RMOL. Seorang korban permainan mafia anggaran di DPR yang sudah melaporkan kasusnya ke Pos Pengaduan Praktek Mafia Anggaran (Pos P2MA) menegaskan bahwa keberadaan mafia anggaran di DPR bukan baru-baru ini saja.
"Sejak dulu sudah ada mafia anggaran dan banyak broker yang berseliweran di DPR itu," kata Mr. X yang diwawancarai oleh Metro TV, sesaat lalu (Jumat malam, 30/9).
Dari pengakuannya, awal mula dirinya terperangkap sebagai korban mafia anggaran berawal dari pertemanan. Dari komunikasi dengan pihak ketiga itu dia dipertemukan dengan salah seorang anggota DPR yang dia akui lupa namanya.
Dia dijanjikan kucuran dana untuk proyek infrastruktur asalkan terlebih dulu memberi imbalan 7 persen dari seluruh dana yang akan dicairkan ke anggota Banggar DPR.
"Saya buat proposal yang diteken pimpinan daerah. Dana akan dikucurkan ke daerah dengan syarat 7 persen yang akan turun. Kita kirim Rp 3 miliar lewat rekening seseorang. Saya tak mau sebut siapa dia, karena hanya cerita soal pengalaman saya," ujarnya.
Tapi, setelah dia mengirim duit itu, dia merasa dikibuli karena ketika menghubungi telepon seluler si pemilik rekening tidak mendapat jawaban dan kemudian nomor itu tidak aktif.
"Ini kejadian di Banggar periode lalu. Proyek tidak jalan,
fee lenyap," akunya.
Sebelumnya kepada
Rakyat Merdeka Online, politisi senior Partai Golkar, Zainal Bintang, yang ikut mendirikan Pos Pengaduan Praktik Mafia Anggaran (Pos P2MA) mengaku sudah menerima lebih dari 20 pengaduan masyarakat yang merasa jadi korban mafia anggaran. Puluhan pengaduan itu diterimanya pada hari pertama Pos dibuka.
Pos yang didirikan Bintang bersama Wakil Ketua DPD, La Ode Ida, itu terletak di lantai delapan Gedung DPD, di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta.
"Sampai kemarin saya pulang, dalam satu dua jam sudah ada 20 pengaduan. Dan langsung ada korban yang datang ke kita.Pengaduannya rata-rata berbentuk tidak terealisasinya janji untuk mendapatkan proyek pembangunan di daerah baik infrastruktur jalan, kesehatan atau sarana pertanian," jelas Zainal Bintang kepada Rakyat Merdeka Online, Jumat siang (30/9).
Bintang mengungkapkan dari sementara hasil laporan yang diterimanya, didapat dugaan bahwa banyak sekali anggota DPR yang terlibat praktik mafia anggaran itu. Bahkan bisa dikatakan merekalah simpul pertama permafiaan anggaran. Mengapa dikatakan simpul pertama permainan mafia anggaran, karena merekalah yang memberikan janji-janji anggaran turun ke daerah bermodalkan akses-akses yang dimilikinya.
"Contohnya, ada anggota (DPR) pulang ke Dapil dan bertemu Bupati disana terus menjanjikan anggaran infrastruktur ke daerahnya. Pasti Bupati tertarik karena anggota itu otomatis punya akses di pusat. Kemudian Bupati yang sudah punya peliharaan (kontraktor), akan menyuruh kontraktor atau disebutnya bandar, membuat proposal untuk dibawa ke pusat," jelas Bintang.
[ald]