Berita

M Nazaruddin

X-Files

Kasus Nazar di Polri Nggak Kunjung Jelas Siapa Tersangkanya

JUMAT, 16 SEPTEMBER 2011 | 05:44 WIB

RMOL.Salah satu kasus korupsi yang membelit bekas Bendahara Umum Partai Demokrat M Nazaruddin adalah dugaan penggelembungan harga pengadaan alat-alat pendidikan kesehatan di Kementerian Kesehatan. Kasus ini ditangani Polri dan hingga kemarin belum ada tersangkanya. Hal serupa juga terjadi untuk kasus Nazar di Kementerian Pendidikan Nasional.

Padahal, kasus Nazaruddin yang ditangani KPK, yakni per­kara suap pembangunan wisma atlet, sudah jelas siapa saja ter­sang­kanya dan siapa saja yang di­mintai keterangan sebagai saksi.

Sehingga, berbagai kalangan da­pat mengontrol kinerja KPK da­­lam menuntaskan kasus ter­sebut.  Berbagai kalangan seperti DPR, LSM, pengamat hukum dan ma­syarakat dapat memberikan ma­sukan mengenai kekurangan KPK dalam menangani perkara itu.

Menurut Kepala Bareskrim Pol­ri Komjen Sutarman, kepo­lisian telah mendapat persetujuan KPK menangani kasus Ke­menkes dan Kemendiknas. “Kami sudah koordinasi dengan KPK. Karena ini sudah kami tangani, maka saya minta untuk ditangani kami. Jadi, untuk kasus Ke­men­kes dan Kemendiknas, kami yang ta­ngani,” ujarnya.

Saat ditanya, kenapa Polri yang menangani kasus Kemenkes se­jak 2010 belum juga berhasil me­netapkan tersangka, dia me­n­ja­wab, banyak saksi yang perlu di­mintai keterangan.

Selain itu, me­nurutnya, Bares­krim sempat disi­bukkan berbagai kasus Gayus Tam­bunan pada pertengahan 2010. Jadi, katanya, kelambanan  sama sekali bukan dipenga­ru­hi posisi Nazaruddin di Partai Demokrat.

Menurut Sutarman, hasil pe­nyi­dikan sementara pada kasus Kemenkes telah mengarah pada te­muan adanya dua calon ter­sangka. “Ada dua orang, saya belum tahu namanya. Inisialnya nanti,”  ujar bekas Kapolda Metro Jaya ini.

Menurut Kepala Divisi Humas Polri Irjen Anton Bachrul Alam, se­jauh ini kepolisian telah me­me­riksa 30 kepala rumah sakit dae­rah terkait kasus Kemenkes. Pe­meriksaan dilakukan untuk me­­nyingkap dugaan korupsi da­lam proyek Kemenkes sebe­sar Rp 417 miliar di 30 provinsi.

“Kepala rumah sakit ada yang sedang diperiksa sekarang,” ka­tanya, kemarin. Tapi, bekas Ka­polda Jatim ini menolak mem­beberkan identitas para kepala rumah sakit itu.

Menurut Direktur III Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Brig­jen Ike Edwin, untuk me­nun­tas­kan kasus yang berkaitan dengan perusahaan milik Nazaruddin, pihaknya telah berkoordinasi de­ngan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

Dia menambahkan, hasil audit BPKP atas dugaan penyimpa­ngan ke­uangan negara pada pro­yek Ke­menkes terjadi di 30 pro­vinsi. “Dugaan kerugian negara se­mentara pada proyek Kemen­kes di 30 provinsi sekitar Rp 417 miliar,” ujarnya.

Ike mengaku, sejauh ini jaja­ran­nya belum menetapkan ter­sang­ka kasus tersebut. “Kami masih men­dalami kasus ini,” alasannya.

Namun, Ike menampik bahwa Polri lamban menangani kasus ini, meski pihak kepolisian meng­klaim telah menangani kasus ini sejak tahun 2010. Dia juga mem­bantah bahwa Polri kalah intensif di­banding KPK dalam me­na­ngani kasus Nazaruddin. Ala­san­nya, ada kendala-kendala teknis dalam menuntaskan kasus bekas Bendahara Umum Partai De­mokrat itu.

Kendati begitu, katanya, kasus ini tetap didalami Polri. Peme­rik­saan terhadap 30 kepala ru­mah sa­kit daerah serta saksi-saksi dari Kemenkes maupun pengelola tender proyek, lanjut Ike, sampai saat ini masih dila­kukan kepo­lisian.

“Surat pemanggilan peme­rik­saan sudah disampaikan. Se­ba­gian kepala rumah sakit ter­sebut sudah ada yang diperiksa. Se­bagian lagi ada yang tengah dalam proses dan ada juga yang belum datang dengan alasan si­buk,” ujarnya.

Ike menambahkan, kasus du­ga­­an korupsi di Kementerian Ke­­se­hatan terjadi pada proyek pe­nga­da­an alat bantu pendidikan bagi te­na­ga kesehatan di rumah sakit dae­rah pada tahun ang­garan 2009.

Reka Ulang

Dari Ito Sumardi Hingga Sutarman

Kasus dugaan korupsi di Ke­men­terian Kesehatan ditangani Polri sejak Kabareskrim dijabat Komjen Ito Sumardi. Namun, hingga Kabareskrim dijabat Kom­jen Sutarman, tetap saja ter­sangka perkara peng­ge­lem­bu­ngan harga alat pendidikan kese­hatan ini, tak jelas.

Menurut Ito, kasus itu mulai di­tangani sejak 2010 berdasarkan te­muan penyidik maupun laporan masyarakat. Penyelidikan kasus itu, kata dia, sempat terhenti lan­taran seluruh penyidik Direktorat III Tipikor Bareskrim fokus ke pe­nanganan kasus pajak Gayus.

“Waktu itu kon­sen­trasi sampai lima bulanan. Setelah selesai, kami lanjutkan proses penye­lidi­kan,” katanya pada 4 Juli 2011.

Ito mengatakan, pihaknya su­dah menetapkan tersangka kasus dugaan korupsi di Kemenkes itu. Tanpa menyebut identitas, Ito me­nyatakan bahwa tersangka ber­asal dari rekanan Kemenkes. Tapi, hingga Sutarman meng­gan­tikan Ito sebagai Kabareskrim, tak kunjung jelas siapa saja ter­sangka kasus ini. Bahkan, menu­rut Sutarman, baru ada dua calon tersangka, belum tersangka.

Menurut Ito, penyidik sempat menemui pihak KPK saat KPK juga menangani kasus tersebut. Hasil koordinasi itu, kata dia, KPK mempersilakan Bareskrim Polri meneruskan penyelidikan.

Pernyataan ini disampaikan Ito menanggapi kabar bahwa dirinya menerima suap dari Nazaruddin, bekas Bendahara Umum Partai Demokrat yang dijadikan ter­sangka oleh KPK.

Terseretnya nama Ito dilatari dugaan temuan penyidik KPK saat menggeledah kantor Naza­ruddin di Tower Per­mai, Mam­pang Prapatan, Jakarta Selatan. Penggeledahan dila­ku­kan sehari setelah KPK menang­kap Mindo Rosalina Manulang, anak buah Nazaruddin. Temuan itu memuat pengeluaran Naza­rud­din dalam Rupiah dan Dolar AS serta nama-nama penerimanya.

Dalam daftar, Ito disebut me­ne­rima 50 ribu Dolar Amerika Se­rikat. Sementara dalam kui­tan­si tertulis dua kali penge­lua­ran untuk Bareskrim, masing-ma­sing senilai 75 ribu Dolar AS dan 25 ribu Dolar AS. Ito membantah dirinya disebut menerima suap.

“Kasus ini masih ditangani se­cara serius. Kemudian tiba-tiba ada berita saya disuap Na­za­rud­din untuk ambil alih kasus itu. Kan­ sangat ganjil. Tidak mungkin polisi ambil alih kasus yang sudah ditangani KPK,” bantahnya.

Sementara itu, Kabareskrim Komjen Sutarman membantah jajarannya telah menetapkan Ke­pala Bagian Program dan Infor­ma­si Sekretariat Badan Pengem­bangan dan Pemberdayaan Sum­ber Daya Manusia (PPSDM) Ke­menterian Kesehatan Syamsul Bahri sebagai tersangka. Ban­ta­han disampaikan seusai salat Idul Fitri di Lapangan Bhayangkara Mabes Polri. “Belum ada ter­sangka. Siapa yang mene­tap­kan?” ujarnya.

Saat itu, Sutarman juga me­nya­takan, kasus dugaan korupsi di Kementerian Kesehatan tersebut masih dalam tahap penyelidikan Bareskrim polri.

Seperti diketahui, kasus du­ga­an korupsi di Kemenkes juga di­tangani KPK. Terkait dualisme pen­­anganan kasus ini, Sutarman mengaku tak memper­masa­lah­kan­nya. “Sama saja. Siapapun yang menangani, yang penting masalahnya ditangani. Untuk kasus Kemenkes, kamis masih ko­ordinasi dengan KPK,” im­buh­nya.

Tak Ada Kemajuan Meski Sudah Setahun

Syarifudin Suding, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Syarifuddin Suding mengi­ngat­kan Polri agar tidak berlarut-larut dalam menangani kasus ko­rupsi yang menyangkut be­kas Bendahara Umum Partai De­mokrat Nazaruddin di Ke­men­terian Kesehatan.

Soalnya, tegas Syarifuddin, pen­­anganan kasus dugaan ko­rupsi di Kementerian Kese­ha­tan sama sekali belum me­nun­jukkan kemajuan. Padahal, ingat anggota Komisi Hukum DPR ini, Polri sudah me­na­ngani kasus tersebut selama satu tahun.

Menurut Syarifuddin, pena­nga­nan perkara korupsi di ke­po­lisian seringkali tidak trans­paran. Hal tersebut mau tidak mau memicu penilaian, masih adanya keberpihakan

Polri. Selain itu, ketertutupan me­nimbulkan pertanyaan, be­narkah Polri telah mengorek keterangan sejumlah saksi dan tersangka yang dirahasiakan itu.

“Semestinya kepolisian lebih terbuka, sehingga tidak lagi mencuat adanya kesan keber­pi­hakan dan sejenisnya. Apalagi, per­kara Kemenkes ini masuk kategori kasus besar,” tandasnya.

Jadi, menurut Syarifuddin, ke­polisian tidak perlu menutup-nutupi hasil penyidikan yang sudah ada supaya masyarakat per­­caya. “Kalau sudah ada ter­sangka, segera umumkan siapa saja mereka. Biar kasus ini tidak men­jadi teka-teki,” saran ang­gota Komisi Hukum DPR ini.

Untuk itu, sambungnya, diper­lu­kan terobosan dalam mengusut dan menyelesaikan kasus-kasus tersebut. Terobosan hukum, menurut dia, menjadi penting. Soalnya, langkah be­rani itu akan menunjukkan bah­wa pada dasarnya Polri masih memiliki komitmen me­nun­tas­kan kasus korupsi, walaupun sebagian sudah ditangani KPK.

Dengan terobosan tersebut, tentu tandas politisi Partai Ha­nu­ra ini, penanganan perkara korupsi akan lebih cepat selesai. “Masyarakat tidak bertanya-tanya lagi, ada apa kok tidak se­lesai-selesai. Saya di DPR pun akan menanyakan apa kendala penanganan kasus ini langsung pada Kapolri,” tambahnya.

Syarifuddin pun menilai, koor­dinasi antara Polri dan KPK dalam penanganan kasus Na­zaruddin masih lemah.

Kasus Korupsi Kerap Terganjal Masalah Teknis

Alfons Leomau, Pengamat Kepolisian

Menurut pengamat ke­po­lisian Alfons Leomau, berlarut-larutnya penanganan kasus ko­rupsi di kepolisian bisa dise­babkan berbagai faktor.

Selain energi Polri terkuras me­nangani kasus Gayus Tam­bunan, diduga ada kesulitan tek­nis bagi penyidik dalam me­nemukan bukti-bukti korupsi di Kemenkes.

“Saya melihat yang ke­ba­nyakan memenangkan tender proyek di Kemenkes itu kan perusahaan BUMN. Ini yang agak menyulitkan kepolisian me­nentukan ada tidaknya ko­rupsi di Kementerian Kese­hatan,” ujar Kombes (Purn) Alfons Leomau.

Menurut Alfons, jika tender proyek di Kemenkes di­me­nang­kan  perusahaan BUMN, maka keuntungan atas proyek ter­se­but akan kembali ke negara. Dengan demikian, penyidik ke­polisian kesulitan me­ne­n­tukan adanya unsur korupsi.

Kata dia, hal teknis seperti itulah yang membuat pe­na­nga­nan kasus dugaan korupsi pro­yek Kemenkes sebesar Rp 417 miliar jadi berlarut-larut. Lain halnya, sambung dia, jika ten­der proyek Kemenkes yang di­menangkan oleh perusahaan BUMN itu disub-kan lagi pe­ngerjaannya pada pihak swasta.

“Kalau ada keterlibatan pi­hak swasta, tentu pena­nga­nan­nya akan lebih mudah dan ce­pat,” katanya.

Bekas Kepala Bidang Bi­namitra Polda NTT itu me­nam­bahkan, koordinasi Polri de­ngan KPK dalam penanganan kasus korupsi ini pun masih sangat lemah. Dengan masih ada­nya kelemahan itu, maka tarik ulur dalam penanganan kasus ini menjadi dominan.

“Ini hendaknya diantisipasi sejak dini. Jangan ada lagi kon­flik kepentingan antar lembaga penegak hukum tersebut,” sarannya. Sebaiknya, menurut Alfons, peran supervisi KPK diting­kat­kan dalam mengawal kepolisian menuntaskan semua kasus ko­rupsi, termasuk perkara di Ke­menterian Kesehatan tersebut. [rm]


Populer

Mantan Jubir KPK Tessa Mahardhika Lolos Tiga Besar Calon Direktur Penyelidikan KPK

Rabu, 24 Desember 2025 | 07:26

Mantan Wamenaker Noel Ebenezer Rayakan Natal Bersama Istri di Rutan KPK

Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Sarjan Diduga Terima Proyek Ratusan Miliar dari Bupati Bekasi Sebelum Ade Kuswara

Jumat, 26 Desember 2025 | 14:06

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

8 Jenderal TNI AD Pensiun Jelang Pergantian Tahun 2026, Ini Daftarnya

Rabu, 24 Desember 2025 | 21:17

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

UPDATE

Program Belanja Dikebut, Pemerintah Kejar Transaksi Rp110 Triliun

Sabtu, 27 Desember 2025 | 08:07

OJK Ingatkan Risiko Tinggi di Asuransi Kredit

Sabtu, 27 Desember 2025 | 07:48

Australia Dukung Serangan Udara AS terhadap ISIS di Nigeria

Sabtu, 27 Desember 2025 | 07:32

Libur Natal Pangkas Hari Perdagangan, Nilai Transaksi BEI Turun Tajam

Sabtu, 27 Desember 2025 | 07:17

Israel Pecat Tentara Cadangan yang Tabrak Warga Palestina saat Shalat

Sabtu, 27 Desember 2025 | 07:03

Barzakh itu Indah

Sabtu, 27 Desember 2025 | 06:38

Wagub Babel Hellyana seperti Sendirian

Sabtu, 27 Desember 2025 | 06:21

Banjir Cirebon Cermin Politik Infrastruktur Nasional Rapuh

Sabtu, 27 Desember 2025 | 06:13

Jokowi sedang Balas Dendam terhadap Roy Suryo Cs

Sabtu, 27 Desember 2025 | 06:06

Komdigi Ajak Warga Perkuat Literasi Data Pribadi

Sabtu, 27 Desember 2025 | 05:47

Selengkapnya