RMOL. Penyelesaian konflik Papua bukan hanya tentang merdeka atau tidak merdeka tapi soal bagaimana menyelesaikan persoalan kesejahteraan bagi rakyat disana.
Dari urusan kesejahteraan rakyat itulah kemudian muncul kekecewaan yang mengarah pada hasrat merdeka dari RI dengan berbagai sub-isu, salah satunya, sebagian rakyat Papua merasa mereka bukan bagian dari bangsa atau etnis Melayu hingga tidak ada alasan buat mereka bergabung dengan NKRI. Pencetus utamanya adalah ketidakadilan, kesejahteraan dan keamanan.
Demikian dikatakan Wakil Ketua Komisi I DPR, Mayjen (Purn) TB Hasanuddin, kepada Rakyat Merdeka Online, Selasa (9/8). Menurutnya, pemerintah sudah menerima banyak sekali masukan dari kelompok peneliti maupun DPR yang melahirkan formulasi penyelesaian konflik Papua. Bahkan para peneliti LIPI sudah membuat roadmap Papua. Memang pemerintah sudah membentuk desk Papua. Tetapi seperti biasa, itu hanya pada tataran konsep.
"Aplikasi pemerintah pusat nol besar. Contohnya, Undang Undang nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua tidak dilengkapi Perpres yang mengatur lebih lanjut sehingga timbul tambal sulam. Dan pemerintah setengah-setengah. Ada perpres tapi tidak lengkap soal mengatur hukum adat misalnya. Atau, pertanggungjawaban majelis rakyat Papua itu sepeti apa tidak jelas," jelasnya.
Mantan Sekretaris Militer Presiden ini menyatakan juga, kontrol aliran dana Otonomi Khusus Papua tidak ada. Pada 2010 saja, Badan Pemeriksa Keuangan melakukan pemeriksaan yang menyatakan Rp 4,12 triliun dari seluruh dana Otsus dikorupsi elit-elit politik lokal.
"Masalahnya juga ada di elit politik lokalnya. Pemerintah sebatas membuat UU, kemudian membuat desk Papua. Tapi aplikasi kontrol manajemen terhadap kekuasan lokal itu tidak ada," terang TB.
Menurutnya lagi, pemerintah harus tentukan sikap politik tegas apakah Penentuan Pendapat Rakyat 1969 sudah dianggap final atau tidak. Jika final, maka referendum Papua yang diwacanakan tidak perlu.
"Solusinya, dialog pemerintah pusat dengan para elit disana dan masyarakat Papua harus dilakukan segera untuk mencari solusi terbai dalam kerangka NKRI. Dan jangan sekali-sekali berpikiran bahwa penyelesaian keamanan bersenjata itu cara terbaik karena zamannya sudah beda," paparnya.
Dan dia lanjutkan, harus ada kegiatan operasi diplomatik di luar negeri agar situasi terakhir di Papua diketahui luas oleh internasional.
"Bahwa ada masalah dalam negeri, itu iya. Tapi diplomat harus tegaskan masalah itu kita bisa selesaikan sendiri," saran TB.
Sebelumnya dia katakan, berdasarkan pengkajian, ada empat poin yang dianggap menjadi penyebab. Pertama, adanya marjinalisasi dan diskriminasi terhadap masyarakat asli Papua yang disebabkan sikap elit dan keputusan politik Jakarta.
Kedua, ada kegagalan pembangunan khususnya di bidang ekonomi masyarakat di bidang pendidikan dan kesehatan.
Ketiga, ada perbedaan persepsi tentang sejarah Papua atau Irian antara masyarakat Papua dengan persepsi masyarakat di luar Papua terutama soal Penentuan Pendapat Rakyat 1969 yang disponsori Persatuan Bangsa Bangsa dan Amerika Serikat yang menurut sebagian rakyat Papua tidak sah.
Keempat, ada trauma berkepanjangan sejak 1966 sampai selama Orde Baru berkuasa akibat operasi militer. Dan trauma itu tidak kunjung hilang di era reformasi walau TNI sudah tidak lagi menggelar operasi militer.
Kemudian, TB menjelaskan, dari pengamatannya kekuatan pro kemerdekaan Papua mempunyai tiga elemen kekuatan. Pertama, elemen diplomatik di luar negeri untuk pengaruhi opini publik internasional.
Elemen kedua, elemen politik dalam negeri yang membentuk LSM-LSM atau menggelar demonstrasi menuntut referendum. Dan ketiga, gerakan bersenjata.
Memang, kekerasan di tanah Papua terus meletup. Berbagai bentrokan yang melibatkan aparat maupun warga sipil semakin meluas beberapa waktu terakhir. Sejak Juli ke Agustus, ada delapan peristiwa kekerasan dan bentrok di Papua.
Terakhir, pada 31 Juli lalu terjadi konflik antar warga terkait perebutan kekuasaan politik di kawasan Ilaga, Kabupaten Puncak Jaya.
[ald]