RMOL. Perubahan selalu datang dari Timur. Jika perubahan terjadi di bumi Cenderawasih, maka perubahan serupa akan melanda seluruh Indonesia.
Demikian keyakinan Dorus Wakum, seorang putra daerah Papua yang giat sebagai aktivis HAM dan anti-korupsi. Siang tadi (Kamis, 24/11), Dorus bersama beberapa rekannya aktivis permasalahan Papua mendatangi kantor redaksi Rakyat Merdeka Online, di gedung Graha Pena, Palmerah, Jakarta.
Dorus menyebut, persoalan kemanusiaan dan kesejahteraan rakyat di Papua tak terlepas dari kehadiran PT Freeport Indonesia. Maka tidak heran kalau salah satu hasil Kongres Rakyat Papua III di Jayapura, Oktober lalu, adalah tuntutan untuk segera menutup PT Freeport Indonesia (PT FI) di Timika, Kabupaten Mimika, Papua. Kongres itu sendiri berakhir dengan kekerasan dan penangkapan 300-an pesertanya oleh aparat keamanan, karena mendeklarasikan sebuah negara di dalam negara.
Dorus mengkritik pemerintah pusat, terutama Presiden, Menteri Tenaga Kerja dan Menteri Energi Sumber Daya Mineral, yang dipandangnya tidak punya itikad baik untuk menyelesaikan sengketa antara enam ribu buruh dengan manajemen PT Freeport.
Bahkan, hingga hari ke-69 buruh mogok sejak 15 September, pemerintah masih kelihatan tak berdaya untuk mewakili aspirasi buruh. Pekerja meminta kenaikan gaji yang layak atau sesuai dengan gaji karyawan perusahaan tambang terbesar asal Amerika Serikat itu di negara-negara lain.
Selama aksi mogok berjalan, tuntutan buruh turun bertahap dari US$ 44 ke US$ 17 sampai akhirnya menjadi US$ 7,5 per jam. Padahal, upah terendah karyawan PT FI adalah US$ 2,1 per jam. Sedangkan di Chile, karyawan Freeport digaji paling rendah US$ 19,5 per jam. Standar upah karyawan PT Freeport International adalah US$ 32 sampai US$ 230 per jam. Padahal, produksi dan keuntungan PT FI terbesar dibandingkan perusahaan PT Freeport di negara lain. Dan kemampuan karyawan PT FI sama dengan pekerja Freeport International.
"Negara ini harusnya bertanggungjawab. Buruh PT Freeport Indonesia adalah warga negara Indonesia yang juga harus dibela," tegas Dorus.
Menurutnya, janji Menakertrans Muhaimin Iskandar untuk menaikkan gaji minimum karyawan PT FI menjadi menjadi dua kali lipat yaitu US$ 4 per jam hanyalah
copy paste dari janji yang diberikan Presiden Direktur dan CEO PT Freeport Indonesia Armando Mahler.
"Imin hanya
copy paste Armando. Jadi siapa sebenarnya yang berkuasa di Papua, Freeport atau pemerintah Indonesia?" gugatnya.
Konflik yang disebabkan oleh kehadiran Freeport itu kini semakin melebar, karena peristiwa-peristiwa penembakan misterius di areal operasi PT FI semakin sering terjadi pascamogok buruh September lalu.
"Di Papua ada pembiaran. Densus 88 begitu hebat menangkapi teroris dimana-mana, tapi penembak di mil 37-38 saja tidak bisa ditangkap sampai sekarang," katanya.
Sementara aktivis Forum Kerjasama LSM Papua (Foker) Sinnal Blegur di kesempatan sama mengatakan, sebetulnya pemantik mogok kerja enam ribuan buruh PT FI adalah data yang didapatkan karyawan bahwa terdapat perbedaan sangat jomplang antara gaji karyawan PT FI dengan Freeport International. Sinnal terangkan, Freeport punya cacat hukum dan politik dari sejarah eksplorasinya.
Kontrak karya dengan Freeport pada tahun 1967 yang ditandatangani pemerintahan Soeharto itu tidak sah, karena antara tahun 1963 sampai Penentuan Pendapat Rakyat 1969, Papua yang ketika itu bernama Irian Barat (ketika itu) masih berstatus daerah perselisihan internasional.
Hingga kini pun, masyarakat luas sulit sekali mendapatkan data sah pemasukan riil PT FI sejak berdirinya. Sedangkan Indonesia sejak 1967 hanya punya 1 persen saham di perusahaan yang sejauh ini diketahui memiliki pemasukan Rp 114 triliun per harinya itu.
"Tuntutan para buruh untuk meminta kenaikan gaji sangat rasional," lugasnya.
Dorus mengatakan, seruan Papua merdeka adalah satu-satunya cara untuk menaikkan posisi tawar rakyat, agar pemerintah mau bersikap tegas pada PT FI atau menutup Freeport sama sekali untuk kemudian dikelola orang Papua sendiri.
"Yang bikin mau merdeka itu karena kami capek dibunuhi aparat keamanan, kami capek ekonomi terpuruk. Merdeka itu
bargaining politic kami untuk tutup Freeport," sahutnya.
Dia sekali lagi meminta pemerintah pusat agar tidak lagi mengirimi pasukan bersenjata ke Papua, karena persoalan utama di Papua adalah kesejahteraan rakyat yang buminya penuh emas dan kekayaan alam lainnya, namun dikeruk habis oleh asing. Sementara, warga Papua hidup miskin.
"SBY katakan tidak ada penambahan pasukan dan operasi militer, tapi faktanya selalu ada pendropan pasukan di Papua," sesalnya.
Dia tegaskan bahwa perjuangan untuk menutup Freeport bukanlah demi kepentingan warga asli Papua semata, tapi untuk semua manusia yang hidup dan mencari nafkah di tanah Papua. Dia yakin, jika pemerintah berhasil menjinakkan Freeport, maka perubahan akan terjadi juga pada kontrak karya seluruh korporasi pertambangan asing di bumi Nusantara.
"Perjuangan ini bukan untuk warga asli saja, tapi juga seluruh warga negara yang hidup di Papua. Saya yakin perubahan itu selalu datang dari Timur, dan jika terjadi perubahan di Papua maka perubahan besar terjadi di seluruh Indonesia," tutur Dorus Wakum mantap.
[ald]