ilustrasi/ist
ilustrasi/ist
RMOL.Sidang uji materi Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional dan sekolah berstandar internasional sudah berlangsung delapan kali, sidang akan dilanjutkan dengan pembacaan putusan. RSBI dan SBI digugat lantaran dianggap melawan rasa keadilan masyarakat. Sekolah ini kebagian anggaran besar, tapi hanya bisa dinikmati kalangan berduit.
Indri Wulandari (15), tampak sumÂringah, senyum tak henti-henti merekah dari bibirnya. DiteÂmui disekolahnya, di salah saÂtu SMP Negeri di Jakarta SeÂlaÂtan, InÂdri yang tengah kumpul-kumpul berÂsama teman-teman mengaku tingÂgal menunggu penguÂmuman hasil Ujian NasioÂnal. Dia yakin, nilai ujian nasioÂnalÂnya tinggi, sebab selama selaÂma tiga tahun rangkingnya selalu lima besar.
Namun, ekspresi wajahnya beÂrubah cepat saat ditanya hendak meÂlanjutkan ke SMA mana. “MauÂÂÂnya sih SMA 70. Itu kan ungÂÂÂÂgulan, RSBI pula. Tapi, biayaÂnya mahal. Jadi, cari SMA lain yang lebih murah aja,†kata Indri dengan suara pelan dan berwajah datar. Indri adalah anak tertua dari tiga bersaudara, bapak bekerja sebagai staf di salah satu instansi pemerinÂtah, Ibunya tidak bekerja. PengaÂsilan bapaknya tidak lebih dari Rp 6 juta sebulan.
Indri adalah potret siswa pintar namun tidak bisa melanjutkan ke sekolah dengan kualitasnya rinÂtisan sekolah berstandar interÂnasional. Musni Umar, Ketua KoÂmite SMAN 70 Jakarta Selatan periode 2009-2011, mengungÂkapkan RSBI SMAN 70 Jakarta Selatan terbagi tiga bagian, yaitu KeÂlas Reguler, Kelas CIBI (KeÂlas Aksel), dan Kelas InternaÂsional (KI).
Sumbangan peserta didik baru (SPDB) untuk Kelas Reguler sebesar 11 juta 200 ribu rupiah dan Sumbangan Rutin Bulanan (RSB) sebesar 425 ribu rupiah. SPDB kelas CIB sama tapi SRB-nya satu juta rupiah. Sedangkan untuk Kelas Internasional dibagi menjadi tahun pertama pembayaÂrannya 31 juta rupiah, tahun kedua 24 juta rupiah, dan tahun ketiga 18 juta rupiah.
Bahkan, pembebanan tersebut semakin diperburuk dengan keÂwajiban orang tua siswa memÂbayar honor kepala sekolah, guru, dan karyawan PNS setiap perÂtengahan bulan dan tunjangan hari raya.
â€Sebenarnya, kegiatan itu tidak ada dasar hukumnya. Ini hanya bentuk lain dari kastanisasi RSBI dan non RSBI. Termasuk pembeÂbanannya tersebut juga meÂrupaÂkan bukti RSBI telah menjadi sarana komersialisasi pendidikan yang sangat menyeÂdihkan dan menyengsarakan orang tua siswa yang tidak mampu,†ungkapnya.
Dia mengatakan label RSBI di SMA 70 bikin anak-anak dari orangÂtua tidak mampu takut menÂdaftarkan anaknya di SMA ungÂgulan itu. Informasi yang tersebar mulut ke mulut, menyaÂtakan bahÂwa sekolah ini meÂmungut sumÂbangan peserta didik baru menÂcapai belasan juta rupiah.
“Sejak berstatus RSBI tersebut semakin sedikit anak-anak dari orang tua tidak mampu yang berÂsekolah di sana karena sudah bereÂdar informasi terlebih dulu bahwa SMAN 70 mahal,†kata Musni.
Sebetulnya, RSBI mendapat alokasi anggaran istimewa dalam APBN. Forum Transparansi unÂtuk Transparansi Anggaran (FITRA), mengungkap pada angÂgaran 2011, RSBI mendapat Rp 289 Milyar, sedangkan sekolah umum hanya Rp 250 milyar. PaÂdahal, siswa RSBI dan SBI ini adaÂlah kalangan berduit, sebab biaya pendidikan sekolah ini menÂÂcapai belasan juta rupiah. AngÂÂka yang fantastis bagi orangÂtua berkantung cekak.
Sebagai informasi, RSBI dan SBI tengah digugat oleh Koalisi Masyarakat Anti Komersialisasi Pendidikan sejak Desember lalu. KMAKP menilai penyelengÂgaÂraan RSBI diyakini melanggar hak konstitusi sebagian warga neÂgara dalam pemenuhan kewajiÂban mengikuti pendidikan dasar. Pendidikan yang sejatinya meruÂpaÂkan prasyarat bagi pelaksanaan hak asasi manusia dirancang dan diÂbatasi tidak untuk seluruh rakÂyat Indonesia.
Penyelenggaraan RSBI juga memicu dualisme sistem pendidiÂkan nasional karena mengacu paÂda kurikulum yang terdapat pada lembaga pendidikan negara-neÂÂgara Organisasi Kerja Sama EkoÂnomi dan Pembangunan (OECD). Selain itu, kata dia, penyeÂlengÂgaraan RSBI pada sekoÂlah publik juga melanggar sila keÂlima PanÂcaÂsila, “Keadilan SoÂsial bagi SeÂluÂruh Rakyat IndoneÂsiaâ€, karena RSBI tidak dapat diakÂses anak-anak dari keluarga miskin.
Atas dasar itu, KMAKP meniÂlai, RSBI melanggar konstitusi kaÂreÂna bertentangan dengan seÂmaÂngat dan kewajiban negara menÂcerdaskan kehidupan bangsa serta menimbulkan dualisme sistem dan liberalisasi pendidikan di IndoÂnesia. Selain itu, RSBI juga diangÂgap menimbulkan disÂkriminasi dan kastanisasi dalam bidang pendiÂdikan serta berpoÂtensi menghiÂlangkan jati diri bangsa Indonesia yang berbahasa Indonesia.
Mantan Menteri Pendidikan Daoed Joesoef menilai, RSBI inkonstitusional. Pasalnya, RSBI menggunakan Bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar, bukan Bahasa Indonesia.
Dia berharap RSBI ini dihapusÂkan, karena tidak sesuai dengan konstitusi, sistem yang mengguÂnakan bahasa Inggris tersebut buÂkan menjadi satu-satunya indiÂkator kemajuan suatu bangsa. Selain itu dengan adanya sistem RSBI dan Sekolah Bertaraf IndoÂnesia (SBI), pemerintah telah melakukan pengelompokan terÂhaÂdap peserta didik.
“RSBI dan SBI sama saja dengan menimbulkan kekastaan. Karena secara tidak langsung teÂlah menyiapkan dua jenis keÂlompok yaitu, kelompok cerdas yang begitu rupa, dan kelompok kedua, adalah kelompok yang sekadar penonton belaka dalam pembangunan nasional. Ini jelas telah melanggar azas demokrasi pendidikan,†tegasnya.
Koordinator KMAKP, Lody Paat meminta MK mengabulkan gugatan yang dimohonkannya. Menurutnya, RSBI merupakan keÂsalahan besar dalam pemÂbaÂnguÂnan pendidikan nasional dan tidak sejalan dengan pembuÂkaÂan UUD 45, yakni mencerÂdasÂkan kehiduÂpan bangsa. DaÂlam peneÂraÂpannya, RSBI terÂbukti sama sekali tidak berkoreÂlasi dengan peningkatan mutu penÂdidikan itu sendiri.
Dia juga menilai, RSBI hanya menimbulkan kekacauan pada sisÂtem pendidikan nasional kareÂna melahirkan kesenjangan dan mengancam semangat nasionalisÂme para peserta didik. “Menurut kami, RSBI memang tidak sesuai dengan pembukaan UUD 45 karena tidak mencerdaskan bangÂsa. Kualitasnya juga tidak sama dengan internasional, yang ada malah melahirkan kesenjangan kasta,†ujarnya.
Inilah Materi Gugatan RSBI Di MK
Gugatan terhadap RSBI di MK terdaftar dengan nomor 5/PUU-X/2012 Tentang PelaksaÂnaan Program Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dan Sekolah Bertaraf InternasioÂnal Dapat Mengesampingkan Sistem Pendidikan Nasional.
Gugatan ini diajukan oleh, AnÂdi Akbar Fitriyadi, Nadya MasykuÂria, Milang Tauhida, JuÂmoÂno, Lodewijk F. Paat, BamÂbang Wisudo dan Febri Hendri Antoni Arif. Pemohon adalah orangtua murid, dosen, aktivis pendidikan serta aktivis ICW yang merasa dirugikan hak-hak konstitusionalÂnya atas berÂlakuÂnya ketentuan Pasal 50 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 TaÂhun 2003 tentang Sistem PenÂdidikan Nasional.
Sebab, ketentuan ini mengakiÂbatkan Andi Akbar Fitriyadi tidak dapat menyekolahkan anaknya di SDN Menteng 02 RSBI Jakarta dikarenakan kemampuan finanÂcial yang terbatas sehingga tidak mampu untuk membayar biaya pendaftaran, biaya pendidikan serta biaya lain-lain yang ditetapÂkan oleh pihak sekolah itu.
Sedangkan, Nadya Masykuria mengaku terkena kebijakan beruÂpa pungutan Sumbangan dari Sekolah anak Pemohon (SMPN 1 RSBI Jakarta), dimana punguÂtan tersebut tidak pernah diberÂtaÂhuÂkan sebelumnya dan baru diberitahukan 2 bulan setelah berÂsekolah, upaya pengajuan keÂriÂnganan pun tidak dapat dipeÂnuhi pihak sekolah.
Gugatan di advokasi oleh AlÂvon Kurnia Palma, yang tergaÂbung dalam Tim Advokasi Anti Komersialisasi Pendidikan.
Penggugat memohonkan penguÂÂÂÂjian Pasal 50 ayat (3) UnÂdang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional terhadap UUD 1945.
Norma yang diujikan, adalah : Pasal 50 ayat (3) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menyeÂlenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf interÂnasional.
Norma yang dijadikan sebagai penguji yakni, Pasal 28C ayat (1) “Setiap orang berhak mengemÂbangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memÂperoleh manfaat dari ilmu pengeÂtahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kuaÂliÂtas hidupnya dan demi keseÂjahteraan umat manusia.â€
Pasal 28E ayat (1) “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengaÂjaran, memilih pekerjaan, memiÂlih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah Negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.â€
Pasal 28I ayat (2) “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlinÂdungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.†dan Pasal 31 ayat (1) “Setiap warga negara berhak mendapat pendidiÂkan.†serta, Pasal 31 ayat (2) “SeÂtiap warga Negara wajib mengiÂkuti pendidikan dasar dan pemeÂrintah wajib membiayainya.â€
RSBI dinilai bertentangan dengan semangat mencerdaskan keÂhidupan bangsa, jika dilihat dari tujuannya agar Indonesia memiliki lulusan yang memiliki kompetensi sesuai standar komÂpetensi lulusan di negara maju sangat baik, namun hal ini belum tentu sesuai dengan kondisi bangÂsa Indonesia.
RSBI bertentangan dengan kewajiban negara untuk mencerÂdaskan bangsa dan menimbulkan dualisme sistem pendidikan di Indonesia karena dalam Pasal 31 ayat (3) UUD 1945 terdapat frasa “satu sistem pendidikan nasioÂnal†yang dapat diartikan sebagai satu sistem yang digunakan daÂlam dunia pendidikan di IndoÂneÂsia adalah sistem pendidikan nasional maka dengan adanya satuan pendidikan bertaraf interÂnasional menurut Pasal 50 unÂdang-undang a quo menimbulkan dualisme pendidikan.
RSBI Wadah Siswa Berprestasi
Muhammad Nuh, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Keberadaan rintisan sekoÂlah berstandar internasioÂnal untuk mewadahi anak-anak InÂdonesia yang memiliki presÂtasi akademik. MenurutÂnya, siswa-siswa berprestasi suÂdah sewaÂjarnya jika ditangani seÂcara khusus.
Selain dengan dasar untuk memberikan layanan khusus kepada anak-anak pintar, dibuÂkanya RSBI juga sebagai upaya mendorong terciptanya central of excellent di seluruh jenjang pendidikan. Jika semua anak-anak pinÂtar harus bersekolah di sekoÂlah yang reguler, maka diÂkhaÂwatirkan tidak ada kesemÂpatan untuk berkembang.
Menurutnya, banyak anak-anak pintar yang ditangani deÂngan standar reguler, kemudian justru memilih keluar dari seÂkolah reguler dan memilih seÂkoÂlah yang lebih baik. Bahkan, tak sedikit yang akhirnya harus ke luar negeri untuk mencari institusi pendidikan yang sesuai dengan tingkat prestasi akadeÂmik yang dimilikinya.
RSBI, adalah cara pemerinÂtah untuk menuju kualitas penÂdidikan yang berstandar interÂnaÂsional, yakni sekolah berÂstandar internasional (SBI). Untuk mendapatkan label SBI, setiap sekolah harus melewati tahap rintisan terlebih dulu.
SBI harus dirintis, maka kita muÂlai dengan rehabilitasi sekoÂlah dan seÂterusnya. Menekan seÂkoÂlah StanÂdar Pendidikan MiÂniÂÂmal (SPM) agar semakin keÂcil dan, standar sekolah paÂling renÂdah ke depannya harus Sekolah StanÂÂdar Nasional (SSN).
Sabar, RSBI Lagi Dievaluasi
Djamal Aziz, Anggota Komisi X DPR
RSBI yang dikembangkan peÂmerintah justru menimbulÂkan kebingungan di tengah-tengah masyarakat. Muncul perÂsepsi, sekolah yang berkuaÂlitas itu adalah sekolah yang mengguÂnakan bahasa penganÂtar bahasa inggris, sedangkan sekolah yang bahasa penganÂtarnya masih bahasa Indonesia kualitasnya dianggap nomor dua.
Untuk itu pemerintah perlu memberikan pemahaman kepaÂda masyarakat, bahwa kualitas pendidikan bukan ditunjukkan oleh bahasa pengantar. PemeÂrinÂÂtah juga harus bisa memÂbangun persepsi bahwa RSBI bukanlah sekolah untuk anak-anak yang orangtuanya kaya, tetapi seÂkolah buat siswa yang prestasiÂnya melampai siswa-siswa sekolah umum.
Pemerintah harus menjamin, bahwa kursi RSBI yang jumÂlahÂnya sangat terbatas itu tidak diÂperÂjualbelikan. RSBI harus diÂbangun sebagai sekolah elit daÂlam hal kualitas pendidikan, buÂkan sarang anak-anak dari kaÂlangan orang tua kaya yang bisa memberikan kontribusi fiÂnanÂsial kepada sekolah. Sebab, negara memberikan alokasi anggaran yang banyak untuk RSBI ini.
DPR saat ini tengah memÂbenÂÂtuk Panitia Kerja RSBI/BSI. Panja ini mengevaluasi dan menggodok kebijakan peÂÂmeÂrintah tersebut. Apakah nanÂtinya RSBI/SBI akan teÂrus diteÂrapkan di Indoensia atau tidak.
Pasal 50 ayat 3 dari dari UnÂdang-Undang nomor 23 Tahun 2003 tentang Sistem PendidiÂkan Nasional (UU Sisdiknas) yang tengah digugat di MK, seÂÂbeÂtulnya diarahkan untuk mengÂÂadopsi nilai dan proses pembeÂlajaran di negara anggoÂta negaÂra maju, salah jika keÂmuÂdian dimaknai menerapÂkan falÂsafah individualistis dan kaÂpiÂtalistis.
Kurikulum Nggak Cocok Dengan Budaya Lokal
Darmaningtyas, Pengamat Pendidikan Taman Siswa
Kurikulum internasional RSBI keluar dari prinsip pendiÂdikan nasional. Kurikulum RSBI menjiplak kurikulum inÂterÂnasional yang belum tentu seÂsuai dengan kebudayaan loÂkal. Dalam penerapannya, RSBI cenderung diskriminatif karena memberikan perlakuan berbeda antara RSBI dengan sekolah umum.
Pasal yang mengatur penyeÂlengÂgaraan satuan pendidikan berÂtaraf internasional itu disÂkriminatif. Keberadaan pasal itu menimbulkan praktek perlaÂkuan yang berbeda antara sekoÂlah umum dan RSBI/SBI. SeÂkoÂlah umum miskin fasilitas, guru-guru kurang memenuhi kualifikasi. Sedangkan RSBI fasilitasnya lengkap dan guru-gurunya berkualitas.
Dengan kondisi seperti itu, yang harus dilakukan saat ini bukan sekadar mengevaluasi RSBI, tetapi mengamandemen Undang-Undang Sistem PenÂdidikan Nasional sebagai sumÂber masalahnya.
Negara jangan tutup mata, karena pada praktiknya RSBI dan SBI hanya bisa diakses anak dari keluarga kaya karena biaya masuk dan iuran bulanÂnya sangat mahal. Walaupun ada beasiswa untuk keluarga misÂkin, kenyataannya anak-anak terseÂbut minder karena lingÂkungan sekitarnya anak-anak dari keÂluarga kaya. [Harian Rakyat Merdeka]
Populer
Rabu, 24 Desember 2025 | 07:26
Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01
Jumat, 26 Desember 2025 | 14:06
Kamis, 25 Desember 2025 | 21:48
Rabu, 24 Desember 2025 | 21:17
Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16
Senin, 22 Desember 2025 | 17:57
UPDATE
Senin, 29 Desember 2025 | 00:13
Minggu, 28 Desember 2025 | 23:40
Minggu, 28 Desember 2025 | 23:23
Minggu, 28 Desember 2025 | 23:05
Minggu, 28 Desember 2025 | 23:00
Minggu, 28 Desember 2025 | 22:44
Minggu, 28 Desember 2025 | 22:15
Minggu, 28 Desember 2025 | 21:40
Minggu, 28 Desember 2025 | 20:45
Minggu, 28 Desember 2025 | 20:28