan kasus sewa pe­sawat fiktif ini. Soalnya, sudah hampir satu tahun, belum satu pun tersangka kasus ini yang dibawa ke pengadilan. “Apakah ada yang berupaya melindungi pelaku yang sebenarnya? Ingat, kasus ini sudah menjadi per­hatian publik. Jadi, jangan main-main,” tegasnya, kemarin.

Keseriusan penanganan ka­sus ini, lanjut Petrus, akan ter­lihat dari kecekatan penyidik Ke­jaksaan Agung melakukan pemberkasan terhadap para ter­sangka. Jika tidak, maka pe­nyi­dik dan para pimpinannya bisa dinilai bermain-main.

“Apalagi para tersangkanya tidak dita­han, ya bisa jadi celah bermain. Karena itu, kejaksaan ha­rus ungkap semua pelaku, usut semua dan percepat upaya pemberkasannya,” saran dia.

Petrus mengakui, persoalan me­nahan tersangka memang didasari kepentingan subyektif penyidik. Tapi, bila proses pe­nyi­dikan yang telah berjalan ham­pir satu tahun tak di­limpahkan ke penuntutan, tentu menimbulkan kecurigaan pub­lik. “Dengan tidak ditahannya para tersangka, ada indikasi me­ngulur-ulur waktu untuk me­lindungi pelaku lainnya. Jika masih saja begini, maka pola kerja kejaksaan tampaknya belum berubah,” nilainya.

Dia berharap, Kejaksaan Agung tidak masa bodoh pada kri­tikan masyarakat. Sikap masa bodoh, menurutnya, akan merugikan kejaksaan sendiri. “Kejaksaan jangan tutup mata dan tutup telinga pada kritik dan laporan masyarakat,” sarannya.

Nah, tegas Petrus, jika pena­nga­nan kasus korupsi di Kejak­saan Agung sudah menahun tak selesai, ada baiknya diambil alih KPK. Namun, menurutnya, KPK tampak tak punya cukup nyali untuk melakukan itu.

“KPK sampai saat ini tak pu­nya nyali untuk mengambil alih kasus-kasus korupsi yang dita­ngani kejaksaan dan ke­polisian yang prosesnya sudah sangat lam­ban. Mestinya KPK bisa am­bil alih, sebab memang itu bagian tugas mereka,” katanya.   [Harian Rakyat Merdeka]


Populer

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

Kajari Bekasi Eddy Sumarman yang Dikaitkan OTT KPK Tak Punya Rumah dan Kendaraan

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07

Kejagung Ancam Tak Perpanjang Tugas Jaksa di KPK

Sabtu, 20 Desember 2025 | 16:35

UPDATE

Trump Serang Demokrat dalam Pesan Malam Natal

Kamis, 25 Desember 2025 | 16:04

BUMN Target 500 Rumah Korban Banjir Rampung dalam Seminggu

Kamis, 25 Desember 2025 | 15:20

Mantan Wamenaker Noel Ebenezer Rayakan Natal Bersama Istri di Rutan KPK

Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01

Gibran Minta Pendeta dan Romo Terus Menjaga Toleransi

Kamis, 25 Desember 2025 | 14:40

BGN Sebut Tak Paksa Siswa Datang ke Sekolah Ambil MBG, Nanik: Bisa Diwakilkan Orang Tua

Kamis, 25 Desember 2025 | 14:39

Posko Pengungsian Sumut Disulap jadi Gereja demi Rayakan Natal

Kamis, 25 Desember 2025 | 14:20

Banyak Kepala Daerah Diciduk KPK, Kardinal Suharyo Ingatkan Pejabat Harus Tobat

Kamis, 25 Desember 2025 | 14:15

Arsitektur Nalar, Menata Ulang Nurani Pendidikan

Kamis, 25 Desember 2025 | 14:13

Kepala BUMN Temui Seskab di Malam Natal, Bahas Apa?

Kamis, 25 Desember 2025 | 14:03

Harga Bitcoin Naik Terdorong Faktor El Salvador-Musk

Kamis, 25 Desember 2025 | 13:58

Selengkapnya