RMOL. Dunia penuh ironi. Sebuah tragedi justru mampu menjadi inspirasi dan awal dari perubahan besar. Kalau minus darah, air mata bahkan nyawa, belum tentu angin perubahan berhembus di belahan Afrika Utara, Timur Tengah, Asia, dan tak lama lagi, mungkin di Indonesia.
Kalau tak diawali aksi bakar diri seorang pedagang sayuran, Muhammed Bouazizi (26) Desember tahun lalu, belum tentu ada gelombang massa yang berhasil menumbangkan penguasa Tunisia yang sudah berkuasa 23 tahun. Demonstrasi rakyat Tunisia menumbangkan Presiden Zine al-Abidine Ben Ali adalah gerakan rakyat yang pertama kali menjatuhkan penguasa di Arab.
Aksi bakar diri pun jadi menginspirasi orang-orang yang haus perubahan. Walau dipandang khalayak penuh nuansa keputusasaan, frustasi dan rendah diri, dalam waktu hitungan hari modus bakar diri sebagai protes sosial menular ke Mesir dan Aljazair.
Di Mesir, pria misterius membakar dirinya sendiri pada 17 Januari lampau di depan gedung parlemen. Aksi itu adalah wujud protes keras terhadap kondisi hidup yang semakin buruk di negeri para firaun.
Menteri Keuangan Mesir Youssef Boutros-Ghali meremehkan aksi itu sebagai upaya untuk meniru hal-hal yang tidak akan terjadi di Mesir. Pejabat itu yakin, Mesir berbeda dari Tunisia. Faktanya, warga Arab di Mesir mengeluhkan banyak hal yang sama dengan rakyat Tunisia, seperti angka kemiskinan yang melangit, kenaikan harga-harga barang pokok, sempitnya lapangan pekerjaan dan penindasan rezim otoriter. Dan akhirnya, rezim otoriter Mubarak yang sudah berkuasa lebih tiga dekade pun hancur.
Satu hari sebelumnya, seorang pria Aljazair bernama Mohcin Bouterfif (37) tewas mengenaskan setelah membakar dirinya sendiri di depan balai kota di Boukhadra, timur Tebessa dekat perbatasan Tunisia. Menurut laporan media lokal, dalam lima hari setidaknya empat warga Aljazair berdemonstrasi menentang rezim dengan membakar diri.
Di kawasan dataran tinggi Tibet, Asia Timur, aksi bakar diri jamak dilakukan para bhiksu. Terakhir terjadi pada awal Oktober lalu. Dua remaja Tibet, Choepel dan Khayang, membakar dirinya sendiri sebagai bagian dari protes atas kebijakan Republik Rakyat China di tanah kelahiran mereka. Pada pertengahan bulan Agustus lalu, seorang biksu Tibet juga dikabarkan membakar dirinya sendiri di daerah otonomi etnis Tibet di Barat Cina. Pemimpin spiritual Tibet, Dalai Lama, sendiri mengaku khawatir atas meningkatnya aksi bakar diri para biksu sebagai bentuk protes mereka terhadap kekuasaan Cina di Tibet.
Memang masih gelap motif di balik aksi bakar diri di depan Kantor Presiden SBY petang kemarin. Meski demikian, banyak dugaan bahwa pemilihan lokasi di depan simbol negara adalah sinyal politis dari aksi pria yang hingga kini belum teridentifikasi identitasnya itu. Sementara kepolisian mengatakan sudah hampir pasti bahwa motif bunuh diri ada di balik tragedi yang baru kali pertama terjadi di Medan Merdeka Utara tersebut. Apapun motifnya, tindakan bakar diri bisa dipastikan upaya bunuh diri dengan cara yang sangat radikal dan berani. Secara umum, kasus bunuh diri di Indonesia termasuk tinggi di Asia. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia, tahun 2005 ada 50 ribu penduduk Indonesia yang bunuh diri. Di Jakarta, berdasarkan data dari Polda Metro Jaya, tahun 2009 kejadian bunuh diri di Jakarta mencapai 165 kasus. Dan pada 2010 angka bunuh diri meningkat jadi 176 kasus.
Ekonom Rizal Ramli menyatakan, kondisi ekonomi yang tidak menentu dan semakin menekan, memaksa rakyat berhemat atau berutang, bahkan ambil jalan pintas dengan bunuh diri. Fakta lapangan itu dianggapnya jadi bukti bahwa pemerintah telah melakukan kebohongan publik yang luar biasa. Realitas itu disebutnya menyakitkan.
Tindakan bakar diri kemarin, mungkin saja dilakukan secara sangat sadar karena polisi menemukan ada persiapan matang dari si pelaku berupa beberapa botol literan berisi bensin. Jika demikian, pilihan tempat bunuh diri pun dilakukan dengan sadar.
Yang pasti, tindakan membakar diri mampu menghentak rakyat yang sedang tertidur dalam penindasan seperti terjadi di Tunisia. Ironis memang karena nuansanya adalah keputusasaan dan frustasi mendalam. Namun bagi kalangan tertentu, pengorbanan nyawa untuk perbaikan nasib umat menjadi pilihan terakhir ketika penguasa bersekutu dengan kebebalan.
[ald]