Berita

ilustrasi/ist

Baiknya, MK Putuskan RSBI Inkonstitusional

Biayanya Jutaan, Siswa Pintar Tapi Miskin Ngeri Daftar
SABTU, 19 MEI 2012 | 08:26 WIB

RMOL.Sidang uji materi Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional dan sekolah berstandar internasional sudah berlangsung delapan kali, sidang akan dilanjutkan dengan pembacaan putusan. RSBI dan SBI digugat lantaran dianggap melawan rasa keadilan masyarakat. Sekolah ini kebagian anggaran besar, tapi hanya bisa dinikmati kalangan berduit.

Indri Wulandari (15), tampak sum­ringah, senyum tak henti-henti merekah dari bibirnya. Dite­mui disekolahnya, di salah sa­tu SMP Negeri di Jakarta Se­la­tan, In­dri yang tengah kumpul-kumpul ber­sama teman-teman mengaku ting­gal menunggu pengu­muman hasil Ujian Nasio­nal. Dia yakin, nilai ujian nasio­nal­nya tinggi, sebab selama sela­ma tiga tahun rangkingnya selalu lima besar.

Namun, ekspresi wajahnya be­rubah cepat saat ditanya hendak me­lanjutkan ke SMA mana. “Mau­­­nya sih SMA 70. Itu kan ung­­­­gulan, RSBI pula. Tapi, biaya­nya mahal. Jadi, cari SMA lain yang lebih murah aja,” kata Indri dengan suara pelan dan berwajah datar. Indri adalah anak tertua dari tiga bersaudara, bapak bekerja sebagai staf di salah satu instansi pemerin­tah, Ibunya tidak bekerja. Penga­silan bapaknya tidak lebih dari Rp 6 juta sebulan.

Indri adalah potret siswa pintar namun tidak bisa melanjutkan ke sekolah dengan kualitasnya rin­tisan sekolah berstandar inter­nasional. Musni Umar, Ketua Ko­mite SMAN 70 Jakarta Selatan periode 2009-2011, mengung­kapkan RSBI SMAN 70  Jakarta Selatan terbagi tiga bagian, yaitu Ke­las  Reguler, Kelas CIBI (Ke­las Aksel), dan Kelas Interna­sional (KI).

Sumbangan peserta didik baru (SPDB) untuk Kelas Reguler sebesar 11 juta 200 ribu rupiah dan Sumbangan Rutin Bulanan (RSB) sebesar 425 ribu rupiah. SPDB kelas CIB sama tapi SRB-nya satu juta rupiah. Sedangkan untuk Kelas Internasional dibagi menjadi tahun pertama pembaya­rannya 31 juta rupiah, tahun kedua 24 juta rupiah, dan tahun ketiga 18 juta rupiah.

Bahkan, pembebanan tersebut semakin diperburuk dengan ke­wajiban orang tua siswa mem­bayar honor kepala sekolah, guru, dan karyawan PNS setiap per­tengahan bulan dan tunjangan hari raya.

”Sebenarnya, kegiatan itu tidak ada dasar hukumnya. Ini hanya bentuk lain dari kastanisasi RSBI dan non RSBI. Termasuk pembe­banannya tersebut juga me­rupa­kan bukti RSBI telah menjadi sarana komersialisasi pendidikan yang sangat menye­dihkan dan menyengsarakan orang tua siswa yang tidak mampu,” ungkapnya.

Dia mengatakan label RSBI di SMA 70 bikin anak-anak dari orang­tua tidak mampu takut men­daftarkan anaknya di SMA ung­gulan itu. Informasi yang tersebar mulut ke mulut, menya­takan bah­wa sekolah ini me­mungut sum­bangan peserta didik baru men­capai belasan juta rupiah.

“Sejak berstatus RSBI tersebut semakin sedikit anak-anak dari orang tua tidak mampu yang ber­sekolah di sana karena sudah bere­dar informasi terlebih dulu bahwa SMAN 70  mahal,” kata Musni.

Sebetulnya, RSBI mendapat alokasi anggaran istimewa dalam APBN. Forum Transparansi un­tuk Transparansi Anggaran (FITRA), mengungkap pada ang­garan 2011, RSBI mendapat Rp 289 Milyar, sedangkan sekolah umum hanya Rp 250 milyar. Pa­dahal, siswa RSBI dan SBI ini ada­lah kalangan berduit, sebab biaya pendidikan sekolah ini men­­capai belasan juta rupiah. Ang­­ka yang fantastis bagi orang­tua berkantung cekak.

 Sebagai informasi, RSBI dan SBI tengah digugat oleh Koalisi Masyarakat Anti Komersialisasi Pendidikan sejak Desember lalu. KMAKP menilai penyeleng­ga­raan RSBI diyakini melanggar hak konstitusi sebagian warga ne­gara dalam pemenuhan kewaji­ban mengikuti pendidikan dasar. Pendidikan yang sejatinya meru­pa­kan prasyarat bagi pelaksanaan hak asasi manusia dirancang dan di­batasi tidak untuk seluruh rak­yat Indonesia.

Penyelenggaraan RSBI juga memicu dualisme sistem pendidi­kan nasional karena mengacu pa­da kurikulum yang terdapat pada lembaga pendidikan negara-ne­­gara Organisasi Kerja Sama Eko­nomi dan Pembangunan (OECD). Selain itu, kata dia, penye­leng­garaan RSBI pada seko­lah publik juga melanggar sila ke­lima Pan­ca­sila, “Keadilan So­sial bagi Se­lu­ruh Rakyat Indone­sia”, karena RSBI tidak dapat diak­ses anak-anak dari keluarga miskin.

Atas dasar itu, KMAKP meni­lai, RSBI melanggar konstitusi ka­re­na bertentangan dengan se­ma­ngat dan kewajiban negara men­cerdaskan kehidupan bangsa serta menimbulkan dualisme sistem dan liberalisasi pendidikan di Indo­nesia. Selain itu, RSBI juga diang­gap menimbulkan dis­kriminasi dan kastanisasi dalam bidang pendi­dikan serta berpo­tensi menghi­langkan jati diri bangsa Indonesia yang berbahasa Indonesia.

Mantan Menteri Pendidikan Daoed Joesoef menilai, RSBI inkonstitusional. Pasalnya, RSBI menggunakan Bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar, bukan Bahasa Indonesia.

Dia berharap RSBI ini dihapus­kan, karena tidak sesuai dengan konstitusi, sistem yang menggu­nakan bahasa Inggris tersebut bu­kan menjadi satu-satunya indi­kator kemajuan suatu bangsa. Selain itu dengan adanya sistem RSBI dan Sekolah Bertaraf Indo­nesia (SBI), pemerintah telah melakukan pengelompokan ter­ha­dap peserta didik.

“RSBI dan SBI sama saja dengan menimbulkan kekastaan. Karena secara tidak langsung te­lah menyiapkan dua jenis ke­lompok yaitu, kelompok cerdas yang begitu rupa, dan kelompok kedua, adalah kelompok yang sekadar penonton belaka dalam pembangunan nasional. Ini jelas telah melanggar azas demokrasi pendidikan,” tegasnya.

Koordinator KMAKP, Lody Paat meminta MK mengabulkan gugatan yang dimohonkannya. Menurutnya, RSBI merupakan ke­salahan besar dalam pem­ba­ngu­nan pendidikan nasional dan tidak sejalan dengan pembu­ka­an UUD 45, yakni mencer­das­kan kehidu­pan bangsa. Da­lam pene­ra­pannya, RSBI ter­bukti sama sekali tidak berkore­lasi dengan peningkatan mutu pen­didikan itu sendiri.

Dia juga menilai, RSBI hanya menimbulkan kekacauan pada sis­tem pendidikan nasional kare­na melahirkan kesenjangan dan mengancam semangat nasionalis­me para peserta didik. “Menurut kami, RSBI memang tidak sesuai dengan pembukaan UUD 45 karena tidak mencerdaskan bang­sa. Kualitasnya juga tidak sama dengan internasional, yang ada malah melahirkan kesenjangan kasta,” ujarnya.

Inilah Materi Gugatan RSBI Di MK

Gugatan terhadap RSBI di MK terdaftar dengan nomor 5/PUU-X/2012 Tentang Pelaksa­naan Program Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dan Sekolah Bertaraf Internasio­nal Dapat Mengesampingkan Sistem Pendidikan Nasional.

Gugatan ini diajukan oleh, An­di Akbar Fitriyadi, Nadya Masyku­ria, Milang Tauhida, Ju­mo­no, Lodewijk F. Paat, Bam­bang Wisudo dan Febri Hendri Antoni Arif. Pemohon adalah orangtua murid, dosen, aktivis pendidikan serta aktivis ICW yang merasa dirugikan hak-hak konstitusional­nya atas ber­laku­nya ketentuan Pasal 50 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Ta­hun 2003 tentang Sistem Pen­didikan Nasional.

Sebab, ketentuan ini mengaki­batkan Andi Akbar Fitriyadi tidak dapat menyekolahkan anaknya di SDN Menteng 02 RSBI Jakarta dikarenakan kemampuan finan­cial yang terbatas sehingga tidak mampu untuk membayar biaya pendaftaran, biaya pendidikan serta biaya lain-lain yang ditetap­kan oleh pihak sekolah itu.

Sedangkan, Nadya Masykuria mengaku terkena kebijakan beru­pa pungutan Sumbangan dari Sekolah anak Pemohon (SMPN 1 RSBI Jakarta), dimana pungu­tan tersebut tidak pernah diber­ta­hu­kan sebelumnya dan baru diberitahukan 2 bulan setelah ber­sekolah, upaya pengajuan ke­ri­nganan pun tidak dapat dipe­nuhi pihak sekolah.

Gugatan di advokasi oleh Al­von Kurnia Palma, yang terga­bung dalam Tim Advokasi Anti Komersialisasi Pendidikan.

Penggugat memohonkan pengu­­­­jian Pasal 50 ayat (3) Un­dang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional terhadap UUD 1945.

Norma yang diujikan, adalah : Pasal 50 ayat (3) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menye­lenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf inter­nasional.

Norma yang dijadikan sebagai penguji yakni, Pasal 28C ayat (1) “Setiap orang berhak mengem­bangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan mem­peroleh manfaat dari ilmu penge­tahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kua­li­tas hidupnya dan demi kese­jahteraan umat manusia.”

Pasal 28E ayat (1) “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan penga­jaran, memilih pekerjaan, memi­lih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah Negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.”

Pasal 28I ayat (2) “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlin­dungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.” dan Pasal 31 ayat (1) “Setiap warga negara berhak mendapat pendidi­kan.” serta, Pasal 31 ayat (2) “Se­tiap warga Negara wajib mengi­kuti pendidikan dasar dan peme­rintah wajib membiayainya.”

RSBI dinilai bertentangan dengan semangat mencerdaskan ke­hidupan bangsa, jika dilihat dari tujuannya agar Indonesia memiliki lulusan yang memiliki kompetensi sesuai standar kom­petensi lulusan di negara maju sangat baik, namun hal ini belum tentu sesuai dengan kondisi bang­sa Indonesia.

RSBI bertentangan dengan kewajiban negara untuk mencer­daskan bangsa dan menimbulkan dualisme sistem pendidikan di Indonesia karena dalam Pasal 31 ayat (3) UUD 1945 terdapat frasa “satu sistem pendidikan nasio­nal” yang dapat diartikan sebagai satu sistem yang digunakan da­lam dunia pendidikan di Indo­ne­sia adalah sistem pendidikan nasional maka dengan adanya satuan pendidikan bertaraf inter­nasional menurut Pasal 50 un­dang-undang a quo menimbulkan dualisme pendidikan.

RSBI Wadah Siswa Berprestasi

Muhammad Nuh, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan

Keberadaan rintisan seko­lah berstandar internasio­nal untuk mewadahi anak-anak In­donesia yang memiliki pres­tasi akademik. Menurut­nya, siswa-siswa berprestasi su­dah sewa­jarnya jika ditangani se­cara khusus.

Selain dengan dasar untuk memberikan layanan khusus kepada anak-anak pintar, dibu­kanya RSBI juga sebagai upaya mendorong terciptanya central of excellent di seluruh jenjang pendidikan. Jika semua anak-anak pin­tar harus bersekolah di seko­lah yang reguler, maka di­kha­watirkan tidak ada kesem­patan untuk berkembang.

Menurutnya, banyak anak-anak pintar yang ditangani de­ngan standar reguler, kemudian justru memilih keluar dari se­kolah reguler dan memilih se­ko­lah yang lebih baik. Bahkan, tak sedikit yang akhirnya harus ke luar negeri untuk mencari institusi pendidikan yang sesuai dengan tingkat prestasi akade­mik yang dimilikinya.

RSBI, adalah cara pemerin­tah untuk menuju kualitas pen­didikan yang berstandar inter­na­sional, yakni sekolah ber­standar internasional (SBI). Untuk mendapatkan label SBI, setiap sekolah harus melewati tahap rintisan terlebih dulu.

SBI harus dirintis, maka kita mu­lai dengan rehabilitasi seko­lah dan se­terusnya. Menekan se­ko­lah Stan­dar Pendidikan Mi­ni­­mal (SPM) agar semakin ke­cil dan, standar sekolah pa­ling ren­dah ke depannya harus Sekolah Stan­­dar Nasional (SSN).

Sabar, RSBI Lagi Dievaluasi

Djamal Aziz, Anggota Komisi X DPR

RSBI yang dikembangkan pe­merintah justru menimbul­kan kebingungan di tengah-tengah masyarakat. Muncul per­sepsi, sekolah yang berkua­litas itu adalah sekolah yang menggu­nakan bahasa pengan­tar bahasa inggris, sedangkan sekolah yang bahasa pengan­tarnya masih bahasa Indonesia kualitasnya dianggap nomor dua.

Untuk itu pemerintah perlu memberikan pemahaman kepa­da masyarakat, bahwa kualitas pendidikan bukan ditunjukkan oleh bahasa pengantar. Peme­rin­­tah juga harus bisa mem­bangun persepsi bahwa RSBI bukanlah sekolah untuk anak-anak yang orangtuanya kaya, tetapi se­kolah buat siswa yang prestasi­nya melampai siswa-siswa sekolah umum.

Pemerintah harus menjamin, bahwa kursi RSBI yang jum­lah­nya sangat terbatas itu tidak di­per­jualbelikan. RSBI harus di­bangun sebagai sekolah elit da­lam hal kualitas pendidikan, bu­kan sarang anak-anak dari ka­langan orang tua kaya yang bisa memberikan kontribusi fi­nan­sial kepada sekolah. Sebab, negara memberikan alokasi anggaran yang banyak untuk RSBI ini.

 DPR saat ini tengah mem­ben­­tuk Panitia Kerja RSBI/BSI. Panja ini mengevaluasi dan menggodok kebijakan pe­­me­rintah tersebut. Apakah nan­tinya RSBI/SBI akan te­rus dite­rapkan di Indoensia atau tidak.

 Pasal 50 ayat 3 dari dari Un­dang-Undang nomor 23 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidi­kan Nasional (UU Sisdiknas) yang tengah digugat di MK, se­­be­tulnya diarahkan untuk meng­­adopsi nilai dan proses pembe­lajaran di negara anggo­ta nega­ra maju, salah jika ke­mu­dian dimaknai menerap­kan fal­safah individualistis dan ka­pi­talistis.

Kurikulum Nggak Cocok Dengan Budaya Lokal

Darmaningtyas, Pengamat Pendidikan Taman Siswa

Kurikulum internasional RSBI keluar dari prinsip pendi­dikan nasional. Kurikulum RSBI menjiplak kurikulum in­ter­nasional yang belum tentu se­suai dengan kebudayaan lo­kal. Dalam penerapannya, RSBI cenderung diskriminatif karena memberikan perlakuan berbeda antara RSBI dengan sekolah umum.

Pasal yang mengatur penye­leng­garaan satuan pendidikan ber­taraf internasional itu dis­kriminatif. Keberadaan pasal itu menimbulkan praktek perla­kuan yang berbeda antara seko­lah umum dan RSBI/SBI. Se­ko­lah umum miskin fasilitas, guru-guru kurang memenuhi kualifikasi. Sedangkan RSBI fasilitasnya lengkap dan guru-gurunya berkualitas.

Dengan kondisi seperti itu, yang harus dilakukan saat ini bukan sekadar mengevaluasi RSBI, tetapi mengamandemen Undang-Undang Sistem Pen­didikan Nasional sebagai sum­ber masalahnya.

Negara jangan tutup mata, karena pada praktiknya RSBI dan SBI hanya bisa diakses anak dari keluarga kaya karena biaya masuk dan iuran bulan­nya sangat mahal. Walaupun ada beasiswa untuk keluarga mis­kin, kenyataannya anak-anak terse­but minder karena ling­kungan sekitarnya anak-anak dari ke­luarga kaya. [Harian Rakyat Merdeka]


Populer

Mantan Jubir KPK Tessa Mahardhika Lolos Tiga Besar Calon Direktur Penyelidikan KPK

Rabu, 24 Desember 2025 | 07:26

Kejagung Copot Kajari Kabupaten Tangerang Afrillyanna Purba, Diganti Fajar Gurindro

Kamis, 25 Desember 2025 | 21:48

Sarjan Diduga Terima Proyek Ratusan Miliar dari Bupati Bekasi Sebelum Ade Kuswara

Jumat, 26 Desember 2025 | 14:06

Mantan Wamenaker Noel Ebenezer Rayakan Natal Bersama Istri di Rutan KPK

Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01

8 Jenderal TNI AD Pensiun Jelang Pergantian Tahun 2026, Ini Daftarnya

Rabu, 24 Desember 2025 | 21:17

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

UPDATE

Sisingamangaraja XII dan Cut Nya Dien Menangis Akibat Kerakusan dan Korupsi

Senin, 29 Desember 2025 | 00:13

Firman Tendry: Bongkar Rahasia OTT KPK di Pemkab Bekasi!

Minggu, 28 Desember 2025 | 23:40

Aklamasi, Nasarudin Nakhoda Baru KAUMY

Minggu, 28 Desember 2025 | 23:23

Bayang-bayang Resesi Global Menghantui Tahun 2026

Minggu, 28 Desember 2025 | 23:05

Ridwan Kamil dan Gibran, Dua Orang Bermasalah yang Didukung Jokowi

Minggu, 28 Desember 2025 | 23:00

Prabowo Harus jadi Antitesa Jokowi jika Mau Dipercaya Rakyat

Minggu, 28 Desember 2025 | 22:44

Nasarudin Terpilih Aklamasi sebagai Ketum KAUMY Periode 2025-2029

Minggu, 28 Desember 2025 | 22:15

Pemberantasan Korupsi Cuma Simbolik Berbasis Politik Kekuasaan

Minggu, 28 Desember 2025 | 21:40

Proyeksi 2026: Rupiah Tertekan, Konsumsi Masyarakat Melemah

Minggu, 28 Desember 2025 | 20:45

Pertumbuhan Kredit Bank Mandiri Akhir Tahun Menguat, DPK Meningkat

Minggu, 28 Desember 2025 | 20:28

Selengkapnya