Berita

ilustrasi

Mana Mungkin Buktikan Kentut Pakai Kuitansi!

SABTU, 19 NOVEMBER 2011 | 09:44 WIB | LAPORAN: ALDI GULTOM

RMOL. Kisah jual beli pasal di gedung DPR bukan cerita baru. Disebut sebagai cerita lama yang ibarat kentut, dia tercium tapi tak kasatmata.

Demikian dikatakan pengamat parlemen Sebastian Salang dalam acara Polemik Sindo Radio bertajuk "Pasal, Ente Jual Ane Beli" di Warung Daun, Cikini, Jakarta, Sabtu (19/11).

"Ini praktik yang tak mudah dibuktikan. Praktik jual beli pasal ini bukan kayak beli cabe di pasar yang konvensional. Ini praktik sangat canggih yang tak mudah dibuktikan," katanya.


Dia pun menjabarkan beberapa contoh kasus. Pada pembahasan UU Kesehatan, ada pihak yang inginkan UU itu tidak disahkan, ada yang inginkan diundur, dan ada yang ingin cepat dituntaskan.

"Akhirnya dihilangkanlah satu ayat. Sempat ada satu anggota yang masuk Badan Kehormatan dalam kasus itu, tapi kelanjutannya kasus itu tidak kita tahu," ucapnya.

Contoh lain, dimana proses pembahasan UU Otoritas Jasa Keuangan yang berjalan begitu lama 9,5 sampai 10 tahun. Lalu muncul berita heboh dan rekaman yang menuding DPR menuntut uang dari pihak Bank Indonesia demi pengesahan UU itu.

"Ini contoh dan silakan menyimpulkan. Ini praktik yang modelnya sangat canggih dan susah dibuktikan. Kalau Sebastian Salang diminta tunjukkan kuitansi, maka tidak mungkin, karena demikian canggih," ucapnya.

Pernyataan Mahfud itu disebutnya sebagai peringatan dini, bahwa bangsa ini dalam keadaan bahaya kalau kebijakannya penuh transaksi.

Ada modus kalau UU itu dianggap bahaya oleh stakeholder, maka UU itu tak jadi disahkan. Maka kalau tak jadi, itu akan disebut sebagai prioritas DPR, tapi nyatanya tidak pernah dibahas tiap tahun. Strategi berikutnya, UU disahkan tapi pasalnya kompromis sehingga tak terlalu merugikan stakeholder.

"Persisnya saya bukan bilang jual beli pasal, tapi jual beli kepentingan. Misalnya UU Minerba. Apa kepentingan bangsa dan pengusaha? Itu kan luar biasa besarnya. Ini bukan urusan seorang anggota saja, bukan partai saja tapi sebuah pertarungan kepentingan yang sangat besar, dimana DPR bisa gagal mempertahankan kepentingan nasional," jelasnya.[ald]

Populer

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

OTT Beruntun! Giliran Jaksa di Bekasi Ditangkap KPK

Kamis, 18 Desember 2025 | 20:29

Tamparan bagi Negara: WNA China Ilegal Berani Serang Prajurit TNI di Ketapang

Sabtu, 20 Desember 2025 | 09:26

Tunjuk Ara di Depan Luhut

Senin, 15 Desember 2025 | 21:49

Makin Botak, Pertanda Hidup Jokowi Tidak Tenang

Selasa, 16 Desember 2025 | 03:15

UPDATE

Bawaslu Usul Hapus Kampanye di Media Elektronik

Minggu, 21 Desember 2025 | 11:26

Huntap Warga Korban Bencana Sumatera Mulai Dibangun Hari Ini

Minggu, 21 Desember 2025 | 11:25

OTT Jaksa Jadi Prestasi Sekaligus Ujian bagi KPK

Minggu, 21 Desember 2025 | 11:11

Trauma Healing Kunci Pemulihan Mental Korban Bencana di Sumatera

Minggu, 21 Desember 2025 | 10:42

Lula dan Milei Saling Serang soal Venezuela di KTT Mercosur

Minggu, 21 Desember 2025 | 10:35

Langkah Muhammadiyah Salurkan Bantuan Kemanusiaan Luar Negeri Layak Ditiru

Minggu, 21 Desember 2025 | 10:24

Jadi Tersangka KPK, Harta Bupati Bekasi Naik Rp68 Miliar selama 6 Tahun

Minggu, 21 Desember 2025 | 09:56

Netanyahu-Trump Diisukan Bahas Rencana Serangan Baru ke Fasilitas Rudal Balistik Iran

Minggu, 21 Desember 2025 | 09:32

Status Bencana dan Kritik yang Kehilangan Arah

Minggu, 21 Desember 2025 | 08:55

Cak Imin Serukan Istiqomah Ala Mbah Bisri di Tengah Kisruh PBNU

Minggu, 21 Desember 2025 | 08:28

Selengkapnya