Aksi protes atas kebijakan rencana pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak sah-sah saja. Termasuk, ihwal Ketua Umum DPP PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri yang menginstruksikan kader dan masanya turun ke jalan menolak harga bahan bakar minyak. Hal itu tak lain atokritik demokratis terhadap pemerintah.
Begitu pendapat Direktur Lembaga Partisipasi Pembangunan Indonesia (Lespindo), Kasmin, kepada Rakyat Merdeka Online Senin, (26/3).
Tapi sialnya, menurut dia, para pemrotes tidak menelaah rencana kebijakan tersebut secara mendalam. Tidak dilihat, misalnya faktor resesi dunia yang berimbas terhadap ekonomi dalam negeri sebagai pemicu keharusan naikknya harga BBM. Sebaliknya, sangat disayangkan kebijakan tersebut dituduhkan sebagai kebijakan yang menguntungkan SBY sebagai presiden seorang.
"Pertanyaanya adalah jika SBY hanya mencari aman tentunya akan menahan kenaikan, toh SBY menjabat presiden hanya tinggal 2 tahun. Dia bisa memangkas sektor apa saja, seperti perampingan birokrasi yang memakan hampir 60 % belanja negara untuk gaji pegawai," kata dia.
Oleh karenanya, dalam hemat dia, kebijakan menaikkan harga BBM adalah untuk menjaga stabilitas ekonomi ke depan, bukan kebijakan aji mumpung. Sementara itu, menurutnya, kopensasi dari kebijakan kenaikan harga BBM dalam bentuk BLT dirasakan oleh masyarakat yang tingkat cluster-nya sebagai masyarakat miskin yang saat ini tercatat ada 30 juta orang atau 7,5 juta kepala keluarga.
Ia pun mengingatkan bahwa para pemegang mandat kebijakan politik yang bermain dalam kepentingan-kepentingan politik tertentu, atau akrobator-akrobator politik yang memanfaatkan momentum kenaikan harga BBM akan mendapat perlawanan keras masyarakat penerima BLT.
"Mereka bermain di isu awang-awang namun faktanya adalah rakyat miskin telah merasakan efek sumbsidi dari BLT. Di sisi lain, rencana kenaikan BBM ini kebijakan yang tidak populer namun ini adalah sikap bagi penyelamatan ekonomi Indonesia ke depan," imbuhnya. [zul]