RMOL. Menghadapi gugatan Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), PT Freeport Indonesia menambah amunisi dengan menambah tim pembela. Dalam persidangan, mereka pun meminta majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memberikan kesempatan untuk mengetahui posisi legal standing yang diajukan IHCS.
Sidang tadi siang (Selasa, 14/2) sendiri telah memasuki tahap pembuktian pokok perkara, yakni pembuktian yang diajukan oleh penggugat. Makanya, majelis hakim menolak permintaan untuk mempelajari posisi legal standing IHCS.
"Itu materi eksepsi, sudah terlewati agendanya, dan dalam persidangan sebelumnya kami majelis sudah membacakan putusan sela beserta pertimbangan hukumnya, itu sikap kami," kata Hakim Suko Harsono saat memimpin sidang.
Suko menambahkan kuasa hukum Freeport yang baru untuk berkoordinasi dengan kuasa hukum sebelumnya mengenai agenda persidangan yang sudah memasuki agenda pembuktian pokok perkara. Dalam kesempatan itu. IHCS melalui kuasa hukumnya mengajukan setidaknya delapam bukti tambahan melengkapi bukti awal sebelumnya yang diajukan sebelum sidang putusan sela.
Ditemui pasca persidangan, kuasa hukum IHCS Anton Febrianto, bahwa bukti-bukti yang diajukan pihaknya tentu saja bukti-bukti yang menguatkan dalil-dalil gugatannya.
"Salah satu bukti yang kita ajukan adalah Annual Report Tahun 2006 dan 2010 terkait laporan keuangan PT. Freeport yang menjelaskan bahwa dalam tahun itu Freeport hanya menyetorkan royalti emas kepada Pemerintah Indonesia sebesar 1 perse, dalam hal ini jelas melanggar PP 45/2003," katanya.
Sementara itu, Wakil Ketua IHCS Bidang Politik dan Jaringan, Ridwan Darmawan menjelaskan bahwa PT. Freeport menambah amunisi kuasa hukumnya dengan bergabungnya kantor Abdul Hakim Garuda Nusantara dalam penerima kuasa yang akan mewakili kepentingan PT. Freeport di persidangan lanjutan perkara ini.
"Ya, mereka (Freeport) menambah amunisinya," katanya.
Ridwan menyindir permintaan tim kuasa hukum PT Freeport kepada majelis hakim untuk diberikan kesempatan memahami legal standing menunjukkan bahwa mereka seakan tidak percaya dengan kapasaitas hakim-hakim yang memeriksa perkara ini.
"Pertanyaan itu jelas sekali bukan ditujukan kepada kami, tetapi ditujukan kepada majelis hakim yang memeriksa perkara ini. Apalagi majelis hakim sudah membacakan putusan selanya. Jadi sama saja mereka menolak putusan sela tersebut," jelas Ridwan.
IHCS dalam gugatannya menilai bahwa tarif royalti yang dibayarkan Freeport bertentangan dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45/ 2003 tentang Tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berlaku di Kementrian ESDM. Hal itu merupakan kesepakatan yang terdapat dalam Kontrak Karya antara Freeport dengan Pemerintah RI yang dibuat sejak 1991. Menurut IHCS, kontrak tersebut secara ekonomi merugikan Indonesia.
Menurut hitungan IHCS, total kerugian negara akibat pembayaran royalti dari Freeport yang lebih rendah dari ketentuan beleid PNBP itu sebanyak 256,2 juta dolar AS. Dalam gugatannya, IHCS menuntut biaya ganti rugi sebanyak 70 triliun. IHCS juga menuntut penghentian kegiatan pertambangan Freeport.
[dem]