RMOL. Proses perdamaian antara Palestina dan Israel hingga saat ini semakin tidak jelas. Persoalan perdamaian ini menjadi rumit terkait masalah status Jerusalem (Al-Quds).
Hal itu dikatakan Direktur Pusat Timur Tengah dan Dunia Islam (PKTTDI) Universitas Muhammadiyah Jakarta, Hery Sucipto, dalam seminar memperingati Hari Quds se-Dunia, bertema "Kampanye Internasional untuk Penyelamatan dan Pembebasan Jerusalem" di Kampus Uhamka, Limau, Jakarta, Rabu (9/5).
Lebih lanjut, dia menjelaskan, sebenarnya PBB telah memberikan mandat soal status Jerusalem, yaitu di bawah pengawasan internasional. "Tetapi, Israel tetap tak bergeming dan terus melakukan perluasan dan pembangunan pemukiman baru bagi imigran Yahudi internasional," tandasnya.
Sementara, sambung Hery, Palestina yang merdeka dan independen menghendaki Jerusalem, di mana terdapat masjidil Aqsha, sebagai ibukota negara. Demikian pula Israel, menginginkan Jerusalem sebagai ibukota negeri zionis itu.
Hery menjelaskan, Israel terus melakukan program dan aksi yang jahat untuk menguasai Jerusalem. Menurutnya, ada tiga aksi untuk merealisasikannya.
"Pertama, dengan melakukan yahudisasi Jerusalem, melalui cara-cara pembangunan pemukiman baru, pemindahan instansi pemerintah ke Jerusalem, pendirian sekolah dan sektor lainnya," jelasnya.
Selain itu, katanya, Israel juga melakukan pembangunan Kuil Sulaeman di atas tanah dimana berdiri masjidil Aqsha. Ini mutlak karena bagi mereka tak ada Kuil selama masjid Aqsha masih ada.
"Dan terakhir, dengan melakukan serangan terhadap masjidil Aqsha. Caranya dengan melakukan teror dan pembangunan terowongan di bawah masjid," pungkasnya, sembari menambahkan bahwa tiga poin tersebut menjadi tantangan umat Islam dan dunia internasional. [zul]