ESA hilang, dua terbilang. Ini motto pasukan TNI dari Divisi (Kodam III) Siliwangi yang bermarkas di Jawa Barat. Maksud motto ini selain untuk memompa semangat tempur para prajurit, juga biar musuh gentar. Bayangkan, kalau mereka berhasil menembak mati satu prajurit Siliwangi, akan muncul dua…
Dibandingkan dengan pasukan lain, yang memakai motto “gugur satu tumbuh seribuâ€, Divisi Siliwangi memang termasuk sederhana. Ia hanya berada satu tingkat di atas motto: patah tumbuh, hilang berganti….
Karena TNI sudah sangat lama tidak perang, kecuali di beberapa tempat berhasil menembaki petani, motto mereka sekarang dicuri para koruptor. Patah tumbuh, hilang berganti. Esa hilang, dua terbilang. Tertangkap satu, tumbuh seribu…
Kondisi semacam ini sebenarnya bukan karena para koruptor itu sakti. Tapi akibat KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan institusi hukum lainnya (Kejaksaan dan Kepolisian) sampai saat ini kerjanya hanya memotong daun dan ranting-ranting korupsi. Tak pernah sampai ke batang pohon, apalagi sampai ke akar-akarnya.
Maka jangan heran bila pemberantasan korupsi sekarang ini hanya dipakai sebagai isu semata. Pemberantasan korupsi yang cuma seolah-olah. Galak di awal, tapi melempem di hari kemudian.
Lihat saja, waktu menangkap Nazaruddin, (eks) Bendahara Umum Partai Demokrat pimpinan Presiden Yudhoyono, ributnya minta ampun. Tapi setelah “Si Burung Nazar†berada di tangan KPK, nyanyian perampokan APBN oleh partai penguasa pun hilang ditelan bumi. KPK malah setali tiga uang dengan orang-orang Partai Demokrat yang menuding Nazar pembohong.
Indonesia di bawah rezim Yudhoyono periode kedua memang berubah menjadi negara produsen isu terbesar di muka bumi. Tiada hari tanpa isu. Sesama isu bisa saling menyingkirkan. Isu pemilu legislatif dan pilpres curang karena dikendalikan Mafia Pemilu, ditutup isu teroris yang ngebom hotel Ritz Carlton dan JW Marriot (17 Juli 2009).
Belakangan terbukti, tuduhan bahwa bom itu diledakan untuk menggagalkan pelantikan Yudhoyono-Boediono dusta belaka. Bahkan sampai hari ini, tak pernah ada kejelasan untuk apa para teroris itu meledakan bom di Indonesia. Yang kita tahu, setiap penguasa mendapat sorotan publik yang gencar, terutama yang menyangkut korupsi gila-gilaan di pusat kekuasaan, teroris selalu beraksi.
Mereka tak pernah menduga bila rakyat Indonesia sudah sangat dewasa. Bahkan masyarakat di Ambon yang semula mudah diadu-domba, sekarang sudah sangat matang. Makanya konflik antarumat dan warga tempo hari berjalan tak sesuai “skenario gila†para pengalih isu.
Bahkan kalau dikalkulasi sejak periode kedua rezim Yudhoyono berkuasa, aneka ragam isu muncul untuk menenggelamkan isu megakorupsi rekayasa bailout Bank Century dan rekayasa pemenjaraan Ketua KPK Antasari Azhar yang punya rencana membongkar skandal korupsi besar di KPU dan pusat kekuasaan.
Tapi isu untuk menggusur isu utama akan kejahatan rezim selalu hilang diterjang angin ketidakpercayaan publik. Yang muncul kemudian malah dusta yang nyata para penyelenggara negara.
Buktinya, skandal rekayasa pembungkaman Antasari terus muncul dan tak bisa dibendung, apalagi dialihkan. Belakangan malah ada upaya kuat untuk membongkar semua itu. Skandal rekayasa bailout Bank Century Rp 6,7 trilyun juga menganga kembali.
Di tempat lain, dari meja pimpinan Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, terkuak pula jaringan Mafia Pemilu yang melibatkan bekas orang KPU Andi Nurpati yang kini menjadi orang penting di Partai Demokrat.
Memang Andi Nurapati masih bisa unjuk kesaktian, sehingga tangan-tangan hukum tak sanggup menyentuhnya. Tapi, seperti pepatah di dunia persilatan, di atas langit masih langit. Sepandai-pandainya tupai melompat akhirnya…!
[***]