RMOL. Provinsi Banten yakin bahwa para kader Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) dan para tenaga pengajar Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) memiliki peranan penting dan strategis sebagai kegiatan kaum perempuan dalam memberikan layanan kesehatan dan kecerdasan balita.
Berikut ini adalah kisah nyata pengabdian seorang kader Posyandu. Sehari-hari, ibu dari empat anak ini hanyalah seorang ibu rumah tangga biasa. Wanita yang hanya lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP) ini, seperti kaum ibu umumnya, setiap hari disibukkan dengan pekerjaan rumah tangga, mengurus suami dan keempat anaknya. Namun, ia merasa bersyukur anak pertamanya sudah lulus Sekolah Menengah Umum (SMU) dan saat ini tengah mencari kesempatan bekerja.
Adalah Kusmida, perempuan berusia 40 tahun itu, yang tinggal di Desa Pasir Muncang, Kecamatan Jayanti, Kabupaten Pandeglang. Ia bukan penduduk asli, melainkan pendatang asal Padang, Sumatera Barat, yang menikah dengan pemuda asal pasir Muncang. Ekonomi keluarganya tergolong serba kekurangan, karena hanya mengandalkan honor suaminya yang hanya Rp 200 ribu per minggu sebagai seorang sopir bus karyawan sebuah pabrik.
Namun, dalam kondisi serba kekurangan, Kusmida masih memiliki kemauan dan semangat yang besar untuk mendedikasikan dirinya sebagai kader Posyandu di Desa Pasir Muncang. Semua itu ia lakukan tanpa pamrih. Bahkan, justru tak jarang ia terpaksa harus menyisihkan sedikit dari uang belanjanya sehari-hari, sedikit demi sedikit, untuk membiayai kegiatan Posyandu.
"Sejak kecil saya memang sudah rajin mengikuti berbagai kegiatan kemasyarakatan. Jadi, kegiatan sosial seperti sudah mendarah daging dalam diri saya. Semua saya lakukan dengan ikhlas tanpa pernah memikirkan apa yang saya dapatkan," kata perempuan yang terpaksa putus sekolah karena tak punya biaya.
Perempuan yang biasa disapa Ibu Mida ini, mulai mengabdikan dirinya sebagai kader Posyandu sejak 15 tahun lalu. Dalam beberapa tahun terakhir, ia mengajak kedua adiknya, Kusmeli dan Upi Komalasari, juga terlibat aktif di Posyandu. Meskipun letak Posyandu berada tepat di depan rumahnya, ia semakin kuwalahan sejak mendirikan Pendidikan Anak Usia Dini 10 tahun lalu.
Kusmeli yang juga hanya lulusan SMP adalah ibu dari tiga anak, yang suaminya bekerja di sebuah stasiun pengiris gas elpiji milik Pertamina. Sedangkan Upi yang lulusan SMA dan sudah memiliki seorang anak, membuka usaha warung kecil di rumahnya untuk membantu suaminya yang bekerja di Jakarta. Dengan kata lain, kondisi perekonomian kedua adiknya juga tergolong pas-pasan.
"Kami memang dari keluarga kurang mampu, tetapi kami ingin bisa melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat umumnya dan khususnya anak-anak usia dini. Sebab, merekalah yang akan menjadi generasi penerus kita nanti. Kalau bukan kita yang memperhatikan tumbuh kembang mereka, siapa lagi?" kata Kusmeli yang akrab disapa Meli.
Menurut Upi, hingga saat ini sangat banyak kendala yang harus dihadapi. Di antaranya yang terberat adalah jarak yang jauh ke Posyandu, sehingga para ibu malas membawa balitanya ke Posyandu. Namun, kendala itu secara bertahap mulai teratasi dengan memperbanyak Posyandu. Saat ini di Pasir Muncang sudah ada 9 Posyandu, dan rencananya akan bertambah satu di Pasir Salam.
"Semua masalah kami cari jalan keluarnya dengan membicarakannya bertiga. Lantaran kebetulan kami bertiga saudara kandung, jika ada perbedaan pendapat tidak sampai menjadi perselisihan yang menganggu jalannya kegiatan, baik Posyandu maupun Paud," kata Mida. "Tapi, karena sebagai kakak yang paling tua dan paling berpengalaman, biasanya saya yang mengambil keputusan akhir," sambungnya.
Kusmida bersyukur suaminya sangat memahami kegiatan sosial yang dilakukannya. Bahkan, sang suami telah menghibahkan sebagian tanah keluarganya untuk mendukung kegiatan Posyandu. "Lalu, kami mendapat bantuan dana dari PNPM Mandiri Pedesaan untuk pembangunan gedung Posyandu, dibantu swadaya masyarakat dan kepala desa. Inilah bangunannya," kata Mida sambil menunjuk sebuah bangunan kecil di depan rumahnya.
Saat ini bangunan tersebut ia gunakan juga untuk kegiatan PAUD, dengan peserta didik aktif yang sudah mencapai 30 anak.
"Tenaga pengajarnya ya kami bertiga juga, dan sekali dalam sebulan dilanjutkan dengan Posyandu seperti penimbangan, pemberian makanan tambahan, pemeriksaan kesehatan. Kebetulan juga bidan desa, Bidan Ati, tinggal di seberang jalan rumah kami. Jadi kami mudah berkoordinasi," kata Mida.
Entah dia tahu atau tidak, bahwa yang telah ia lakukan selama belasan tahun sebagai kader Posyandu, memiliki peran penting dan strategis dalam upaya pemerintah Provinsi Banten mengurangi angka kematian ibu melahirkan dan balita, yang dari tahun ke tahun terus menurun. Sesungguhnya, ia juga memberikan kontribusi "nyata tanpa banyak bicara" terhadap upaya pemerintah provinsi menaikkan derajat kesehatan masyarakat.
Data Biro Pusat Statistik mencatat, sampai 2010, Angka Kematian Bayi (AKB) di Provinsi Banten mencapai 22,8 dari 1.000 kelahiran hidup. Angka itu melampaui rata-rata nasional dan target sasaran pembangunan millennium (Millennium Development Goals/MDGs). AKB nasional 2010 sebesar 35 dari 1.000 kelahiran hidup. Sedangkan target MDG's pada tahun 2015, AKB dipatok sebanyak 25 orang per 1.000 kelahiran hidup.
Sementara itu, angka kematian ibu (AKI) melahirkan di Banten, tahun 2010 mencapai 187,3 per seratus ribu kelahiran hidup, sedangkan rata-rata nasional berada pada angka 228 per seratus ribu kelahiran hidup. Artinya, keberhasilan Banten mencapai target MDG's pada indikator utama bidang kesehatan, ditentukan oleh kader Posyandu seperti Mida, Meli, Upi dan sekitar 65.000 kader Posyandu di Banten.
Di tangan perempuan berdedikasi dan tak berpamrih seperti Mida itulah, masa depan Banten yang sejahtera dan maju akan dapat terjaga. Itu pula sebabnya, Gubernur Banten Hj. Ratu Atut Chosiyah memberikan rasa hormat, salut, dan kagum dengan memberikan dua acungan jempolnya atas tenaga, pikiran, dana dan pengorbanan harta benda untuk kepentingan kader Posyandu.
Rasanya tidaklah salah, apabila sebagai bentuk dukungan, perhatian dan rasa simpati kepada para kader Posyandu, Gubernur Ratu Atut Chosiyah mengalokasikan dana dari APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) kepada para kader Posyandu dalam bentuk dana hibah sebesar Rp 500 ribu per tahun. Nilai, yang tidak berarti apa-apa jika dibandingkan segala yang telah diberikan para kader Posyandu bagi pembangunan manusia di Banten. Pemerintah juga segera akan menggulirkan program Bantuan Operasional Kesehatan (BOK), yang selama ini hanya diberikan kepada rumah sakit. Mulai tahun ini BOK juga akan diberikan kepada Puskesmah, bahkan dipastikan juga akan menyentuh ke Posyandu di pedesaan.
Kusmida memang sangat mengharapkan adanya bantuan dana, baik dari pemerintah atau pihak manapun yang memiliki kepedulian. Pasalnya, Posyandu yang ia kelola masih serba seadanya, sedang PAUD belum memiliki sarana belajar yang minimal bisa disebut layak. Namun, jika tak ada bantuan datang pun, ia bersama kedua adiknya akan terus bergandeng tangan untuk mengabdikan diri kepada masyarakat Pasir Muncang khususnya dan Banten pada umumnya melalui kegiatan Posyandu dan PAUD.
"Saya kalau tidak ketemu anak-anak sehari saja, pikiran dan hati saya tidak tenang. Bagi saya biarlah tidak dapat apa-apa, asalkan mendapat kepuasan batin dari membantu anak-anak dalam masa tumbuh dan berkembang. Dalam prinsip saya, tugas saya hanyalah menjalani hidup ini sesuai ajaran agama dan tuntunan orang tua, tapi soal hasilnya dan rejeki hidup saya sudah Allah atur yang terbaik buat saya sekeluarga," demikian tutur Kusmida.
[ald]