Berita

presiden sby/ist

Adhie M Massardi

Arroyo Bukan Yudhoyono

Oleh Adhie M. Massardi
RABU, 30 NOVEMBER 2011 | 16:06 WIB

GLORIA Macapagal Arroyo beberapa tahun silam pernah bernasib serupa Susilo Bambang Yudhoyono. Menjelang musim Pilpres 2004 keduanya sama-sama mengaku tidak akan "nyapres". Tapi ketika akhirnya ikut Pilpres, keduanya memenangi pertarungan dan jadi presiden di negara masing-masing.

Arroyo dan Yudhoyono juga dikenal sama-sama piawai membangun citra. Tapi Arroyo bukan Yudhoyono. Sebab gaya tebar pesona Arroyo menyitrakan pemimpin wanita yang kuat. Lihat saja, ketika salah seorang warganya yang jadi TKW di Arab Saudi diancam hukuman mati, ia langsung datang ke sana untuk membebaskan pahlawan devisa negaranya. Arroyo memang sempat dijuluki "wanita terkuat" di Asia.

Tapi perempuan yang oleh majalah Forbes pernah didaftar dalam tabel "100 wanita paling digdaya" di muka bumi itu, sekarang pucat pasi dan tak punya daya: menjadi pesakitan penegak hukum. Selain karena korupsi, KPU Filipina juga akhirnya berani membongkar skandal kecurangan Arroyo dalam Pemilu lalu. Ancaman hukumannya bisa seumur hidup. Padahal ia sudah 64 tahun.

Kita belum tahu bagaimana akhir nasib Arroyo, penguasa yang oleh bangsanya dianggap melalaikan amanat rakyat. Kita hanya tahu, dan layak menaruh hormat, pada semangat rakyat negeri seberang utara itu dalam menegakkan hukum, menerapkan pasal universal: Setiap warga negara sama di hadapan undang-undang.

Kesadaran bangsa Filipina akan perlunya mengadili dan menghukum penguasa yang korup dan abuse of power muncul setelah sebelumnya alpa mengadili diktator Marcos yang dibiarkan ngungsi ke Hawaii.

Konon, kata pepatah, hanya keledai (dan laki-laki) yang bisa terperosok ke lubang yang sama berkali-kali. Rakyat Filipina rupanya tidak mau disebut bangsa keledai. Apalagi dibilang bangsa kerbau. Maka ketika Presiden Joseph Estrada (2001) ketahuan korupsi, segera diadili dan diganjar hukuman. Sekarang Arroyo, pengganti Estrada, sedang dalam proses hukum.

Bangsa Indonesia memang belum pernah punya pengalaman mengadili dan menghukum penguasa yang korup dan abuse of power. Semangat “mikul dhuwur mendem jero” terlanjur merasuk dalam sanubari rakyat. Akibatnya penguasa, apalagi yang meraih kekuasaannya dengan cara-cara tidak halal, mencurangi Pemilu, merasa leluasa untuk menguras harta negara dan berperilaku abuse of power.

Bila rakyat tak mau belajar dari kesalahan dalam memperlakukan rezim yang korup, sebaliknya penguasa. Mereka lekas belajar dari penguasa negara lain yang diadili rakyatnya seperti Saddam Hussein (Irak), Khadafi (Libya), dan Mubarak (Mesir). Tentu saja untuk menyempurnakan kejahatannya agar tidak bernasib malang seperti rekannya di seberang lautan.

Cara menyelematkan diri penguasa di era demokrasi seperti sekarang ini cukup mudah. Uang hasil korupsi triliun rupiah sebagian dipakai untuk membeli suara. Rakyat yang sedang susah makan niscaya tak akan keberatan menjual suaranya dengan harga dua mangkuk bakso (Rp 50 ribu).

Dengan kekuasaan politik yang tersisa bisa dipakai membuat kebijakan pura-pura populis. Memakai anggaran APBN untuk bagi-bagi uang kepada rakyat. Tetap mengendalikan orang-orang di KPU. Memainkan hasil akhir perolehan suara. Tidak perlu khawatir karena institusi hukum toh masih dalam kendali.

Maka kalau undang-undang tidak memungkinkan lagi untuk ikut kompetisi dalam Pilpres, toh kita masih bisa melanjutkannya dengan memajukan istri, anak, ipar, atau kroni terpercaya. Sang penguasa bisa saja kemudian memilih jabatan Menteri Senior, seperti Lee Kuan Yew di Singapura. Sehingga rezim pun masih bisa berlanjut.

Kekuasaan aman. Hasil korupsi aman untuk 8 turunan. Tak ada kisah pengadilan rezim. Tinggal Parpol lain dan tokoh-tokohnya yang semula bernafsu jadi penguasa karena terbuai hasil survei, gigit jempol.

Kejahatan di negeri ini memang selalu berakhir : happy ending… [***]


Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Kebun Sawit Milik POSCO Lebih dari Dua Kali Luas Singapura

Senin, 08 Desember 2025 | 19:12

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Bahlil Minta Maaf Usai Prank Presiden Prabowo

Selasa, 09 Desember 2025 | 18:00

Ini Susunan Lengkap Direksi dan Komisaris bank bjb

Selasa, 09 Desember 2025 | 17:12

Pidato Prabowo buat Roy Suryo: Jangan Lihat ke Belakang

Senin, 08 Desember 2025 | 12:15

UPDATE

BNN-BNPP Awasi Ketat Jalur Tikus Narkoba di Perbatasan

Jumat, 19 Desember 2025 | 00:09

Perkuat Keharmonisan di Jakarta Lewat Pesona Bhinneka Tunggal Ika

Jumat, 19 Desember 2025 | 00:01

Ahmad Doli Kurnia Ditunjuk Jadi Plt Ketua Golkar Sumut

Kamis, 18 Desember 2025 | 23:47

Ibas: Anak Muda Jangan Gengsi Jadi Petani

Kamis, 18 Desember 2025 | 23:26

Apel Besar Nelayan Cetak Rekor MURI

Kamis, 18 Desember 2025 | 23:19

KPK Akui OTT di Kalsel, Enam Orang Dicokok

Kamis, 18 Desember 2025 | 23:12

Pemerintah Didorong Akhiri Politik Upah Murah

Kamis, 18 Desember 2025 | 23:00

OTT Jaksa oleh KPK, Kejagung: Masih Koordinasi

Kamis, 18 Desember 2025 | 22:53

Tak Puas Gelar Perkara Khusus, Polisi Tantang Roy Suryo Cs Tempuh Praperadilan

Kamis, 18 Desember 2025 | 22:24

Menkeu Purbaya Bantah Bantuan Bencana Luar Negeri Dikenakan Pajak

Kamis, 18 Desember 2025 | 22:24

Selengkapnya