RMOL. Tim Analisis dan Advokasi KPK yang dibentuk untuk menghadang setiap upaya pelemahan terhadap KPK dan dimotori mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Endriatono Sutarto, malah menuai kritik tajam.
Seperti diketahui dari jumpa pers di kantor KPK kemarin (Jumat, 17/9), Tim Analisis dan Advokasi Komisi Pemberantasan Korupsi terdiri dari Endriartono Sutarto (koordinator), Lelyana Santosa, Alexander Lay, Taufik Basari, Ery Septiawan, Harjon Sinaga, Hamid Halid, Abdul Haris M Rum, Ari Yulianto Gema, Ahmad Maulana, dan Yogi Sudrajat. Kesembilan anggota Tim Analisis dan Advokasi Komisi Pemberantasan Korupsi semuanya pengacara
Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW), Neta Pane, yang juga Deklarator Komite Pengawas KPK menilai, pembentukan tim tersebut patut dipertanyakan. Bahkan, IPW mencatat 10 keanehan yang timbul setelah tim itu mendeklarasikan dirinya di kantor KPK kemarin.
Pertama, apa dasar hukum Tim, dan kedua, apakah pembentukannya untuk membela KPK atau untuk membela oknum-oknum elit KPK yang bermasalah.
"Ketiga, kalau benar-benar memang membela KPK, Tim itu harus menyelamatkan KPK, sehingga pimpinan KPK yang disebut bertemu Nazaruddin dan dituduh menerima suap harus didorong Tim untuk diperiksa secara hukum, baik oleh Polri maupun oleh Jaksa. Sebab tindakan oknum KPK itu sudah melanggar Pasal 65 jo Pasal 36 UU KPK, dengan ancaman di atas lima tahun penjara," kata Neta dalam pernyataan tertulis ke
Rakyat Merdeka Online, Sabtu (17/9).
Poin keempat, kehadiran Tim itu akan menimbulkan tumpang tindih tugas dan kecemburuan di internal karena KPK sesungguhnya sudah memiliki unit-unit kerja di bidang hukum (advokasi) maupun Humas yang bertugas meng-
counter dan membangun opini positif bagi KPK.
Kelima, Tim tersebut bisa dituding telah merampas tugas-tugas unit kerja di internal KPK.
"Untuk itu sebaiknya Tim membubarkan diri karena bisa dituding oleh pegawai KPK maupun masyarakat seolah anggota tim tersebut tidak punya kerjaan lain, dan hanya merebut kerjaan orang, padahal anggota tim adalah orang-orang terhormat," tegasnya.
Keenam, pembentukan Tim bisa dinilai sebagai gambaran bahwa telah terjadi konflik internal yang cukup parah di KPK sehingga sebagian elit pimpinan KPK tidak percaya lagi pada unit-unit kerja di internal dan terpaksa harus membentuk tim dari eksternal.
Ketujuh, patut dipertanyakan, pembentukan Tim ini apakah didukung seluruh pimpinan KPK atau hanya sebagian elitnya. Jika nanti muncul pimpinan baru KPK yang tidak setuju dengan Tim ini dan otomatis Tim bubar, tentulah keberadaan Tim ini bisa dinilai hanya mendukung oknum tertentu.
"Jika ini terjadi, citra orang-orang di dalam Tim pasti akan terganggu, mengingat mereka adalah tokoh-tokoh terhormat," kata Neta.
Kedelapan, mengingat keberadaan tim tidak mempunyai dasar hukum yang jelas, ketika melakukan advokasi atas nama KPK mereka harus mendapat persetujuan semua pimpinan KPK. Jika tidak, Tim hanya mengadvokasi atas nama orang perorang pimpinan KPK. Tim tidak bisa mengatasnamakan KPK tapi atas nama orang per orang di jajaran pimpinan KPK atau bisa dikatakan, Tim cuma alat oknum peroknum di KPK.
Kesembilan, mengingat keberadaan Tim tidak mempunyai dasar hukum yang jelas, Tim tidak boleh menggunakan anggaran maupun fasilitas KPK. Penggunaan anggaran dan fasilitas KPK bisa dinilai telah melakukan korupsi dan penyalahgunaan terhadap fasilitas negara.
"Jumpa pers tim kemarin di KPK bisa dinilai sebagai penyalahgunaan fasilitas negara," ketusnya.
Kesepuluh, mengingat anggota Tim adalah tokoh-tokoh terhormat, jangan sampai muncul tudingan bahwa mereka hendak mempolitisasi KPK dan harus dihindari juga munculnya isu-isu makelar kasus di balik pembentukan Tim ini di kemudian hari.
[ald]