Berita

ilustrasi, pembalak liar

X-Files

Bareskrim Periksa Sembilan Tersangka Pembalak Liar

Kirim Tim Ke Polda Kalimantan Barat
SELASA, 29 NOVEMBER 2011 | 09:00 WIB

RMOL. Polisi menangkap sembilan tersangka kasus pembalakan liar di Kalimantan Barat. Untuk mensupervisi penanganan kasus ini, kemarin Bareskrim Polri mengirim tim gabungan.

Hasil sementara Operasi Hutan Lestari (OHL) 2011 ini disam­pai­kan Kepala Divisi Humas Polri Irjen Saud Usman Nasution. Me­nurutnya, pemilihan lokasi ope­ra­si ditentukan setelah mem­pe­lajari pola kerja mafia kayu dan potensi kerawanan yang ada.

Dia mengatakan, pola operasi mafia kayu Kalbar  sangat rapi. Memanfaatkan batas wilayah dengan Malaysia, para pencuri kayu kerap bisa mudah keluar-masuk negara tetangga Indonesia itu. Bukan hanya Akses masuk Ma­laysia, berkat kerjasama de­ngan kelompok tertentu, kayu curian itu bisa langsung disel­un­dupkan ke negara lain.

Tingkat kerawanan akibat peng­gundulan hutan Kalbar juga menjadi fokus kepolisian dalam menentukan operasi. Dia menilai, kon­disi hutan Kalbar sudah sa­ngat memprihatinkan. Jika proses pe­negakan hukum tak dilak­sa­na­kan secara tegas, dampak pem­ba­batan hutan Kalbar bisa me­luas.

Disinggung mengenai barang bukti yang disita dalam OHL 2011, ia menjelaskan, dari tiga ter­sangka yang ditangkap tim Bareskrim, polisi menyita 2450 batang dan 500 meter kubik kayu. Lebih jauh,  Polda Kalbar yang bergabung dalam OHL 2001 ini menangkap enam tersangka. Keenam tersangka adalah, S, O, ME, S,E, dan A.

Dari keenam tersangka, Polda Kalbar menyita sedikitnya 3190 batang kayu. Saud menegaskan, tersangka dijerat Pasal 50 ayat (3) huruf  (f) dan (h) UU No.41 Ta­hun 1999 tentang Kehutanan. An­caman hukuman dari ketentuan pasal tersebut paling lama 9 ta­hun. Saat ini penyidikan para tersangka dilakukan di Polda Kalbar.

Dia memastikan, operasi akan dilanjutkan. Namun ia menolak menyebut daerah lain yang dija­dikan target operasi berikutnya. Digarisbawahi, OHL dilak­sa­na­kan karena masih adanya dugaan penebangan liar di sejumlah wi­layah. Padahal sebelumnya, pe­merintah sudah tidak mener­bit­kan izin penebangan dan izin konsesi atau pemanfaatan hasil hutan secara serampangan.

Hal senada disampaikan Wakil Direktur V Tindak Pidana Ter­tentu (Wadir-V Tipiter) Ba­res­krim Polri Kombes Alek Man­da­lika. Saat dikonfirmasi kemarin, Alek mengaku, OHL 2011 dilak­sanakan secara tertutup. “Pola operasi dilakukan secara silent,” ujarnya.

Ia pun menolak membeberkan siapa dan daerah mana yang men­jadi target operasi lanjutan. “Saya tidak bisa menyebutkan daerah ma­na yang menjadi fokus operasi kita. Nanti bisa lari tersangkanya. Operasi ini akan berkesinam­bung­an. Hari ini tim gabungan Bares­krim sudah berangkat ke Polda Kalbar untuk menin­dak­lanjuti kasus ini,” katanya, kemarin.

Bekas Direskrim Polda Riau itu menjawab, hasil operasi yang masih dinilai minim oleh ber­bagai kalangan, menjadi catatan kepolisian. Karena itu, lanjut bekas Kabidhumas Polda Metro Jaya tersebut, sambil memproses hukum tersangka, operasi tetap dilanjutkan.

Dengan asumsi itu, ia yakin ke­polisian bakal mengoleksi kayu sitaan dan menambah jumlah tersangka. Apalagi, selama ini masih banyak daftar nama mafia kayu yang menjadi target buruan polisi.

Terkait nama-nama cukong yang jadi target kepolisian, sum­ber penyidik di lingkungan Direktorat V-Tipiter Bareskrim meng­informasikan, ada sejumlah cu­kong  yang biasa mengatur bis­nis kayu ilegal dari luar wilayah Ind­onesia. “Mereka bermukim di Malaysia dan Singapura.”

Ia menyebut, aksi pemba­lakan liar oleh cukong-cukong tersebut tak hanya meliputi wilayah Kal­bar, tapi nyaris di seluruh wilayah Ka­limantan.  Oleh karenanya, du­gaan kerugian negara dalam ka­sus ini mencapai triliunan ru­piah. Disoal mengenai tim ga­bungan yang dikirim ke Kalbar, dia menyatakan, tim tersebut ter­diri dari personel gabungan.

Ada yang berasal dari penyidik Polri dan ada juga yang dari penyidik pegawai negeri sipil (PPNS). Dia menyebutkan, selain men­dukung operasi yang dila­ku­kan, tim  gabungan mengemban tugas khusus mempercepat pro­ses pemberkasan perkara ter­sang­ka. “Kasus pembalakan ini kom­plek. Selain menyangkut hukum lingkungan, juga perkara pidana yang bisa masuk ranah korupsi. Jadi tim penyidiknya harus leng­kap dan kuat,” terangnya.

Dengan begitu, sambungnya, kemungkinan lolosnya tersangka dan barang bukti jadi kecil.

Tak Tuntas Karena 86

Dasrul Djabar, Angota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Das­rul Djabar tidak heran ma­sih maraknya dugaan korupsi di sektor kehutanan, khususnya illegal logging atau pembalakan liar yang sangat merugikan ne­gara. Sebab, menurut dia, selain oknum pejabat pemerintah dan pengusaha, oknum pejabat pe­negak hukum juga sudah kian menjamur menjadi beking da­lam persoalan pembalakan liar seperti itu.

“Sejak lama persoalan kayu itu sudah marak, dan hampir tak per­nah ada yang tuntas dise­lesaikan. Penyebabnya, ya su­dah ada kerja sama antara me­reka yang terlibat. Mereka su­dah 86, selesai di bawah ta­ngan,” tandas anggota DPR dari Partai Demokrat ini, ke­marin.

Karena itu, menurut Dasrul, sebaiknya ada tindakan tegas bagi penegak hukum yang ter­bukti melakukan tindak pidana korupsi dalam illegal logging. “Copot dan pecat semua yang ber­main dalam pembalakan hutan itu. Kalau tidak begitu, yakinlah tidak akan ada peru­bahan, hutan kita akan kian han­cur dan masa depan anak cu­cu kita pun terancam,” ujarnya.

Dasrul juga menekankan per­lunya penindakan bagi pejabat kehutanan yang turut terlibat. “Tidak cukup hanya dipecat, te­tapi harus diproses hukum. Di­penjarakan,” tegas Wakil Ketua Fraksi Demokrat DPR ini.

Miliaran rupiah yang lenyap akibat korupsi sektor kehutanan itu, lanjut Dasrul, tidak pernah ber­manfaat bagi keuangan ne­gara, apalagi bagi pembangunan manusia Indonesia. “Tidak ada untungnya, semua masuk kan­tong pribadi. Itu harus dihen­tikan. Uang yang banyak dari sek­tor itu pun tidak perlu, ka­rena bangsa kita akan menang­gung akibatnya berpuluh-puluh, bahkan beratus-ratus tahun ke depan,” ingatnya.

Aparat penegak hukum harus menunjukkan bahwa uang dari illegal logging dihentikan, serta semua yang terlibat ditindak tegas. “Harus diproses hukum, pe­mecatan, pencopotan dila­ku­kan, lalu proses hukumnya pun harus berjalan,” katanya.

Sudah Jadi Rahasia Umum

Hendrik Siregar, Aktivis Jatam

Pemerhati dan aktivis ling­kungan hidup dari LSM Ja­ring­an Advokasi Tambang (Jatam) Hendrik Siregar mengaku su­dah lama menginvestigasi ber­bagai pelanggaran dan korupsi sektor kehutanan dan tambang di Kalimantan. Menurutnya, banyak aparat pemerintah dan banyak aparat penegak hukum di sana terlibat dan bermain un­tuk mendapatkan keun­tungan pribadi.

Pembalakan hutan, yang se­lanjutnya juga masuk pada pengelolaan tambang illegal, marak terjadi di Bumi Borneo. Akan tetapi, tidak ada upaya serius untuk menghentikannya. “Tidak hanya satu dua pejabat pemerintah dan aparat penegak hukum yang bermain. Itu sudah menjadi rahasia umum di sana. Nyatanya, tetap dibiarkan,” ujar Manajer Kampanye LSM Jatam ini, kemarin.

Menurut Hendrik, selain pe­ri­laku korupsi yang kian men­darah daging dalam diri banyak pejabat pemerintah dan banyak penegak hukum, regulasi pe­ngelolaan hutan dan pene­bangan hutan pun sangat rawan diselewengkan.

“Regulasi yang mereka per­gunakan sangat besar pe­luang­nya untuk bermain. Sangat tidak konsisten, sesuai kepen­tingan pribadi masing-masing. Itu sangat berbahaya,” ujarnya.

Dia berharap, ada gerakan yang signifikan untuk meng­hen­tikan perilaku korup pejabat pemerintah dan aparat penegak hukum di sana. “Tidak cukup hanya pemecatan atau dipindah tu­gas, tetapi juga harus ada sanksi hukum. Mesti ada sanksi yang memberikan efek jera,” tan­dasnya.

Selain proses hukum di pe­ngadilan, Hendrik setuju agar mereka yang terlibat juga diberi ganjaran sanksi moral. “Di sana, penegakan hukum sudah tidak bisa dipercaya. Sepertinya su­dah seperti masuk hukum rim­ba. Saya setuju diberikan sanksi moral bagi mereka-mereka yang terlibat,” katanya.

Jenis sanksi moral itu, lanjut Hendrik, tidak lantas melepas sanksi pidana yang juga harus dijatuhkan. “Harus ada upaya mempermalukan mereka. Sank­si moral misalnya, dengan meng­h­ukum kerja sosial selama se­tahun atau berapa lama, de­ngan diketahui masyarakat. Biar publik tahu,” ucapnya.

Tak lupa, Hendrik meng­ingat­kan, agar regulasi pe­nge­lolaan hutan dan tambang dibe­nahi. “Regulasi itu tidak boleh dibiarkan begitu saja. Harus te­gas dan konsisten, jangan sam­pai dijadikan peluang untuk me­raup keuntungan pribadi-pri­b­adi yang kerap meng­atasna­ma­k­an masyarakat,” ujarnya. [Harian Rayat Merdeka]


Populer

Mantan Jubir KPK Tessa Mahardhika Lolos Tiga Besar Calon Direktur Penyelidikan KPK

Rabu, 24 Desember 2025 | 07:26

Mantan Wamenaker Noel Ebenezer Rayakan Natal Bersama Istri di Rutan KPK

Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Sarjan Diduga Terima Proyek Ratusan Miliar dari Bupati Bekasi Sebelum Ade Kuswara

Jumat, 26 Desember 2025 | 14:06

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

8 Jenderal TNI AD Pensiun Jelang Pergantian Tahun 2026, Ini Daftarnya

Rabu, 24 Desember 2025 | 21:17

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

UPDATE

Program Belanja Dikebut, Pemerintah Kejar Transaksi Rp110 Triliun

Sabtu, 27 Desember 2025 | 08:07

OJK Ingatkan Risiko Tinggi di Asuransi Kredit

Sabtu, 27 Desember 2025 | 07:48

Australia Dukung Serangan Udara AS terhadap ISIS di Nigeria

Sabtu, 27 Desember 2025 | 07:32

Libur Natal Pangkas Hari Perdagangan, Nilai Transaksi BEI Turun Tajam

Sabtu, 27 Desember 2025 | 07:17

Israel Pecat Tentara Cadangan yang Tabrak Warga Palestina saat Shalat

Sabtu, 27 Desember 2025 | 07:03

Barzakh itu Indah

Sabtu, 27 Desember 2025 | 06:38

Wagub Babel Hellyana seperti Sendirian

Sabtu, 27 Desember 2025 | 06:21

Banjir Cirebon Cermin Politik Infrastruktur Nasional Rapuh

Sabtu, 27 Desember 2025 | 06:13

Jokowi sedang Balas Dendam terhadap Roy Suryo Cs

Sabtu, 27 Desember 2025 | 06:06

Komdigi Ajak Warga Perkuat Literasi Data Pribadi

Sabtu, 27 Desember 2025 | 05:47

Selengkapnya