ilustrasi/ist
ilustrasi/ist
RMOL.Merasa dibohongi dan dirugikan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terkait aturan pajak restoran, pengusaha Warung Tegal berencana melakukan gugatan judiÂcial review terhadap Peraturan Daerah (Perda) No 11 Tahun 2011 Tentang Pajak Restoran ke MahÂkamah Agung.
EDY Halomoan Gurning, saÂlah satu pengacara dari LemÂbaÂga Bantuan Hukum (LBH) JaÂkarta mengungkapkan, 55 orang perÂwakilan Warteg daÂtang ke kanÂtornya.
Mereka keberatan terÂhadap pemberlakuan Perda No 11 tahun 2011 Tentang Pajak Restoran.
Dalam pertemuan itu LBH JaÂkarta diminta sebagai kuasa huÂkumÂnya untuk mengajukan guÂgaÂtan judicial review terhadap Perda tersebut ke Mahkamah Agung. “TaÂpi sebelum judicial review, kaÂmi menyarankan untuk melakukan eksekutif review,†katanya.
Dijelaskan Edy, eksekutif reÂview merupakan upaya yang berÂtujuan untuk memperoleh penÂjelasan terhadap definisi warung yang masuk kena pajak. “Kita akan melakukannya ke Pemprov DKI 2-3 minggu ini,†ucapnya.
Edy mengungkapkan, penguÂsaha warteg siap memobilisir dan berbicara kepada pihak peÂmeÂrintah bahwa pemberlakuan pajak bagi warteg tidak layak.
Kalau upaya ini mengalami jalan buntu, maka judicial review ke Mahkamah Agung merupakan langkah hukum terakhir yang akan ditempuh.
Edy menjelaskan, pada perda sebelumnya, yakni Perda NoÂmor 8 Tahun 2003, definisi resÂtoran adaÂlah tempat menyantap makaÂnan dan/atau minuman yang diseÂdiakan dengan diÂpungut biaya.
Sedangkan pada Perda Nomor 11 Tahun 2011 diperluas dengan menyebutkan jenis-jenis yang terÂmasuk dalam kategori restoran, termasuk di antaranya warung.
“Definisi restoran perlu diperÂjelas, kalau tidak warteg, warung padang, warung bakso dan lainÂnya akan kena juga,†katanya.
Edy menjelaskan, pada perda baru itu terdapat aturan yang sangat diskriminatif. Misalnya, terhadap restoran yang pengeloÂlaannya satu manajemen dengan hotel tidak dikenai pajak,
Selain itu, lanjut Edy batas miÂnimal omzet kena pajak sebesar Rp 200 juta, setelah dihitung ternyata warung yang omzetnya Rp 550 ribu per hari maka akan kena pajak 10 persen tersebut.
“Seharusnya yang dinilai buÂkan brutonya, tapi dihitung ÂkeunÂtungannya omzet dikurangi moÂdal hasilnya keuntungan, itu yang benar,†ujarnya.
Edy menuturkan, subjek pajak dalam perda tersebut adalah orang-orang penikmat masakan warÂteg yang mayoritas dari maÂsyarakat lapisan menengah ke baÂwah. Jadi ketika dikenakan pajak 10 persen, maka mereka pun turut diÂbeÂbankan untuk membayar paÂjak, sehingga ini akan memÂberatkan pelanggan.
Kepala Dinas Pelayanan Pajak (DPP) DKI Jakarta, Iwan SeÂtiawandi mengatakan, pihaknya akan melakukan penelitian dan pendataan terhadap warteg seÂbelum bisa memastikan jumlah warteg yang dapat dikenakan pajak restoran sebesar 10 persen dari omzet per tahun sesuai Perda No 11/2011 tentang Pajak ResÂtoran.
Berdasarkan informasi dari DPP DKI, ada 11 ribu restoran dan 20 ribu warteg yang tersebar di seluruh wilayah Jakarta.
“Kami dapat informasinya dari KopeÂrasi Warteg. Untuk memasÂtikan itu, kami akan melakukan pendataan,†katanya.
Pendataan dilakukan untuk menghindari kesalahan peneraÂpan pajak restoran bagi warteg yang omzetnya di bawah Rp 200 juta per tahun.
Selama ini, usaha warteg di JaÂkarta bervariasi. Mulai dari yang sederhana, menengah hingÂga diÂkelola dengan manajemen usaha yang sangat baik.
Menurut dia, dengan adanya data pasti warteg beserta dengan omzet penjualan per tahun, maka daÂpat membantu DPP DKI untuk menentukan metodologi peÂmuÂngutan pajak.
Seperti diketahui, Pemprov DKI Jakarta akan melakukan pendataan warung tegal (warteg) yang tersebar di Jakarta sebagai persiapan untuk memungut pajak warteg sebesar 10 persen.
Pendataan warteg akan dilaÂkukan Unit Pelayanan Pajak DaeÂrah (UPPD) di 44 kecamatan selaÂma empat bulan, ditargetkan paÂda Juni 2012 sudah dapat dipeÂroÂleh data pasti jumlah warteg berikut omzet penjualannya.
Sosialisasi Melalui Dialog Interaktif
Sandy, Anggota DPRD DKI Jakarta
Alangkah baiknya bila DiÂnas Pelayanan Pajak DKI JaÂkarta dan Asosiasi Warteg duÂduk bersama untuk mencari titik temu terkait pemberlakuan pajak restoran.
Tujuan pungutan pajak pada warteg itu dalam rangka mengiÂkutÂsertakan para penguÂsaha warteg berkontribusi memÂbaÂngun DKI Jakarta meÂlalui pajak.
Apalagi, pemerintah daerah diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk meningkatkan pendapatan asli daerah.
Dalam penyerapan pajak, DPRD dan Pemprov DKI JakarÂta sepakat akan melihat perbeÂdaan lokasi dan kondisi di lapaÂngÂan dalam pemberlakuan peÂmuÂngutan pajak terhadap warteg.
Selama ini di lapangan baÂnyak warung yang beromzet beÂsar tapi mereka tetap meÂngatakan sebagai warteg kecil.
Walaupun konsumen warteg kebanyakan kalangan menegah ke bawah, tapi pemiliknya bukan termasuk dalam kedua golongan itu. Kalau omzetnya 500 ribu per hari artinya ia terÂmasuk kalangan menegah ke atas.
Sebelum atuaran itu diberÂlakukan kami bersama PemÂprov DKI juga akan melakukan sosiaÂlisasi melalui dialog interaktif.
Saya juga mengimbau kepaÂda Dinas Pelayanan Pajak saat pengumpulan data harus jujur dalam mengumpulkan data secara objektif. Jangan sampai ada kongkalikong antara petuÂgas di lapangan dengan penguÂsaha warteg.
Silakan Saja Menggugat
Cucu Ahmad Kurnia, Jubir Gubernur DKI Jakarta
Pengaturan pajak restoran sudah diberlakukan sejak lama. Adanya Perda No 11 Tahun 2011 ini dalam rangka peningÂkatan pendapatan daerah.
Perda Nomor 11 tahun 2011 menyebutkan yang termasuk objek pajak adalah pengusaha yang omzet per tahunnya miniÂmal Rp 200 juta atau per hariÂnya mencapai 500 hingga 600 ribu.
Ketentuan perda sebelumnya mengatur pengusaha restoran yang kena pajak adalah yang memiliki minimal penghasilan Rp 30 juta per tahun. Kalau menggunakan perda lama jusÂtru semua bisa dikatakan wajib pajak termasuk pengusaha warÂteg, tapi tidak dilakukan PemÂprov DKI Jakarta atas dasar kemanusiaan dan penilaian yang berkeadilan.
Kita kembalikan semuanya kepada warga negara yang tinggal di DKI Jakarta, apakah akan mematuhi aturan yang dibuat pemerintah atau tidak.
Pajak merupakan sebuah kepedulian sekaligus kewajiban warga negara dalam melakukan pembangunan.
Kalaupun ada yang keberatan dan ingin menggugat ke MahÂkamah Agung silakan saja, itu hak warga negara. Kami ini haÂnya sebagai operator saja.
Kami Hanya Minta Kejelasan
Arief Muktiono, Sekjen Ikatan Keluarga Besar Tegal
Para pengusaha Warteg suÂdah bertekad bulat memÂprotes pemÂberlakuan Perda Tentang Pajak ResÂtoran dengan menemÂpuh upaÂya hukum ke MahÂkamah Agung.
Kami merasa dibohongi GuÂbernur DKI Jakarta, Fauzi BoÂwo. Pada saat perda ini hendak dibuat di tahun 2010, dia meÂnyatakan tidak akan menanÂdatangani satupun peraturan yang tidak berpihak pada rakyat kecil.
Pernyataan itu disampaikan secara langsung kepada perÂwakilan IKBT yang menemuiÂnya. Tapi sekarang justru Perda yang tidak berkeadilan itu diÂtanÂdatangani.
Atas tindakan itu IKBT meÂlalui musyawarah sepakat unÂtuk meminta LBH Jakarta menjadi kuasa hukum untuk melakukan judicial review.
Selain itu kami juga akan melakukan eksekutif review ke Gubernur atau minta pengaÂwaÂsan Kemendagri untuk mencari solusinya.
Yang dibutuhkan pengusaha warteg sebenarnya adalah, kejelaÂsan kategori warteg yang dikenaÂkan pajak. Jangan karena ada lima warteg yang menonjol ramai dan terÂÂsebar di Jakarta, Pemprov meÂÂnyaÂmaratakan peÂmunguÂtannya. [Harian Rakyat Merdeka]
Populer
Rabu, 24 Desember 2025 | 07:26
Kamis, 25 Desember 2025 | 21:48
Jumat, 26 Desember 2025 | 14:06
Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01
Rabu, 24 Desember 2025 | 21:17
Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16
Senin, 22 Desember 2025 | 17:57
UPDATE
Rabu, 31 Desember 2025 | 02:05
Rabu, 31 Desember 2025 | 01:27
Rabu, 31 Desember 2025 | 01:15
Rabu, 31 Desember 2025 | 01:02
Rabu, 31 Desember 2025 | 00:28
Rabu, 31 Desember 2025 | 00:17
Rabu, 31 Desember 2025 | 00:05
Selasa, 30 Desember 2025 | 23:22
Selasa, 30 Desember 2025 | 23:19
Selasa, 30 Desember 2025 | 23:03