Dampak yang paling kronis dari rencana kenaikan harga bahan bakar minyak BBM adalah inflasi. Berkaca pada kenaikan harga BBM pada tahun lalu, ketika itu inflasi mencapai 17 persen. Bahkan, sebelum harga BBM benar-benar naik, kenaikan harga-harga komoditas sudah terjadi.
Hal itu dikemukakan Ketua PP Pemuda Muhammadiyah Bidang Pemberdayaan Buruh Tani dan Nelayan, Dahnil Anzar Simanjuntak kepada Rakyat Merdeka Onlinepagi ini (Jumat, 9/3).
"Apalagi ketika harga BBM benar-benar dinaikkan diikuti oleh kenaikan tarif angkutan dan kemungkin oleh administered price lainnya yakni TDL (tarif dasar listrik). Akibatnya inflasi bisa berlipat," ungkapnya.
Ketika tidak ada pilihan lain kecuali menaikkan harga BBM, idealnya pemerintah fokus pada penanganan dampak akibat kenaikan itu. Dampaknya, tentu saja, adalah inflasi yang akan menggerus pendapatan masyarakat, baik kelas miskin dan menengah. Sehingga potensi kenaikan jumlah orang miskin sudah depan mata.
"BLT atau BLSM (sebagai kompensasi kenaikan harga BBM), memang membantu dalam jngka pendek. Tetapi sayangnya, belajar dari fakta penyaluran pada periode yang lalu, BLT seringkali tidak tepat sasaran dan menjadi bancakan kelompok, mulai tingkat elit sampai RT yang berkaitan dengan pendataan," jelas ekonom muda ini.
Menurut Dahnil, agar BLT tak sepat sasaran, dibutuhkan manajemen pengendalian yang lebih baik melalui sistem monitoring yang sustainable dan berjenjang. Monitoring harus dilakukan oleh kelompok civil society baik itu kampus, ormas, dan LSM yang memiliki jejaring SDM mumpuni dalam melakukan pengawasan.
"Namun, dalam jangka panjang kebijakan 'pemadam kebakaran' ala pemerintah ini harus disudahi melalui perbaikan kinerja APBN yang selama ini lebih diberatkan oleh belanja birokrasi dan tingginya tingkat korupsi, bukan oleh subsidi," demikian pengajar ekonomi di Universitas Sultan Ageng Tirtaya Banten ini. [zul]